Tragedi Kematian: Normal Grief Reaction

Edisi C3I: e-Konsel 037 - Konseling untuk Mereka yang Berduka (2)

Heran sekali, dalam anugerah-Nya, Allah telah menciptakan manusia dengan bekal pelbagai mekanisme pertahanan (Defense Mechanism), termasuk antara lain melupakan (FORGETTING), untuk melindungi dirinya dari pengalaman-pengalaman kejiwaan yang menyakitkan. Tidak bisa dibayangkan jikalau manusia tidak dilengkapi dengan mekanisme pertahanan ini. Barangkali setiap manusia yang sehat jiwanya justru akan mengalami depresi dan mental break-down dalam menghadapi realita kematian yang tak terhindarkan. Setiap orang siang-malam akan terganggu dengan ingatan bahwa "hidup ini sedang menuju kematian". Kematian selalu mengintip dan menunggu, begitu dekat, di luar pintu. Bahwa orang-orang yang dikasihinya, suami-istri, ayah, ibu, anak, saudara, dan sahabat-sahabatnya suatu saat akan meninggalkan dia untuk selama-lamanya, oleh karena kematian. Syukur bahwa manusia telah diperlengkapi dengan mekanisme pertahanan "forgetting", sehingga ia dapat menjalankan hidupnya dengan fungsi penuh, bahkan dengan gairah, semangat mencoba dan berupaya yang tidak habis-habisnya, cita-cita setinggi langit, dan kemampuan mengisi hidup ini dengan berbagai macam sumber sukacita. Ada yang menikmati hobi-hobinya, ada yang berkreasi dalam musik dan seni, dan bahkan hampir setiap orang suka sekali bekerja membangun harga dirinya dan mengumpulkan kekayaan untuk dinikmatinya.

Dengan mekanisme pertahanan "forgetting" ini, hidup betul-betul menjadi sesuatu yang indah dan dapat dinikmati. Meskipun demikian, di sisi lain, kita juga patut bersyukur kepada-Nya yang pada saat- saat tertentu membiarkan mekanisme pertahanan tersebut melemah bahkan "untuk sementara hilang". Hal ini terjadi pada saat kematian betul-betul merupakan realita yang harus dihadapi. Pada saat-saat seperti itulah mekanisme pertahanan "forgetting" tersebut melemah dan hilang. Pada saat-saat itu manusia harus menghadapi realita yang menyakitkan dan menakutkan dengan bekal apa adanya. Kadang-kadang, kita jumpai, ada orang-orang yang begitu "kuat" sehingga mekanisme pertahanan "forgetting" yang hilang dapat segera diraihnya kembali dan roda-roda kehidupan dapat dengan begitu cepat berputar lagi. Seakan-akan tanpa orang yang dikasihinyapun (kematiannya) ia dapat berfungsi hidup dengan penuh. Tetapi tidak jarang ada individu- individu lain yang "lebih lemah" yang tidak siap menghadapi realita tersebut. Untuk itu peran konseling dari orang-orang yang mengasihinya sangat dibutuhkan. Coba perhatikan kasus di bawah ini.

"A dan B adalah pasangan suami-istri yang cukup ideal. Mereka seiman, sama-sama berkepribadian "matang" dan sama-sama mempunyai komitmen untuk keluarga. Tidak heran jikalau di luar karier masing-masing, mereka selalu kelihatan bersama-sama. Komitmen untuk keluarga itu makin nampak jelas setelah anak mereka lahir. Betul-betul keluarga yang "bahagia". Sayang sekali kebahagiaan keluarga itu tidak lama. Tiba-tiba realita kematian hadir dalam hidup mereka. Pulang dari kantor, B (suami A) mendapat kecelakaan dan meninggal seketika. Kematian hadir dalam hidup A (dan anaknya yang baru berusia 2 th.) tanpa persiapan sama-sekali. Baginya, langit seakan-akan runtuh, seluruh makna hidup, tujuan hidup, tujuan dan isinya hilang sama sekali. Bahkan bersama dengan anaknya-pun kekosongan jiwa sangat dirasakan. Tidak tahu mengapa, perasaan dan pikirannya kacau-balau. Air mata mengucur terus sampai mengering pun tidak mengubah apa-apa. Dalam dadanya terasa kosong ... ada lubang besar menganga di sana. Tak dapat ditutup dengan apa pun juga. Seribu satu macam pertanyaan timbul tenggelam. Segala macam mekanisme pertahanan jiwa telah hadir tanpa peran. Menyerah pun tidak mengubah apa-apa ... Toh Allah tak akan menghidupkan kembali kekasihnya. Lalu muncul pikiran yang menakutkan ... hari-hari di depannya yang akan dijalaninya sendiri. 'Ah hidup ini ... Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku ....'"

Bagaimana peran konseling awam dalam kasus seperti ini? Coba pertimbangkan beberapa prinsip di bawah ini:

1. Jikalau A bukan seorang dengan kepribadian depressive, maka apa yang dialaminya adalah suatu "NORMAL GRIEF REACTION" (reaksi kedukaan yang normal). Oleh karena itu peran Anda yang terutama adalah LISTENING (bersama dia dan menjadi 'tong sampah' yang rela mendengar apa saja yang dikatakan maupun disingkapkannya). Anda harus ingat, bahwa yang A butuhkan bukan nasehat (dalam bentuk apapun juga). Jangan Anda menghalangi atau mencegah A mengeluh dan menangis. Katakan padanya bahwa Anda bersama dia, dan sedang sungguh-sungguh belajar menangis bersamanya. Anda ikut merasakan kesakitan hati, kebingungan, dan keputus-asaan yang dirasakannya. Katarsis (pelampiasan unek-unek hatinya) merupakan kebutuhan yang sangat primer saat-saat itu. A berhak untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.

Biarkan A masuk dalam proses kesembuhan yang telah disediakan oleh "waktu" itu sendiri. Maksudnya, memang secara alami, Allah memberikan kepada setiap orang mekanisme pertahanan yang juga ada dalam tubuh jasmaninya (bentuknya bisa berbagai macam antibodi dalam darah ataupun keseimbangan produksi cairan-cairan hormonal/ kimiawi dalam tubuh). Bagi mereka yang "normal" dengan sendirinya maka keseimbangan tubuh dan jiwa (physical and psychological balance) akan tercipta lagi. Mula-mula pada saat musibah tersebut diterima, A mungkin mengalami FASE I yaitu "SHOCK dan NUMBNESS" (mengalami kejutan dahsyat dan diikuti dengan perasaan baal atau kehilangan rasa) karena antara perasaan dan pikirannya terjadi gap yang besar. Oleh sebab itu, kalau ia menangis, maka tangisan tersebut belum betul-betul lahir dari kesedihan, tetapi lebih banyak lahir dari keinginannya untuk mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia seharusnya sedih. Biasanya dengan datangnya banyak orang untuk menghibur dan munculnya berbagai macam kesibukan (mengatur pemakaman, kebaktian, dsb.) perasaan numbness tersebut bertahan terus. Sampai selesai pemakaman, rumah menjadi sepi, dan A betul-betul memasuki realita hidup "tanpa B". Nah, saat melihat sepatunya, bantalnya, pakaian-pakaiannya, dsb. dimulailah FASE II yaitu "GRIEVING PERIOD" yang sesungguhnya terjadi. Produksi Epinephrine menaik terus dan A betul-betul mengalami kesedihan yang mendalam. Fase ini memuncak dengan depresi disertai gejala-gejalanya. Sampai fase berikutnya tiba (biasanya setelah melewati minggu-minggu ketiga) yaitu FASE III yang dapat disebut fase "ACCEPTANCE and RECOVERY" (penerimaan dan pemulihan)". Saat itu produksi Epinephrine berhenti dan muncullah Nor-Epinephrine menggantikannya sehingga A mulai bisa tidur dan bangun dengan semangat untuk hidup dan berjuang kembali. Inilah kesembuhan yang disediakan oleh "waktu" itu sendiri. Oleh sebab itu, jangan panik, biarkan proses berjalan dan waktunya akan tiba di mana A dengan sendirinya akan mempunyai kekuatan untuk menerima kenyataan tersebut. Hidup ini memang demikian. Yang A butuhkan hanyalah orang yang dengan tulus hadir di dekatnya, menemani, dan bersama dia di tengah proses duka dan kesembuhannya dengan telinga dan hati yang bersedia mendengar.

2. Menghadapi kasus seperti A, Anda perlu waspada akan kekuatan sistim yang membudaya dalam kehidupan ini. Biasanya masyarakat (termasuk gereja) memberi sikap dan reaksi secara tradisi (custom) saja, sehingga apa yang mereka lakukan cenderung etika basa-basi yang tidak membawa banyak muatan pelayanan yang sesungguhnya. Apa yang mereka lakukan memang penting, tetapi hanya kepentingan umum yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi orang yang berdukacita. Tidak heran jika banyak di antara mereka muncul dan rela menjadi "seksi sibuk" pada hari-hari pertama sampai dengan hari pemakaman. Tetapi setelah itu, justru pada masa-masa duka yang mendalam dialami, biasanya tak ada lagi orang yang mempedulikan dan memberi penghiburan padanya. Nah, untuk kekosongan pelayanan inilah, peran Anda dalam konseling sangat diperlukan.

Mungkin Anda dapat mengorganisir teman-teman gereja untuk secara bergilir menemani A setiap hari dan membantu dia dalam menyesuaikan kembali (readjustment) hidupnya, dengan mengingat bahwa proses ini harus alami dan sesuai dengan kondisi A yang sesungguhnya. Justru Anda jangan menciptakan kondisi yang tidak realitistis yang akan mempersulit penyesuaian tersebut. Misalnya: setiap hari dikirimi makanan enak, melarang A mengerjakan apa saja, membawa A ke tempat- tempat tamasya, atau memberi kebaktian penghiburan setiap hari. Karena yang A butuhkan justru adalah keberanian melewati proses dukacita yang menyakitkan itu dan menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dapat menjalani kehidupannya yang nyata sebagaimana adanya.

Mungkin Anda dapat mempersiapkan setiap teman yang akan terlibat dalam pelayanan ini (sebaiknya wanita untuk melayani wanita) dengan dasar-dasar pelayanan konseling yang baik sehingga kehadiran mereka tidak justru menciptakan tambahan persoalan bagi A misalnya:

  • LISTENING (melatih kemampuan mendengar dengan kepekaan telinga hati),
  • EMPATHY (dapat merasakan apa yang dirasakan A dan dapat melihat realita dari kacamata A),
  • UNDERSTANDING (dapat memahami sikap kata dan tingkah laku A tanpa mempermasalahkan dia), dan
  • ACCEPTANCE (dapat menerima A sebagaimana adanya -- tidak memaksa A menjadi orang lain seperti yang kita kehendaki).

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo Vol. VI, Nomor 4, Okt - Des 1999
Penerbit: 
STTRII, Jakarta