Tips: Mengatasi Konflik

Menurut Dr. Robby I. Chandra dalam bukunya yang berjudul "Konflik dalam Hidup Sehari-hari", langkah pertama di dalam pelaksanaan penanganan konflik ialah penyelenggaraan dan pengendalian cara berkomunikasi. Yang sepatutnya dituju dan dihasilkan oleh kedua pihak yang berkonflik adalah menggunakan 'descriptive speech', atau penggunaan cara komunikasi yang lebih menggambarkan kenyataan daripada yang memberikan penilaian. Salah satu sifat 'descriptive speech' ialah cenderung memperkecil ketidakpastian. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut:

Carl Rogers berpendapat bahwa tiap orang cenderung untuk menghakimi dan menilai orang lain. Karena itu setiap orang mudah membangun rintangan terhadap komunikasi yang efektif. Dengan demikian kita perlu menyadari bahwa bila kita bermaksud menangani konflik dengan baik, kita harus memilih kata-kata dan susunan kalimat secara terencana.

Strategi untuk menjalankan hal tersebut bertumpu pada faktor-faktor di bawah ini:

  1. Mengakui pendapat dan perspektif diri sendiri
  2. Menyampaikan topik masalah dengan jelas dan rinci
  3. Memperhatikan dan mengendalikan semantik
  4. Memperhatikan rintangan semantik
  5. Memperhatikan pemilihan sintaks

1. Mengakui pendapat dan perspektif diri sendiri

Seringkali di dalam proses konflik, salah satu pihak berbicara dan menyampaikan pendapat seakan-akan mewakili orang lain. Misalnya: "Maaf ya, Pak. Seluruh karyawan di pabrik ini tidak bisa menerima cara wakil Bapak memimpin kami." Pernyataan serupa itu atau suatu pernyataan yang disampaikan dengan cara serupa itu akan segera memancing sikap bertahan dari lawan bicaranya. Orang akan segera merasa diserang oleh banyak orang, karenanya ia harus mempertahankan diri. Cara yang lebih baik adalah, "Maaf Pak, bila Bapak tidak berkeberatan saya ingin menyampaikan bahwa pada hemat saya kepemimpinan wakil Bapak tidak bisa diterima oleh rekan-rekan saya dan saya sendiri." Tentunya, respons dari pihak lain tetap dapat merupakan suatu respons yang bersifat negatif. Namun sekurang- kurangnya suatu ketidakpastian telah dikurangi dengan pernyataan yang jujur dan terbuka seperti itu.

2. Menyampaikan topik masalah dengan jelas dan rinci

Di dalam membicarakan suatu masalah atau topik seringkali orang- orang, khususnya di Asia, terjebak ke dalam generalisasi- generalisasi. Mereka sudah memahami apa yang mereka maksudkan, namun lalai menyadari bahwa orang lain mungkin hanya memahami sebagian kecil dari pemaparan mereka karena generalisasi tersebut. Contohnya: Seorang bos bertanya, "Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan baik?" Yang tidak jelas dari pertanyaan tersebut ialah pengertian 'ditangani dengan baik' yang digunakan oleh seorang bos.

Walaupun budaya atau situasi politik Indonesia di masa lalu seakan- akan menuntut orang untuk berbicara sesamar mungkin, namun dari sudut penyelesaian konflik, pernyataan atau situasi yang dapat ditafsirkan ke segala arah akan memperbesar kemungkinan timbulnya masalah-masalah lain. Hal ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk menafsirkan hal-hal yang tidak diketahui secara negatif. Dengan demikian sebaiknya kalimat "Masalah yang pelik tersebut ...." direvisi menjadi "Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan cepat sebelum akhir bulan?" atau "Apakah masalah yang pelik tersebut dapat ditangani dengan memberhentikan kasir itu?" Revisi serupa itu menolong untuk membuat komunikasi si bos dipahami dengan rinci sehingga tercegah kesalah-pahaman.

3. Memperhatikan dan mengendalikan semantik

Masalah pemilihan kata di dalam suatu komunikasi akan menentukan suatu penyelesaian konflik. Seperti telah dijelaskan di dalam pembukaan tentang metafor, pemilihan kata pada dasarnya mengungkapkan pikiran kita, bahkan cara kita memahami dunia. Suatu contoh dari pengungkapan itu nyata ketika di dalam suatu penanganan konflik dipergunakan kalimat-kalimat di bawah ini:

  • Anda mencoba men-torpedo program kami.
  • Anda membabat habis anggaran yang kami usulkan.
  • Saya ingin memusnahkan cara pikir seperti itu.

Dengan mudah kita tangkap bahwa orang yang menggunakan kalimat- kalimat tersebut memiliki pola pikir yang berorientasi pada "persaingan", "kekerasan", dan "penghancuran". Ia memandang konflik atau kritik sebagai suatu "perang", sehingga memperlakukannya sedemikian rupa dengan kata-kata dan sikapnya. Tentu saja, penanganan konflik yang efektif akan sulit dilaksanakan bila pemilihan kata yang terjadi seperti itu.

4. Memperhatikan rintangan semantik

Selain pemilihan kata, di dalam komunikasi untuk penanganan konflik, perlu juga disadari bahaya penggunaan bahasa pasar/slang/prokem, stereotype dan ungkapan-ungkapan otomatis. Ketika hal itu mempertajam pembedaan antara seorang dengan orang lain secara negatif.

Slang atau bahasa pasar adalah penggunaan istilah-istilah atau cara berbahasa yang digunakan hanya oleh kalangan tertentu. Misalnya: nyokap (ibu), bokap (bapak), mejeng (berdiri menunggu), ngeceng, cabut (pergi). Penggunaan kata serupa itu di dalam suatu komunikasi dapat ditafsirkan bahwa si pembicara memandang rendah lawan bicaranya. Mengapa? sebab tata krama dan sopan santun seakan-akan ditiadakan dengan sengaja. Hal itu lebih terasa bila dilakukan di dalam lingkungan yang resmi.

Stereotype adalah menyampaikan hal-hal yang diasumsikan sebagai hal yang diterima atau dianut bersama. Stereotype dapat berwujud sebagai stereotype tentang jenis kelamin, ras, agama, atau kelompok tertentu. Misalnya di tengah hangatnya suatu perdebatan mendadak timbul ungkapan, "Saya kira kita tidak ingin mengambil cara berbisnis seperti yang dilakukan oleh Tiongkok." Ungkapan ini didasarkan oleh suatu asumsi bahwa semua orang mengenal apa itu bisnis gaya Tiongkok. Selanjutnya diasumsikan pula bahwa semua yang hadir memandang gaya tersebut secara negatif. Dengan mudah kita lihat bahwa suatu bahasa yang penuh dengan stereotype tidak akan pernah memberikan deskripsi yang efektif, namun memberikan penilaian. Bahaya penggunaan stereotype terletak pada hal-hal berikut:

  1. Asumsi bahwa semua orang sepaham.
  2. Asumsi tersebut tidak lagi diuji benar atau salahnya.

Di samping slang dan stereotype, penggunaan ungkapan otomatis juga sangat menghambat komunikasi di dalam penanganan suatu konflik karena slang tersebut dapat ditafsirkan sebagai adanya kecurigaan atau keraguan. Mehrabian mendapatkan tiga jenis ungkapan otomatis tersebut, yaitu:

  1. Pengisi
  2. Ekor tanya
  3. Istirahat

Pengisi adalah kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki suatu penggunaan di dalam isi berita. Contohnya:

  • Saya kira, mmm, hal itu harus mm ...
  • Kita harus belajar untuk, Anda tentu paham, survive.
  • Bagaimana juga, gimana ya, kita harus mencapai, gimana ya, sasaran pekerjaan itu.

Kata-kata ini memperkecil keeratan hubungan antara si pembicara dengan berita yang disampaikan sehingga efektivitas dari berita itu berkurang. Ekor tanya ialah kata-kata yang diletakkan di akhir kalimat sebagai usaha untuk menularkan pendapat mereka. Hal ini cenderung mengakibatkan persetujuan atau bantahan dari lawan bicara. Walaupun hal ini dapat berguna di dalam suatu komunikasi, dapat juga terjadi bahwa orang yang dipaksa untuk memberi respons merasa terganggu dengan usaha tersebut. Hal yang terakhir adalah istirahat. Penggunaan saat hening sebagai istirahat dapat mengganggu karena membuat lawan bicara mendapat kesan bahwa ada topik yang tidak ingin dibicarakan, bahkan disembunyikan, atau ada ketidakpastian yang besar. Contoh: "Saya kira ... baik juga untuk ... kita ...."

Secara umum ketiga hal tersebut membuat munculnya ketidakpastian dan menghasilkan kesan bahwa pada komunikasi tersebut terdapat ketidakjujuran atau hal-hal yang disembunyikan.

5. Memperhatikan pemilihan sintaks

Pemilihan sintaks perlu diperhatikan terutama penggunaan ancaman, humor yang berisi ejekan, atau pertanyaan yang sarkastis.

Ancaman.
Berbagai pernyataan dalam kalimat memperlihatkan aliran gagasan di antara orang. Salah satu di antaranya ialah penggunaan ancaman. Ancaman tersebut mungkin dilontarkan dalam pernyataan yang jelas dan terbuka, misalnya "Bila Anda tidak memindahkan mobil itu, saya akan membakarnya." Kerapkali ancaman juga disampaikan secara terselubung. "Perusahaan kami tidak terlalu senang terhadap karyawan-karyawan yang segan melakukan tugas lembur." Peneliti seperti Gibb atau Hocker dan Wilnet mengamati bahwa suatu ancaman menghasilkan sasaran yang positif. Sebabnya cukup nyata, yaitu bahwa ancaman membuat orang mendukung sikap bertahan.

Humor yang berisi ejekan dan sarkasme.
Walaupun ancaman menceritakan perasaan tak enak, namun sekurang- kurangnya tujuannya jelas. Sebaliknya bila disampaikan humor yang berisi ejekan dan permusuhan, suasana yang dihasilkan lebih sulit diramalkan. Salah satu pihak harus menduga-duga kedalaman unsur negatif di dalam apa yang ia dengar. Namun hasilnya cukup dapat diramalkan, yaitu adanya sesuatu yang segera lenyap di dalam komunikasi, yaitu kejujuran.

Pertanyaan yang sarkatis.
Bila seseorang mengucapkan pertanyaan yang merupakan dakwaan, atau usaha mencari kesalahan secara negatif, akibat yang ditimbulkan ialah sikap defensif. Contohnya, "Apakah Anda tidak mau memikirkan orang lain dan sering bertindak semau diri sendiri?" Pertanyaan serupa ini dengan mudah memancing jawab yang sejenis, "Cuma orang tolol yang bertindak semau gua. Atau mungkin pertanyaan itu sendiri adalah pertanyaan yang tolol!" Pertanyaan yang berisi penilaian negatif dan sarkastis sering merupakan alat tercepat yang mengobarkan konflik lebih luas.

Sumber
Halaman: 
116 - 122
Judul Artikel: 
Konflik dalam Hidup Sehari-hari
Penerbit: 
Penerbit Kanisius, 1992