Tragedi Kematian

Oleh Dr. Yakub B. Susabda

Heran sekali, dalam anugerah-Nya, Allah telah menciptakan manusia dengan bekal pelbagai mekanisme pertahanan (Defence Mechanism), termasuk antara lain Forgetting (melupakan), untuk melindungi dirinya dari pengalaman-pengalaman kejiwaan yang menyakitkan. Tidak bisa dibayangkan jikalau manusia tidak dilengkapi dengan mekanisme pertahanan ini. Barangkali setiap manusia yang sehat jiwanya justru akan mengalami depresi dan mental break-down menghadapi realita kematian yang tak terhindarkan. Setiap orang siang-malam akan terganggu dengan ingatan bahwa "hidup ini sedang menuju kematian." Bahwa kematian selalu mengintip dan menunggu, begitu dekat, di luar pintu. Bahwa orang-orang yang dikasihinya, suami-istri, ayah, ibu, anak, saudara, dan sahabat-sahabatnya suatu saat akan meninggalkan dia untuk selama-lamanya, oleh karena kematian. Syukur bahwa manusia telah diperlengkapi dengan mekanisme pertahanan "forgetting," sehingga ia dapat menjalankan hidupnya dengan fungsi penuh, bahkan dengan gairah, semangat mencoba dan berupaya yang tidak habis- habisnya, cita-cita setinggi langit, dan kemampuan mengisi hidup ini dengan berbagai macam sumber suka-cita. Ada yang menikmati hobi- hobinya, ada yang berkreasi dalam musik dan seni, dan bahkan hampir setiap orang suka sekali bekerja membangun harga dirinya dan mengumpulkan kekayaan untuk dinikmatinya.

Ah ... dengan mekanisme pertahanan "forgetting" ini, hidup betul- betul menjadi sesuatu yang indah dan dapat dinikmati. Meskipun demikian, pada sisi lain, kita juga patut bersyukur kepadaNya yang pada saat-saat tertentu membiarkan mekanisme pertahanan tersebut melemah bahkan "untuk sementara hilang." Hal ini terjadi pada saat kematian betul-betul merupakan realita yang harus dihadapi. Pada saat-saat seperti itulah mekanisme pertahanan "forgetting" tersebut melemah dan hilang. Saat-saat itu manusia harus menghadapi realita yang menyakitkan dan menakutkan ini dengan bekal apa adanya. Kadang-kadang, kita jumpai, ada orang-orang yang begitu "kuat" sehingga mekanisme pertahanan "forgetting" yang hilang dapat segera diraihnya kembali dan roda-roda kehidupan dapat dengan begitu cepat berputar lagi. Seakan-akan tanpa orang yang dikasihinyapun (kematiannya) ia dapat berfungsi hidup dengan penuh. Tetapi tidak jarang ada individu-individu lain yang "lebih lemah" yang tidak siap menghadapi realita tersebut. Untuk itu peran konseling dari orang-orang yang mengasihinya sangat dibutuhkan. Coba perhatikan kasus dibawah ini.

A dan B adalah pasangan suami-istri yang cukup ideal. Mereka seiman, sama-sama berkepribadian "matang" dan sama-sama mempunyai komitmen untuk keluarga. tidak heran jikalau di luar karier masing- masing, mereka selalu kelihatan bersama-sama. Dan komitmen untuk keluarga itu makin nampak jelas setelah kelahiran anak mereka. Betul-betul keluarga yang "bahagia." Sayang sekali kebahagiaan keluarga itu tidak lama. Tiba-tiba realita kematian hadir dalam hidup mereka. Pulang dari kantor, B (suami A) mendapat kecelakaan dan meninggal seketika. Kematian hadir dalam hidup A (dan anaknya yang baru berusia 2th) tanpa persiapan sama-sekali. Baginya, langit seakan-akan runtuh, seluruh makna hidup, tujuan hidup, tujuan dan isinya hilang sama sekali. Bahkan bersama dengan anaknya-pun kekosongan jiwa sangat dirasakan. Tidak tahu mau apa. perasaan dan pikiran kacau-balau. Air mata yang dikucurkan terus sampai mengeringpun tidak mengubah apa-apa. Dalam dadanya terasa kosong .. ada lubang besar menganga di sana. Tak dapat ditutup dengan apapun juga. Seribu satu macam pertanyaan timbul tenggelam. Segala macam mekanisme pertahanan jiwa telah hadir tanpa peran. Menyerahpun tidak mengubah apa-apa..toch Allah tak akan menghidupkan kembali kekasihnya. Lalu muncul pikiran yang menakutkan ... hari-hari di depannya yang akan dijalani sendiri. Ah hidup ini.... Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku......

Apa peran konseling awam dalam kasus seperti ini? Coba pertimbangkan beberapa prinsip di bawah ini:

  1. Jikalau A bukan seorang dengan kepribadian depressive, maka apa yang terjadi adalah suatu "normal grief reaction" dan untuk itu peran anda yang terutama adalah listening (bersama dia dan menjadi tong sampah yang rela mendengar apa saja yang dikatakan maupun disingkapkannya). Anda harus ingat, bahwa yang A butuhkan bukan nasehat (dalam bentuk apapun juga). Jangan anda menghalangi atau mencegah A mengeluh dan menangis. Katakan padanya bahwa anda bersama dia, dan sedang sungguh-sungguh belajar menangis bersamanya. Anda ikut merasakan kesakitan hati, kebingungan, dan keputus-asaan yang dirasakannya. Katarsis (pelampiasan unek-unek hatinya) merupakan kebutuhan yang sangat primer saat-saat itu. A berhak untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.

    Biarkan A masuk dalam proses kesembuhan yang telah disediakan oleh "waktu" itu sendiri. Maksudnya, memang secara alami, Allah memberikan kepada setiap orang mekanisme pertahanan yang juga ada dalam tubuh jasmaninya (bentuknya bisa berbagai macam antibody dalam darah, ataupun keseimbangan produksi cairan-cairan hormonal/kimiawi dalam tubuh). Sehingga, bagi mereka yang "normal" dengan sendirinya physical maupun psychological balance (keseimbangan tubuh dan jiwa) akan tercipta lagi. Mula-mula pada saat musibah tersebut diterima, A mungkin mengalami fase I yaitu Shock dan Numbness (mengalami kejutan dahsyat dan diikuti dengan perasaan baal atau kehilangan rasa) karena antara perasaan dan pikirannya terjadi gap yang besar. Oleh sebab itu, kalau ia menangis, maka tangisan tersebut belum betul-betul lahir dari kesedihan, tetapi lebih banyak lahir dari keinginannya untuk mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia seharusnya sedih. Biasanya dengan datangnya banyak orang untuk menghibur dan munculnya berbagai macam kesibukan (mengatur pemakaman, kebaktian, dsb) perasaan numb tersebut bertahan terus. Sampai ... selesai pemakaman dan rumah menjadi sepi dan A betul-betul memasuki realita hidup "tanpa B." Nah, melihat sepatunya, bantalnya, pakaian-pakaiannya, dsb dsb mulailah fase II yaitu grieving period yang sesungguhnya terjadi. Produksi Epinephrine menaik terus dan A betul-betul mengalami kesedihan yang mendalam. Fase ini memuncak dengan depresi disertai gejala-gejalanya. Sampai ... fase berikutnya tiba (biasanya setelah melewati minggu-minggu ke tiga) yaitu fase III yang dapat disebut fase "acceptance and recovery (rela menyerah menerima dan kesembuhan)." Saat itu produksi Epinephrine berhnti dan muncullah Nor-Epinephrine menggantikannya sehingga A mulai bisa tidur dan bangun dengan semangat untuk hidup dan berjuang kembali. Inilah kesembuhan yang disediakan oleh "waktu" itu sendiri. Oleh sebab itu, jangan panik, biarkan proses berjalan dan waktunya akan tiba di mana A dengan sendirinya akan mempunyai kekuatan untuk menerima kenyataan tersebut. Hidup ini memang demikian. Yang A butuh hanyalah orang yang dengan tulus hadir di dekatnya, menemani dan bersama dia di tengah proses duka dan kesembuhannya dengan telinga hati yang listen/mendengar.

  2. Menghadapi kasus seperti A, anda perlu waspada akan kekuatan sistim yang membudaya dalam kehidupan ini. Biasanya masyarakat (termasuk gereja) memberi sikap dan reaksi secara tradisi (custom) saja, sehingga apa yang mereka lakukan cenderung etika basa-basi yang tidak membawa banyak muatan pelayanan yang sesungguhnya. Apa yang mereka lakukan memang penting, tetapi kepentingan adalah kepentingan umum yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan- kebutuhan pribadi orang yang berduka-cita. Tidak heran jikalau banyak di antara mereka muncul dan rela menjadi "seksi sibuk" pada hari-hari pertama sampai dengan hari pemakaman. Tetapi setelah itu, justru pada masa-masa duka yang mendalam dialami, biasanya tak ada lagi orang yang memperdulikan dan memberi penghiburan padanya. Nah, untuk kekosongan pelayanan inilah, peran anda dalam konseling sangat diperlukan.

    Mungkin anda dapat mengorganisir teman-teman gereja untuk secara bergilir menemani A setiap hari dan membantu dia dalam readjustment (penyesuaian kembali) hidupnya, dengan mengingat bahwa proses readjustment ini harus alami dan sesuai dengan kondisi A yang sesungguhnya. Jangan justru anda menciptakan kondisi yang tidak realitistis yang akan mempersulit readjustment tersebut. Misalnya: setiap hari dikirimi makanan enak, melarang A mengerjakan apa saja, membawa A ke tempat-tempat tamasya, atau memberi kebaktian penghiburan setiap hari. Karena yang A butuhkan justru adalah keberanian melewati proses duka-cita yang menyakitkan itu dan menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dapat menghidupi kehidupannya yang nyata sebagaimana adanya.

    Mungkin anda dapat mempersiapkan setiap teman yang akan terlibat dalam pelayanan ini (sebaiknya wanita karena untuk pelayanan wanita) dengan dasar-dasar pelayanan konseling yang baik sehingga kehadiran mereka tidak justru menciptakan tambahan persoalan bagi A. Misalnya: melatih listening (kemampuan mendengar dengan kepekaan telinga hati), empathy (dapat merasakan apa yang dirasakan A dan dapat melihat realita dari kaca mata A), understanding (dapat memahami sikap kata dan tingkah-laku A tanpa mempermasalahkan dia), dan acceptance (dapat menerima A sebagaimana adanya dant idak memaksa A menjadi orang lain seperti yang kita kehendaki).

----------------------ooooo0O0ooooo-----------------------

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Tragedi

Oleh: Dr. Paul Gunadi

Beberapa minggu terakhir ini saya telah menghadiri tiga upacara kematian. Memandang jenazah yang terbujur kaku tanpa ekspresi menghadirkan pelbagai reaksi dan perasaan dalam hati saya. Kematian baik yang diharapkan atau tidak mengusik sesuatu dalam sanubari kita yang tidak mudah untuk dijabarkan. Pada umumnya kita berupaya mencerna peristiwa ini dengan mengatakan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan di dunia yang sepatutnyalah diterima tanpa keterkejutan. Namun, seringkali kenyataannya tidaklah demikian. Kematian tetap melahirkan reaksi-reaksi yang bermuara pada keterkejutan atau ketidaksiapan kita. Bagi sebagian kita, kematian adalah tragedi dan kita tidak pernah akan dan mau memasukkan tragedi sebgai bagian yang ramah dalam kehidupan kita.

Di dalam bukunya, The Strong Family, pendeta Charles Swindoll menulis bahwa yang biasanya muncul setelah tragedi adalah rasa bersalah yang tidak rasional. Saya pun membagi pengamatan yang sama. Rasa bersalah mudah sekali mengemuka setelah tragedi, dalam hal ini kematian. Bak seorang pustakawan, kita pun dibuat sibuk mencari "buku-buku" yang tersusun dirak "buku" kehidupan kita. Biasanya tema "buku-buku" itu berkaitan dengan pertanyaan, "Apa yang seharusnya aku lakukan atau tidak lakukan?" Dengan kata lain, kita mulai mengais-ngais informasi sejarah tindakan kita dan berupaya menemukan data yang mengingatkan kita akan "kesalahan" yang telah kita perbuat.

Saya memperhatikan bahwa kesiapan kita menerima kematian seseorang bergantung pada keyakinan bahwa kita telah berbuat sebaik-baiknya kepada dirinya semasa hidupnya itu. Jadi, kita akan lebih siap menyambut tragedi kematian bila kita menyadari bahwa kita tidak "berutang" kebajikan kepadanya. Sebaliknya, makin banyak "utang" yang belum kita bayar, makin besar pula penyesalan kita sebab sekarang kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk membayarnya.

Saya kira ada tempat dan waktunya untuk penyesalan. Hidup penuh dengan ketidaksesuaian: ada janji yang tidak ditepati, kepercayaan yang dikhianati, hati yang dikecewakan, jiwa yang dirusak, dan sederet goresan lainnya yang berpotensi membuahkan rasa penyesalan yang dalam tatkala berpapasan dengan kematian. Seharusnyalah demikian! Kematian dapat membangunkan kesadaran dalam diri kita bahwa kita bukan orang yang baik setidak-tidaknya tidak berlaku cukup baik kepada manusia yang sekarang terbujur kaku itu.

Namun, adakalanya kita melangkah terlalu jauh. Kita bukan sekadar mengais-ngais sejarah, kita malah menggali-gali "dokumen" kehidupan yang sudah terkubur dan tidak begitu penting, baik baginya ataupun kita pada waktu itu. Dengan kata lain, peristiwa itu sudah diselesaikan, diampuni, dilupakan atau bahkan terlupakan karena tidak begitu besar, dan relasi pun sudah dipulihkan, namun tetap kita bersikukuh bahwa itu semua belum cukup. Seakan-akan masih ada utang perbuatan yang seharusnya terpikir oleh kita untuk dikerjakan. Penyesalan seperti ini sudah menjadi tidak realistik dan tidak rasional. Sesungguhnya, pada titik ini penyesalan telah berejawantah menjadi penghukuman.

Ada perbedaan antara penyesalan dan menghukum, antara penyesalan dan penghukuman. Firman Tuhan menegaskan, "Sebab dukacita menurut kehendak Allah (godly sorrow-NIV) menghasilkan pertobatan yang membawa keselamtan dan yang tidak akan disesalkan (leaves no regret), tetapi dukacita yang dari dunia ini emnghasilkan kemataian." (2 Kor. 7:10 Ternyata penyesalan yang memimpin kepada pertobatan tidak berorientasi ke belakang, melainkan ke depan, yakni perubahan. Sebaliknya, penghukuman berorientasi ke belakang, yaitu ke perbuatan yang telah kita lakukan.

Kematian adalah tragedi yang tidak pernah dapat dipersiapkan dengan sempurna. Di dalam kekurangsiapan itu dorongan untuk menghukum diri menjadi besar. Untuk menagkalnya, diperlukan dua sikap hidup. Pertama, perkecil ruang penyesalan yang berpotensi muncul pada kemudian hari kelak. Dengan kata lain, "Kasihilah sesama kita manusia"--sekarang! Kedua, jika penyesalan tetap ada dan waktu sudah berlalu, berubahlah! Biarlah penyesalan mendorong kita menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tidak jarang Tuhan menggunakan kematian untuk "menghidupkan" manusia baru dalam diri kita.

PERTANYAAN ANDA
Dr. Esther Susabda

Saya seorang ibu rumah tangga (35 th) dengan tiga anak. Menghadapi musibah kematian suami saya secara mendadak 5 bulan lalu, sampai hari ini perasaan sedih, bersalah sulit sekali dihilangkan, terutama karena anak kami Ani (9 th) menjadi pendiam dan murung. Banyak usaha yang sudah kami (saya dan keluarga dekat) lakukan, misal tidak membicarakan kematian ayahnya dan mengungsikan semua barang-barang termasuk foto-foto keluarga. Teman-teman baiknya berusaha menghibur dan membawa Ani ke tempat-tempat hiburan. Ani sendiri mencoba untuk riang bersama mereka tetapi setibanya di rumah, ia banyak menangis.

Bagaimana saya harus menolong, karena di pihak lain saya sendiri juga sangat kehilangan. Adik-adiknya masih kecil usia 5 dan 3 tahun, mereka belum tahu banyak dan sering dibawa oleh neneknya, karena sekarang saya harus bekerja. Saya merasa lelah, sedih dan seringkali ada perasaan marah pada Tuhan, mengapa saya mendapat cobaan berat seperti ini. Bagaimana saya harus mengatasi??

Saya ikut merasakan kepedihan hati ibu. Memang tidak mudah dengan beban-beban kehidupan yang begitu berat, sekarang ibu harus memikulnya sendiri. Belum lagi masalah Ani yang membuat ibu sangat gelisah. Satu pihak mungkin ingin sekali meluapakan apa yang telah terjadi dan "go on with life" (melanjutkan kehidupan ini), tapi melihat Ani yang sedih, seolah-oleh kenangan yang menyakitkan dengan kehilangan suami yang kekasih hidup lagi. Saya tidak tahu persis apa yang menjadi pergumulan ibu (karena setiap kasus sejenis mempunyai keunikan masing-masing), tetapi ada beberapa saran yang mungkin dapat menolong:

  1. Hindari keinginan untuk menolak realita (avoid denial). Ani harus ditolong bagaimana menghadapi kenyataan ini. Jangan ditutupi kenyataan bahwa ayah memang sudah meninggal dant idak bisa kembali lagi bersama-sama kalian. Tuhan memberikan kelengkapan mekanisme baik perasaan kehilangan maupun perasaan untuk bangkit. Jadi biarkan anak merasakan kehilangan dan kesehihannya secara wajar. Ani membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan dan menyelesaikan proses kehilangan (grief process) ini. Dengan melihat kembali masa- masa indah bersama ayah melalui foto-foto, barang-barang yang mengingatkan kembali kehadiran ayah, justru mempercepat proses penyembuhannya (bukan sebaliknya). Hal ini akan terjadi jikalau ada bimbingan dan support yang anda berikan, dan bukan justru "tidak mengijinkan kesedihan tersebut dikeluarkan."
  2. Sempatkan untuk berbicara secara pribadi dengan Ani. Anak-anak seusianya memang belum dapat memahami secara utuh realita kematian dan kehidupan sesungguhnya. Piaget seorang psikolog dan pendidik menggolongkan anak usia 9-12 tahun dalam masa pertumbuhan cognitif yang konkrit, yang berarti ia mulai memahami dunia realita melalui apa yang ia alami dan rasakan secara nyata. Sedangkan pemahaman tentang Tuhan yang mengasihi, memberikan tempat untuk ayah di surga seringkali sulit dipahami dan membutuhkan waktu untuk mencerna. Mungkin sekali kesedihannya ditambah dengan ketakutan yang baru yaitu bagaimana jika Tuhan juga mengambil anda sebagai ibu secara mendadak pula.

    Jadi, dengan membiarkan Ani mengutakan kesedihan, ketakutan dan kehilangannya sedikit demi sedikit setiap hari, tanpa sadar kesembuhannya akan mulai nampak. Katakan kepadanya bahwa andapun melewati masa-masa yang sulit untuk menyesuaikan kehidupan tanpa ayahnya.

  3. Bagi anda sendiri, mungkin ada bainya kalau anda mendapatkan teman-teman yang bisa memahami perasaan anda, dan mungkin mendukung anda dalam doa. Proses penyembuhan dari kesuahan memang seringkali seperti siklus. Nanti pada saat-saat ulang tahun pernikahan (anniversaries) atau munculnya kenangan saat-saat indah yang lain, perasaan sedih, kehilangan pasti akan terulang lagi. Namun syukur kepada Tuhan, ingatan tersebut makin lama makin pendek, dan setelah itu kesembuhan yang seutuhnya akan tiba.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Okt. - Des. 1999)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI