Stress dan Musik

Oleh: Dr. Paul Gunadi

Ada satu hasil penelitian tentang perceraian yang cukup mengejutkan tatkala saya membacanya lebih dari 10 tahun yang lampau. Ternyata, penyebab pertama perceraian di Amerika Serikat adalah masalah keuangan, bukan perselingkuhan atau masalah ketidaksetiaan lainnya. Saya tidak tahu apakah hasil riset itu tetap sama pada saat ini dan saya juga tidak tahu apakah data itu relevan dengan konteks di Indonesia. Tetapi dalam krisis ekonomi seperti sekarang ini, saya pikir ada baiknya kita meluangkan waktu sejenak menelaah imbasan tekanan ekonomi pada hubungan suami-istri.

Aspek finansial merupakan bagian integral dan hakiki dalam kehidupan berumah-tangga. Kesulitan ekonomi tidak bisa tidak akan mempengaruhi segenap sendi kehidupan berkeluarga. Tanpa kita sadari, uang telah menjadi salah satu penyanggah kelangsungan hubungan suami-istri. Banyak aktivitas keluarga yang bergantung pada dukungan moneter, seperti rekreasi, makan keluar, membeli mainan, dan sebagainya. Uang pun bersumbangsih dalam kemesraan relasi suami-istri; bukankah dasi yang menawan bagi suami dan cincin yang berkilau untuk istri memerlukan dana yang tak sedikit? Sudah tentu kebutuhan pokok keluarga juga bersandar sepenuhnya pada pemasukan uang; dengan uang yang cukup kita mencukupi kebutuhan jasmani dan mental keluarga, misalnya pendidikan anak dan les musik.

Melihat begitu menyatu dan berperannya uang dalam kehidupan berkeluarga, kita bisa mafhum bahwa gangguan pada kucuran keran finansial akan dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan berkeluarga. Ada beberapa efek yang berpotensi mengganggu kelanggengan keluarga.

Pertama, kesulitan finansial memaksa kita mengubah gaya hidup kita. Sebagian gaya atau kebiasaan hidup mudah diubah, sebagian susah, tergantung pada berapa besar makna gaya hidup itu bagi kita. Ada yang dengan mudah membatalkan jadwal main golf, namun ada yang mengalami kesukaran melakukannya. Bagi sebagian orang, main golf hanyalah olahraga; tidak lebih, tidak kurang. Namun untuk sebagian orang lainnya, golf sudah menjadi identitas diri. Bagi mereka, golf adalah pergaulan sosial dan penyegaran mental; dengan kata lain, golf sudah menjadi kebutuhan hidup. Akibatnya, sewaktu golf menghilang dari daftar aktivitas mingguan, menghilang pulalah kesegaran tubuh dan jiwa.

Ada banyak contoh seperti golf di mana pada akhirnya kita telah menambah jumlah sembilan kebutuhan pokok menjadi 10. Kesulitan finansial biasanya mengharuskan kita memangkas dan meredefinisi kebutuhan "pokok" yang sudah sekian lama menjadi bagian kehidupan kita. Ketegangan suami-istri-anak dapat muncul dengan mudahnya tatkala kita merasa bahwa pasangan kita enggan mengurangi kegiatan rutinnya sedangkan kita sendiri sudah bersusah payah melakukannya. Kemarahan bisa memuncak sewaktu kita menganggap bahwa pasangan kita egois dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Misalnya jika kita harus mengorbankan sesuatu yang kita sukai; atau apabila kita menyaksikan bahwa pasangan kira bukan saja tidak mendukung usaha kita, malah mensabotasenya. Dalam keadaan seperti ini kerelaan kita berkorban terpengaruh; kita menunggu dulu tindakan pasangan kita. Apabila ia tetap tidak berubah, kita pun tergoda untuk tidak berubah. Pada akhirnya yang muncul adalah kebencian.

Kedua, masalah keuangan, sebagaimana masalah lainnya, akan melahirkan tekanan baru pada hubungan suami-istri. Kita mungkin kehilangan gairah hidup, kurang santai, dan tegang sebab pikiran kita terhanyut dalam kemelut finansial. Kita berupaya untuk tidak terlalu memikirkan masalah keuangan namun tidak kuasa membendung arus berita yang sarat dengan nuansa problem moneter. Ketegangan sudah tentu berdampak langsung pada kemesraan karena kemesraan biasanya muncul dalam suasana santai di mana kita dapat saling menikmati satu sama lain. Pokok pembicaraan pun beralih ke arah problem dan pemecahannya - topik yang berat - tidak lagi pada hal- hal yang ringan, seperti kelucuan tingkah laku anak atau palayanan. Bahan yang berat sudah tentu akan menambah beratnya beban di hati kita. Suasana rumah pun berubah serius dan tegang bak api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa memercikkan lidah api pertengkaran.

Pertengkaran mudah meletup dalam suasana hati yang tegang dan hambar. Pada umumnya salah satu penyebab pertengkaran pada masa krisis adalah kecenderungan kita untuk saling menyalahkan. Respons alamiah kita menghadapi problem ialah mencari sumber malapetaka itu dan dalam hal ini, kita mungkin menyesali keputusan atau tindakan pasangan kita di masa lampau. Kita mulai berkata-kata dengan bahasa "seandainya", karena kita perpikir bahwa tindakan atau keputusan yang diambilnya berpengaruh besar dalam penderitaan kita sekarang ini. "Kalau saja ia tida gegabah menjual rumah itu, seandainya ia lebih sabar dan tidak membeli mobil itu," kira-kira itulah cetusan kekesalan kita (yang mungkin saja sangat beralasan). Namun kita pun tahu bahwa salah-menyalahkan akan mengobarkan api kemarahan dan makin memperlebar jurang di antara kita. Banyak hal lain yang dapat kita kaitkan dengan tekanan ekonomi, namun semuanya itu berdampak serupa pada keluarga kita: Stres!

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan guna menanggulangi masalah stres ini namun kali ini saya akan memfokuskan pada satu hal saja: Musik! Belum lama ini seseorang memberikan saya sebuah buku yang menarik, Music as Medicine, yang ditulis oleh Deforia Lane, seorang music therapist. Ternyata musik berpengaruh besar khususnya dalam proses pemulihan dan perilaku kita pada umumnya. Perhatikan data- data berikut ini. Musik dapat memancing emosi yang kuat, yang kemudian mempengaruhi sistem syaraf otonom di mana syaraf ini akhirnya mengeluarkan hormon dan endorfin tertentu, yang adalah penahan sakit alamiah dari tubuh kita. Musik yang diperdengarkan dengan tempo sedang di pasar swalayan menyebabkan kenaikan kuantitas belanja sebanyak 28%. Rupanya kita berjalan sesuai dengan irama musik yang lambat dan ini membuat kita merasa lebih senggang untuk membeli barang. Musik juga dapat menurunkan tekanan darah tinggi, detak jantung dan pernafasan yang cepat. Musik bisa pula mengurangi persepsi kita akan rasa sakit, ketakutan, stres, dan kecemasan. Sungguh mencengangkan kekuatan musik dalam hidup kita! Tidak heran bahwa kitab terpanjang di Alkitab adalah sebuah buku nyanyian!

Jika musik adalah karunia Tuhan bagi kita yang sedang mengalami tekanan, mengapa tidak kita manfaatkan kegunaannya? Saya yakin meski musik tidak dapat menghilangkan problem kita, namun ia bisa membantu kita menghadapinya. Musik memang bukan solusi atas kesulitan kita, tetapi musik dapat menolong kita bersikap lebih tenang dan santai dalam memecahkan masalah yang kita hadapi. Musik tidak dapat menggantikan Firman Tuhan namun musik dapat dipakai Tuhan mengkondisikan kita agar siap mendengarkan Firman dan janji-Nya. Sudah tentu kita perlu arif memilih musik yang sesuai. Senandung yang tenang akan mengisi kalbu kita dengan kedamaian sedangkan lantunan yang gembira akan menceriakan jiwa kita.

Stres merupakan gejala ganda: fisik dan mental. Sewaktu kita tertekan, bukan saja pikiran kita kalut dan hati kita terhimpit, tubuh kita pun lemah lunglai atau tegang, tidak nyaman. Musik memasuki fungsi fisik kita melalui pintu indera pendengaran dan diteruskan ke otak yang mengatur reaksi mental kita terhadap peristiwa yang menimbulkan stres itu. Tatkala otak kita mulai mengalami pengaruh menyejukkan dari musik itu, ia pun akan menebarkan rasa nyaman ke seluruh tubuh kita. Kebanyakan dari 150 pasal di Mazmur (yang berarti "nyanyian") berisikan pergumulan pemazmur mengatasi stres yang menekannya. Dengan kata lain, pemazmur mengungkapkan perasaan hatinya melalui lagu alias musik. Musik menjadi sarana ekspresi diri dan sekaligus wahana pemulihan di mana melaluinya pemazmur berkomunikasi dengan Allah dan menerima peneguhan janji-Nya. Saya kira pada masa yang tidak menentu dan mencemaskan ini, itulah yang kita perlukan.

RETROSPEKSI
Oleh: Dr. Yakub B. Susabda

"Keutuhan pribadi (integrated personality) merupakan tujuan utama dari setiap pendidikan, baik itu formal maupun informal. Dengan kehidupan yang utuh (integrated life) manusia dapat menghadapi kondisi hidup sesulit apapun. Paulus di tengah aniaya penjara, tetap dapat merasakan self-content (tidak merasa kekurangan apapun juga) dan bahkan merasakan sukacita surgawi (Filipi 4:4-13) karena kehidupannya yang utuh. Ia tidak lagi terjebak dalam jerat konflik batin yang berlarut-larut (Roma 7:13-25) antara apa yang ia percayai dan apa yang ia rasakan atau alami, karena ia berhasil membangun keutuhan hidupnya. Meskipun demikian tidak berarti Paulus terbebas sama sekali dari pergumulan hidup. Pengalaman dengan stres oleh karena kehidupan yang memang stressful tetap ada, tetapi ia bukan lagi seorang pribadi yang tidak berdaya. Ia, bersama dengan hamba- hamba Tuhan yang lain (Habakuk 3:16-19, Ibrani 11) adalah pemenang- pemenang yang pantas menerima mahkota kebenaran (II Tim 4:8). Bagaimana dengan kita? Mungkin beberapa pokok pikiran di bawah ini dapat membekali mereka yang merindukan kehidupan yang utuh.

  1. Jangan menyangkali (denying) realita (yang mungkin stressful dan conflicting), tetapi hadapi dan selesaikan dengan baik. Paul Tournier, seorang dokter dan psikolog, pernah mengatakan bahwa, "there is no life without repression. We can not boldly commit ourselves without repressing our fears ... in the adults life, there is no laughter that does not hide secret tears, either unadmitted or unconscious, nor are there any tears behind which is not some repressed enjoyment" (tak pernah ada kehidupan tanpa tekanan. Tak mungkin secara utuh kita dapat membuat suatu komitmen pada apapun juga tanpa ada kekuatiran di belakangnya ... Dalam kehidupan orang dewasa, tak pernah ada gelak-tawa tanpa menyembunyikan air mata, meskipun mungkin ini tak diakuinya. Begitu juga, tak mungkin ada cucuran air mata yang semata-mata bernilai dukacita. Pasti ada unsur-unsur "suka-cita" yang ditekan dan sengaja dilupakan).(Reflections, Phil: Westminster Press. 1976).

    Hidup ini memang selalu menyediakan dua sisi, yang saling berlawanan, untuk diresponi. Pemenangnya adalah mereka yang tahu memberi respons yang tepat yang justru dapat mengintegrasikan kedua unsur yang berlawanan tersebut dalam batinnya. Makin dewasa seorang ia makin mampu menerima tanpa menyangkali realita yang sesungguhnya. Bahkan kasih dan kebencian pun dapat diintegrasikan dalam jiwa orang yang dewasa. Seperti yang Tournier, dalam buku yang sama, katakan bahwa, " hatred and love are two emotions very, very close to one another ... He who can not hate intensely cannot love deeply." (Kebencian dan kasih merupakan dua macam emosi yang sangatdekat satu dengan lainnya ... Orang yang tak pernah dapat membenci sesama dengan sungguh-sungguh, tak mungkin dapat mencintai sesama dengan sungguh-sungguh pula). Dalam kehidupan yang utuh, dinamika jiwa dengan intensitas yang tinggi, tidak lagi monopoli dosa dan kebencian, karena dapat disalurkan untuk kasih dan kebaikan.

  2. Bedakan antara hak yang semu (pseudo right) dengan hak yang sejati(geniune right) yang telah dianugerahkan Allah pada orang -orang percaya.

    Sumber konflik batin dalam jiwa yang tidak utuh (unintegrated life) selalu berorientasi pada hak. Semakin rendah level kematangan pribadi seorang, semakin tidak integrative jiwanya, dan semakin besar kebutuhannya untuk menuntut pemenuhan haknya. Memang setiap orang "berhak" untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan primernya. Tetapi dalam Kristus, pseudo right ini (karena hanya untuk memenuhi kebutuhan sementara) diganti dengan genuine right, yaitu hak yang sejati yang dianugerahkan Allah. Hak ini tidak lagi self-centered, karena hak ini adalah hak untuk mengikut teladan Kristus yang menyangkali diri-Nya. Untuk mematikan kuasa dosa, hanya ada satu jalan yaitu penyangkalan diri. Dengan prinsip yang sama Paulus berkata,"...apakah upahku? Upahku ialah...melayani tanpa upah (I Kor 9:18)." Dengan hak yang sejati inilah kita menjadi pemenang- pemenang di tengah kehidupan yang stressful pada jaman ini.

PERTANYAAN ANDA
Dr. Esther Susabda

Anak saya yang pertama laki-laki berusia 9 tahun termasuk lamban dan pendiam bila dibandingkan dengan adiknya perempuan yang baru berusia 5 tahun. Ia tidak suka melakukan hal-hal yang baru, termasuk beberapa jenis permainan, alasannya selalu mengatakan "tidak bisa." Dalam kegiatan ekstra-kulikuler di sekolah ia juga tidak berminat sama-sekali. Saya kuatir kreativitasnya tidak berkembang dengan baik. Bagaimana menurut Ibu?

Kreativitas dan potensi anak seharusnya berkembang sejak kecil, dan masa usia pra-sekolah merupakan masa-masa yang paling efektif. Pada usia ini mereka memiliki kreativitas alami yang seringkali muncul dalam keinginan tahu yang besar, mereka sering bertanya, senang meniru dan tertarik menjajaki lingkungannya. Bahkan dalam permainan, anak pra-sekolah sudah dapat mengembangkan imajinasi dan potensi yang ada dalam dirinya.

Pada saat-saat seperti inilah peranan orang-tua sangat besar dalam menyediakan sarana yang cocok, memberikan waktu dan perhatian yang besar bagi anak. Ahli pendidikan Beck (1997) mengatakan,

Studies of the backgrounds of talented children and highly accomplished adults often reveal homes rich in reading materials and other stimulating activities and parents who emphasizes intellectual curiosity and are highly accepting their youngster's individual characteristics.

Penelitian yang dilakukan pada anak-anak yang berbakat dan orang- orang yang berprestasi ternyata menunjukkan bahwa mereka kebanyakan berasal dari keluarga yang kaya dengan bacaan, aktivitas-aktivitas yang merangsang pemikiran, juga orang-tua yang menekankan keingintahuan serta yang menerima keunikan pribadi setiap anak.

Di pihak lain kreativitas orang-tua sering bersangkut-paut dengan pemilihan jenis permainan anak-anak mereka. Memang memilih permainan yang edukatif merupakan tantangan yang tersendiri. Banyak orang-tua yang tidak terlatih, sehingga permainan-permainan edukatif yang mereka pilih justru menghilangkan bagian penting dari jiwa anak yang menikmati, bercanda dan bermain dengan riang gembira. Orang-tua seharusnya waspada bahwa tidak setiap alat permainan yang mahal mempunyai unsur edukatif yang sehat, sesuai dengan keunikan si anak dan fase pertumbuhan jiwanya.

Memang satu pihak orang-tua melihat makin beragamnya jenis permainan yang ditawarkan di toko-toko, tetapi dipihak lain mereka sulit memilih jenis mainan yang dapat membantu perkembangan daya kreatif anak. Jadi,

  1. Perlu bagi orang-tua untuk mengenali keunikan pribadi setiap anak. Banyak anak yang tidak menaruh minat pada apa yang orang-tua anggap"sangat menarik." Dalam hal ini orang-tua tidak perlu memaksakan kehendak mereka. Mungkin ada anak-anak yang lebih lambat dalam hal-hal tertentu. Biarkan secara natural selera mereka berkembang sendiri, karena sikap memaksa dari pihak orang-tua seringkali menghambat atau justru memperlambat keinginan si anak untuk belajar dengan memakai sarana-sarana yang baru.
  2. Orang-tua juga perlu konsisten dan menciptakan suasana yang kondusif bagi anak untuk belajar. Hal ini sebaiknya dimulai pada usia sedini mungkin, dan secara khusus pada usia 3-5 tahun di mana keinginan tahu (curiosity) anak sedang berkembang dan potensi kreativitas mereka siap untuk dikembangkan. Jangan sampai usia-usia kritis ini terlewatkan begitu saja, karena orang-tua seringkali tidak menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka untuk merangsang kreativitas. Akibatnya, mereka baru sadar setelah anak masuk ke sekolah formal atau sekolah dasar dan potensi kreativitas anak yang sudah mulai menurun bahkan mandeg pada tahun-tahun setelah itu.
  3. Tidak dapat disangkali bahwa setiap orang-tua mengharapkan anak- anak dapat melakukan yang terbaik dan sukses di kemudian hari. Namun perlu disadari, seringkali keinginan ini membuat orang-tua melakukan tekanan yang berlebihan terhadap anak. Tekanan untuk membuat anak hebat, bahkan memaksakan kehendak agar anak-anaknya melebihi anak- anak lain, seringkali menjadi kebanggaan semu yang ada dalam batin orang-tua. Sukses orang-tua dianggap identik dengan sukses anak, sehingga banyak orang-tua yang cenderung selalu mencampuri dan mengambil alih tanggung jawab si anak. Dengan demikian orang-tua merebut inisiatif anak dengan menentukan apa yang mereka harus dipelajari, kapan, dan kepada siapa mereka harus belajar. Tanpa sadar mereka sendirilah yang sebenarnya menjadi sumber penghambat perkembangan kreativitas anak.

Patut disayangkan bahwa banyak program untuk anak-anak balita yang berorientasi pada achievement (hasil yang dapat dicapai) namun bukan pada pengembangan imajinasi anak. Kreativitas anak biasanya dikembangkan melalui daya imajinasi baik dalam bentuk permainan ataupun membiarkan pikiran melayang mengikuti apa yang ia bayangkan, seperti yang dikatakan oleh Gross (1991),

Imagination involves play, letting the mind wander and seeing what it comes up on its own. Since imagination is crucial to creativity, it should come as no surprise that creativity is just as playful...

Imajinasi termasuk permainan, membiarkan pikiran melayang dengan bebas membentuk apa saja yang muncul dalam angan-angan mereka. Imajinasi sangat penting untuk pengembangan kreativitas, sehingga tidak mengherankan jikalau kreativitas seharusnya berkembang melalui permainan-permainan yang menyenangkan...

Akhir-akhir ini memang banyak orang-tua seperti anda, yang gelisah melihat anak-anak mereka kurang kreatif. Hal ini seringkali baru disadari setelah kesulitan-kesulitan belajar muncul. Penyebabnya bisa bermacam-macam antara lain,

  1. Orang-tua yang terlalu melindungi anak dan ini biasanya terjadi banyak pada anak pertama, sehingga kesempatan bagi dirinya untuk belajar justru berkurang. Mungkin anda tanpa sadar, seringkali memaksa anak menyesuaikan diri dengan imajinasi dan fantasi anda sebagai orang-tua. Misalnya, saja pada saat mengajar anak untuk menggambar gunung dan sawah selalu dengan pola dua gunung, petak- petak sawah dan matahari. Pada saat anak mempunyai imajinasi yang berbeda, keinginan anda untuk menegur dan mengkoreksi sangat besar. Padahal imajinasi dan fantasi dari dirinya sendirilah yang mendorong si-anak untuk bertindak kreatif. Pada anak kedua anda sudah lebih rileks dan fleksible, sehingga kreativitasnya tumbuh dengan lebih baik. Anak pertama biasanya segan mencoba sesuatu yang asing karena ia merasa kurang mampu dan keberhasilannya tidak dapat ia pastikan. Mungkin juga dulu ia pernah beberapa kali mencoba tetapi kurang berhasil dan mendapatkan celaan, sehingga ia kurang berani beresiko lagi.
  2. Setiap anak unik, jangan dibanding-bandingkan. Apabila anda membandingkan dengan adiknya justru menghasilkan perasaan inferior sehingga ia merasa diri bodoh. Seringkali bagi anak-anak semacam ini orang-tua perlu untuk dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk supaya anak berani mencoba sesuatu yang baru. Anda dapat mulai lebih sering bermain dan berusaha untuk mensejajarkan diri dengannya. Keikutsertaan anda sebagai orang-tua akan dapat menciptakan semangat yang baru, dan ada keinginan untuk berpartisipasi. Setelah hal ini menjadi pola dalam dirinya anda dapat sedikit demi sedikit membiarkan anak mengembangkan kreativitasnya. Keberhasilan yang anda ungkapkan dalam bentuk pujian, dan dorongan seringkali menjadi perangsang untuk anak lebih berprestasi lagi. Doa saya adalah kiranya Tuhan menolong memberikan keberanian dan ketekunan dalam menerapkan prinsip-prinsip kebenaran yang telah anda ketahui.
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
--
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI