Keluarga dan Proses Desakralisasi

Oleh: Dr. Yakub B. Susabda

Para futurolog seperti John Naisbitt (Megatrend 2000) dan Alvin Toffler (Future Shock) telah memprediksi dengan tepat bahwa akhir abad 20 ini akan ditandai dengan makin melemahnya fungsi keluarga. Apa yang manusia sebut dengan "keluarga" makin lama makin sulit untuk didefinisikan. Dengan terus terang, Ferdinant Lunberg mengatakan bahwa,"The family is near the point of complete extinction/fungsi keluarga hampir punah" (The Coming of World Transformation). Bahkan David Cooper berani memproklamirkan kematian dalam keluarga dalam bukunya yang secara khusus memilih judul, "The Death of Family."

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa manusia menjadi semakin pesimistik dengan fungsi tradisionil keluarga sebagai tempat perteduhan (setelah menghabiskan tenaga di medan perjuangan hidup) dan tempat di mana manusia dibentuk dan dipersiapkan menjadi manusia yang seutuhnya? Mengapa manusia tidak percaya lagi bahwa keluarga adalah tempat di mana kebutuhan paling dasariah manusia untuk mengasihi dan dikasihi terpenuhi? Mengapa manusia cenderung memisahkan pengembangan potensi pribadi dari konteks kehidupan keluarga? Mengapa keluarga mengalami proses desakralisasi, sehingga pendidikan anak kita pun diserahkan kepada "orang lain"?

Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya sudah lama muncul dalam benak orang tanpa disertai dengan suatu.*KOSONG* manusia makin beradaptasi dan makin dapat menerima budaya baru yang mengecilkan arti dan fungsi keluarga. Sampai tokoh-tokoh pendidik pun cenderung skeptis pada kemampuan keluarga dalam mendidik dan membentuk individu.

Proses desakralisasi keluarga terjadi karena beberapa sebab yaitu a.l.:

  1. Sebagai konsekuensi logis dari proses perubahan sosial dan budaya.

    Perubahan sosial dan budaya merupakan bagian dari sejarah yang tak terhindarkan. Keberhasilan Reformasi di abad 16, misalnya, telah memberikan kepada manusia martabat sebagai manusia yang seutuhnya. Meskipun demikian, yang terjadi dalam era itu tidak semuanya positif.

    Karena realitanya sebagian besar manusia tidak memakai kebebasan dan potensinya untuk mempercayai kebenaran objektif dari Allah yang dapat memperbaharui dan menuntun hidup mereka. Manusia justru, dengan potensi tersebut, telah mencoba membebaskan diri dari kebenaran objektif yang dirasakan membelenggu, irrationil dan yang disebut sebagai mitos agama. Tidak heran jikalau Rationalism (disertai Romantic-ism, Empiricism, dan Existentialism) kemudian menghantar manusia masuk dalam era Pencerahan/ Enlightenment/Aufklarung (abad 18). Era baru dengan kehidupan sosial dan budaya yang baru. Dan tanpa dapat dihindari lagi, manusia mulai mempunyai kesadaran baru pula akan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Kebutuhan untuk mendapatkan kebahagiaan melalui kepatuhan kepada Allah telah diganti dengan kebutuhan untuk mencapai kehidupan yang penuh kebebasan dan kebahagiaan dengan kekuatannya sendiri. Untuk itu mereka sudah menemukan kunci dan alatnya yaitu melalui penemuan dan perkembangan teknologi (sebagai bukti kemampuan ratio manusia).

    Kurang lebih dalam kurun waktu 200 tahun (mulai dengan Revolusi Perancis 1789 sampai dengan runtuhnya tembok Berlin tahun 1989) kehidupan manusia betul-betul berubah. Apa yang bernilai, sekarang adalah potensi dan kemampuan manusia yang bisa memberikan kehidupan yang *KOSONG* itu wanita-wanita mulai belajar di universitas- universitas dan mereka dapat membuktikan kemampuan dan potensinya yang tidak kalah dari pria-pria. Mulailah muncul kebutuhan "hakiki" untuk menuntut dan mendapatkan hak dan kebebasan yang sama.

    Permulaan era Pencerahan adalah masa-masa transisi dari wanita domestic jobs ke wanita karier. Saat itu keluarga betul-betul menghadapi ujian yang berat. Satu pihak, sistem nilai sudah berubah (sehingga apa yang dianggap berharga adalah potensi dan buahnya dalam kekayaan materi) sehingga wanita-wanita mempunyai keinginan untuk bekerja, tetapi di pihak lain lapangan kerja dan kesempatan kerja belum terbuka lebar-lebar. Akibatnya, tension dan konflik- konflik dalam keluarga tak terhindari lagi. Dimana-mana timbul kegelisahan karena isu-isu penindasan terhadap wanita terjadi dalam rumah-rumah tangga. Maka lahirlah gerakan Feminisme dengan ekses- eksesnya yang semakin menyudutkan kepentingan keluarga.

    Sekarang, era Modernisme Aufklarung itu sudah berlalu. Kebangkitan ekonomi terjadi di seluruh dunia dan kebutuhan akan tenaga kerja merupakan kebutuhan yang merata di mana-mana. Wanita-wanita dengan dukungan suami-suami mereka, menemukan kebebasan untuk mengembangkan bakat dan karier mereka. Dengan dukungan spirit demokrasi Liberal dari Post-Modernism manusia betul-betul, sampai ke dalam kesadaran batinnya, menerima persamaan hak laki-laki dan wanita. Tuntutan kaum Feminis sebenarnya sudah tidak berlaku lagi. Karena kalaupun ada, maka penindasan terhadap wanita tidak lagi merupakan gejala budaya. Itu semata-mata masalah pribadi. Karena hal yang sebaliknya pun dapat terjadi, di mana pria-pria mengalami penindasan dari wanita- wanita dalam kehidupan keluarga mereka.

    Di akhir abad XX ini, kita masih berada dalam era di mana emansipasi jiwa dan potensi manusia merupakan satu-satunya tolok ukur untuk menilai suatu kegiatan. Kegiatan dapat disebut baik jikalau melalui itu jiwa dan potensi manusia dapat berkembang. Sebaliknya bagaimana pun "baiknya" suatu kegiatan, tetapi akan disebut jelek dan tidak berfaedah, jikalau orang yang bersangkutan merasa bahwa hal tersebut adalah hal yang menghambat perkembangan jiwa dan potensinya. Inilah spirit jaman ini, dan dengan spirit ini pergeseran sosial dan budaya tak terhindarkan lagi. Penilaian subjektif dari apa yang dapat mendorong perkembangan jiwa dan potensi manusia, telah melemahkan nilai kepentingan dari kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Seolah-olah manusia harus memilih antara karier dan keluarga, dan akhirnya kegiatan dan tanggung jawab dalam keluarga akan diremehkan.

    Dengan adanya kondisi dan budaya yang mendukung, trend ini semakin lama akan menjadi semakin kuat. Semakin lama domestic jobs (peran sebagai istri dan ibu rumah tangga) akan menjadi semakin tidak populer. Kehadiran baby sitters, day-care centers, catering, dan sebagainya, akan semakin mengaburkan fungsi dan hakekat keluarga. Dan itu terjadi bukan oleh natur yang buruk dai pelayanan *KOSONG* menghidupi peran anggota-anggota keluarga akan menjadi semakin ditiadakan.

  2. Sebagai akibat dari dekadensi dalam kehidupan manusia jaman ini.

    Desakralisasi keluarga terjadi juga oleh karena dekadensi dan kemerosotan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia jaman ini. Makin lama masyarakat makin menerima sesuatu yang tadinya dianggap melawan norma-norma agama, dan "memalukan." Keluarga tanpa nikah, free sex, remaja mengandung, bahkan lebih ekstrim lagi, pasangan homo dan lesbi, adalah beberapa contoh dari desakralisasi dan runtuhnya standar nilai di masyarakat.

    Di tengah keruntuhan standar nilai ini, gereja juga makin permisif terhadap norma-norma baru yang ditawarkan kaum Liberal dengan "moral nihilisme"-nya. Mereka telah berhasil menanamkan rasa bersalah untuk menjadi tetap Fundamentalistik dalam iman, sehingga anak-anak Tuhan ikut-ikutan menanggalkan prinsip-prinsip utama dari indentitas keluarga Kristiani, yaitu a.l.: menikah dengan orang yang tidak seiman.

    Desakralisasi keluarga dimulai dengan penolakan terhadap Allah. Dostovesky mengatakan, " If there is no God, everything is permissible." Tanpa Allah perasaan manusia dan pertimbangan akalnya menjadi otoritas tertinggi. Tidak heran jikalau pernyataan Nietzche bahwa "God is dead," dirasakan masih belum cukup. Eric Fromm menegaskan bahwa sekarang ini "man is dead." Manusia yang merasa telah bebas dari kungkungan norma-norma agama menjadi begitu terobsesi dengan dirinya sendiri. Sehingga menusia mengalami disorientasi dan kesendirian, lalu kembali merindukan "iman" (longing to believe). Sayang akar-akar iman sudah tercabut semua, sehingga mereka terjebak pada usaha demikian akan berusaha "escape from freedom," kata Fromm.

    Mereka yang sudah jenuh dengan "kebebasan" akan menjadi sangat konformistis dengan ajaran apa saja, dan membelenggu diri sendiri. Maka lahirlah keluarga dengan natur yang baru, yang seolah-olah sangat rohani tetapi yang terang-terangan menolak norma agama yang sejati. Kejujuran Existentialistic menjadi kebenaran yang menggantikan kebenaran Alkitab. Itulah sebabnya manusia sengaja mengagung-agungkan human virtue ala Lady Di, dan menutupi bahkan menafsirkan kehidupan skandalnya sebagai realita yang harus dibenarkan. Benarlah seperti yang dikatakan C.S. Lewis bahwa, "virtue which is unchecked is more dangerous than a blatant evil."

    PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

    Di antara Amsal dan pengkhotbah

    Oleh: Dr. Paul Gunadi

    *KOSONG*
     
    .....yakni tumbuh kembali untuk menggantikan yang sudah mati. Jadi, rambut yang kita sisir dan kulit yang kita lihat pada Natal pada tahun ini bukanlah rambut dan kulit yang kita sentuh pada Natal tahun lalu. Namun proses regenerasi ini tetap mempertahankan kekhasan diri kita sehingga yang tumbuh tidaklah tampak berbeda dengan yang sudah mati.

    Secara emosional dan mental kita pun mengalami proses regenerasi. Mematangnya atau menuanya tubuh dan terutama, bertambahnya pengalaman hidup, mematikan unsur-unsur tertentu dalam pola pikir dan reaksi kita tetapi sekaligus menumbuhkan pola pandang yang baru. Itulah sebabnya banyak perbedaan antara pola pikir seseorang remaja yang berusia 15 tahun dengan seorang dewasa yang sudah mencapai usia 75 tahun. Di antara Solomo yang di Kitab Amsal dan Solomo yang di Kitab Pengkhotbah terbentang suatu proses regenerasi spiritual yang membuatnya melihat hidup secara lebih hakiki atau eksistensial.

    Perubahan atau regenerasi emosional merupakan suatu proses alamiah alias tak bisa dihindarkan. Segala sesuatu yang alamiah - asalkan tidak berkandungan dosa - sebaliknya tidak kita lawan. Menurut saya, tindakan yang paling masuk akal adalah menyambutnya - bak menantikan ombak - dan berenang bersamanya.

    Kita lebih mudah menerima fakta bahwa anak kecil bertumbuh dan sekaligus mengalami perubahan dibanding dengan kenyataan bahwa sesungguhnya orang dewasa pun mengalami proses pertumbuhan dengan segala perubahan yang mengiringinya. Secara garis besar masa dewasa dapat dibagi dalam tiga periode: dewasa awal (20-40), dewasa tengah (40-60), dan dewasa akhir (60-kematian). Sebenarnya masing-masing fase masih dapat digolongkan secara lebih terinci, namun hal ini tidak dapat saya paparkan berhubung keterbatasan ruang. Masing- masing fase ini juga bermuatan sejumlah tugas dan karakteristik yang dapat ditilik dari pelbagai sudut. Kali ini saya akan mencoba menelaahnya dari perspektif spiritual-eksistensial yang akan saya yang akan saya rangkumkan dalam bentuk pertanyaan: Untuk apakah saya hidup?

    Dewasa awal adalah periode energi dan pemakaiannya; jadi, hidup serta tujuannya akan bergerak sesuai dengan energi yang tersedia. Secara umum, pertanyaan "Untuk apakah saya hidup?" dijawab dengan satu kata yakni, bekerja. Penekanan tujuan hidup yang bermakna adalah pada produktivitas. Secara spiritual, konsep bahwa saya hidup untuk Tuhan cenderung diidentikkan dengan konsep bekerja lebih banyak. Makna hidup kita sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya sumbangsih kegiatan yang kita lakukan untuk Tuhan. Satu kata yang dapat menyimpulkan jawaban pertanyan," Untuk apakah saya hidup?" ialah kuantitas, yaitu berapa besar energi yang dipakai untuk kegiatan melayani Tuhan.

    Pada masa dewasa tengah, kunci katanya adalah kualitas. Ada pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi, "Work smarter, not harder!" saya kira nasehat ini mencerminkan karakteristik kurun tengah dewasa karena sumbangsih *KOSONG* apakah saya hidup?" adalah "menikmati hidup". Dengan kata lain, pada masa ini kita berupaya menaikkan kualitas kehidupan sehingga dapat kita nikmati. Pada fase ini kita seolah-olah disadarkan bahwa bekerja lebih banyak tidaklah menjamin atau menyediakan mutu kehidupan yang lebih baik. Produktivitas pun digantikan dengan efektivitas

    Secara rohani, pada fase tengah ini orientasi pada kegiatan pelayanan mulai surut dan lebih memperhatikan kehidupan rohani itu sendiri. Fokus kita beralih dari lahiriah-eksternal ke rohani- internal. Jawaban spiritual pertanyaan "Untuk apakah saya hidup?" menjadi "Hidup bagi Tuhan," dalam pengertian kehidupan pribadi yang rohani dan yang tak harus dibuktikan dalam wujud aktivitas kasat mata. Pada fase ini, tujuan hidup yang bermakna bertumpu bukan pada kata benda "pelayanan" yang berorientasi pada produk, melainkan pada kata kerja "melayani" yang lebih mengacu pada ciri hidup kesehari- harian.

    Mulai dengan "bekerja lebih banyak," kemudian "hidup lebih baik," pada fase dewasa akhir ini kita "bersikap lebih hati-hati." Adakalanya kita yang lebih muda menemui kesukaran bekerja sama dengan mereka yang berada pada kelompok usia ini, karena kita tak dapat menerima kehati-hatian mereka. Kehati-hatian ini muncul dari kekeliruan yang diperbuat maupun yang disaksikan dalam pengalaman hidup.

    Tujuan hidup menjadi jauh lebih sederhana dan hakiki sehingga pada fase akhir ini kita cenderung tidak lagi menghiraukan pernak-pernik hidup. Hidup menjadi realistik dan cenderung sinis, namun kita pun lebih berani menyatakan sikap. Kita telah "bekerja" dan menikmati "hidup", sekarang kita mulai merasa lebih nyaman mengutarakan diri kita tanpa terlalu menghiraukan harapan dan tuntutan orang lain. Kebebasan mengekspresikan sikap membawa kelegaan bagi kita yang sebelumnya terbelenggu oleh penerimaan orang lain.

    Hal-hal yang penting dan menarik makin menyusut, hingga tinggal beberapa helai prinsip dan beberapa butir hal yang masih menggugah hati. Sebelumnya "efektif" digantikan dengan "esensial." Diawali dengan "pelayanan," kemudian disisipi dengan "melayani" dan akhirnya dengan "ia" pribadi, yakni ia, yang suatu ketika pernah terobsesi dengan produk pelayanan, kemudian menyadari makna dari hidup yang melayani, namun sekarang menyatukan semuanya dalam satu keharmonisan diri yang matang dan rohani.

    Di antara Amsal dan Pengkhotbah terdengar beberapa nada suara: Dari pekikan "Tuhan memberkati!" ke seruan "Tuhan memimpin!" dan akhirnya ke bisikan "Tuhan menyertai!" Di tengah-tengah kancah perubahan yang sudah merupakan takdir manusiawi, kita yang dikuasai Tuhan tetap yang paling berbahagia. Meski terdengar tiga nada, namun ketiga- tiganya mempunyai lirik yang konstan: Tuhan dan karya-Nya.

    PERTANYAAN ANDA
    Dr. Esther Susabda

    Saya seorang wanita yang lahir dengan watak dan kemauan yang keras. Kami baru menikah satu tahun. Suami saya seringkali mengeluh bahwa saya terlalu agresif....Memang bisnis saya jauh lebih berhasil dari suami saya. Tapi terus terang saja saya tidak terlalu bahagia dengan kelebihan saya. Bahkan kadang-kadang saya kasihan merasakan suami saya yang seringkali minder dalam pertemuan dan jamuan makan malam yang diadakan oleh mitra bisnis saya. Padahal rasanya saya sudah selalu berusaha mengikut-sertakan dia dalam setiap pembicaraan kami. Namun dia tidak bisa membuka atau melanjutkan pembicaraan kecuali kalau ditanya.

    Ia seringkali mengatakan "tertekan" dengan kelebihan saya. Kadang- kadang terpikir apakah saya harus menyesali mengapa saya dilahirkan seperti ini? Atau apakah menjadi wanita yang agresif dan dominan memang tidak bisa menjadi istri yang baik?

    Rasanya, anda sedang mempersalahkan diri, dilahirkan dengan kepribadian yang agresif dan dominan....... Suatu kelebihan yang menyebabkan anda bangga karena berhasil dalam karier, tapi pada saat yang sama tidak anda sukai karena seolah-olah karena sebab itulah suami tertekan dan tidak bahagia.

    Wanita modern sekarang ini, memang seringkali terjebak di antara dua kutub, karier dan urusan berumah tangga. Anda sadar bahwa karier membutuhkan seluruh kemampuan agresivitas dan inovasi untuk maju. Begitu pula, seiring dengan berkembangnya ekonomi di era ini, terbukalah banyak kesempatan bagi wanita untuk meningkatkan kemampuan. Sehingga tolok ukur sukses dalam pekerjaan bukan lagi ditentukan oleh perbedaan kelamin pria dan wanita namun berdasarkan kemampuan pribadi. Hal inilah yang menciptakan dilema dalam hidup anda....Dengan kemajuan anda, tanpa sadar suami sudah tergeser perannya. Ia merasa canggung karena anda menempatkan suami di tempat yang ia sendiri tidak merasa comfortable atau pas yaitu di depan mitra bisnis anda. Ia merasa sebagai kepala rumah tangga yang belum layak dihormati, karena belum berhasil dalam karier. Sehingga keinginan anda supaya suami mendapatkan tempat khusus dalam perannya justru membuat suami anda merasa terpojok.

    Saya percaya bahwa Tuhan tidak menempatkan anda dalam sebuah dilema tanpa alternatif yang lain. Apalagi jika kedua pilihan tersebut memang merupakan tanggung jawab yang tidak bisa dihindari. Satu hal yang harus dipertanyakan adalah bagaimana dan mengapa kepribadian agresif dan dominan tersebut sudah dimanifestasikan sampai menghasilkan dampak yang negatif dalam diri suami? Apakah spiritnya negatif? atau mungkin motivasinya yang negatif atau mungkin caranya?

    Setiap orang dilahirkan dengan keunikan kepribadian tertentu, namun jangan sampai kepribadian tersebut menjadi alat atau sarana melampiaskan keinginan sendiri tanpa memikirkan dampak *KOSONG* demikian, anda membutuhkan langkah ke dua yaitu keberanian untuk menerima perbedaan dengan segala dampaknya. Karena memang "hal menerima perbedaan" merupakan salah satu bagian terpenting dari suatu pernikahan. Seperti yang diungkapkan oleh Gottman.

    " A lasting marriage result from a couple's ability to resolve the conflicts that are inevitable in any relationship. Many couples tend to equate a low level of conflict with happiness and believe the claim "we never fight" is a sign of marital health. But I believe we grow in our relationships by reconciling our differences. That's how we become more loving people and truly experience the fruits of marriage."

    "Pernikahan yang langgeng merupakan hasil dari kemampuan pasangan untuk mengatasi konflik yang memang tidak bisa dihindari dalam setiap hubungan antarmanusia. Banyak pasangan yang cenderung berpikir dan percaya bahwa pernikahan yang sehat adalah yang "tidak pernah bertengkar." Tetapi saya percaya bahwa hubungan antar suami- istri justru tumbuh melalui penyelarasan perbedaan-perbedaan yang ada. Karena hanya dengan keberanian menerima perbedaan inilah kita menjadi seseorang yang lebih mengasihi dan dapat menikmati buah-buah dari pernikahan kita."

    Jadi, anda jangan kecil hati. Mulailah dengan memberi tempat yang khusus kepada suami, menerima perbedaan yang ada, dan hilangkan spirit berkompetisi yang mungkin anda tidak sadari. Katakan kepada suami tentang kerinduan anda untuk berubah, sehingga dia pun bisa membantu dan memberikan masukan yang anda perlukan.

    Berikan kesempatan baginya untuk berkarya dan berhasil. Saya harap anda tidak menuntut perubahan yang drastis. Tapi sikap anda yang telah memberikan tempat khusus di hati pasti akan dirasakan suami, dan menjadi pendorong baginya untuk terus mencoba. Memang tidak mudah untuk memulai sesuatu yang baru, tetapi ingat bahwa dengan memahami saja akan apa yang sedang terjadi tidak akan mengubah keadaan. Bahkan mungkin sikap yang "cuma memahami" saja, akan....menciptakan suatu bentuk kehidupan yang mati, rutin, dan tidak memiliki dinamika kehidupan lagi.*

    Saya yakin dengan ketulusan hati dan kehangatan cinta kasih, anda sudah menciptakan permulaan yang baik bagi suami untuk melangkah maju. Pengalaman-pengalaman dalam spirit yang baru ini akan membuahkan realistic attachment (keterikatan batin yang lebih riil) yang anda dambakan.

    Nah, jikalau anda dapat melewati masa krisis ini anda akan memasuki kehidupan pernikahan dengan keintiman hubungan suami-istri yang tumbuh lebih mendalam. Inilah tugas yang anda harus kerjakan.

    Memang dalam Tuhan tidak ada resep yang mudah. Tetapi ......dalam persekutuan dengan Tuhan, segala usaha anda tidak akan sia-sia (I Kor 15:58). Tuhan memberkati.

    Sumber
    Halaman: 
    --
    Judul Artikel: 
    Parakaleo (Edisi Juli - Sept. 1997)
    Penerbit: 
    Departemen Konseling STTRI