Pembentukan Diri Remaja: Mangga dan Jeruk

Edisi C3I: e-Konsel 048 - Masalah Remaja dan Orangtua

"Kalau menanam pohon jeruk, pastilah buahnya jeruk; kalau menanam pohon mangga, pastilah buahnya mangga." Setiap orangtua yang telah melakukan pekerjaan rumahnya dengan sebaik-baiknya, pastilah memiliki harapan bahwa si anak yang telah "ditanam" itu akan bertumbuh sesuai dengan didikan yang telah diberikan. Biasanya si anak akan bertumbuh sesuai dengan target orangtua ... sampai ia menginjak usia remaja. Tapi... si anak yang penurut, suka membantu, tidak melawan, periang, dan sebagainya, tiba-tiba berubah menjadi seorang yang pemurung, cepat tersinggung, masa bodoh, dan suka melawan. Dalam keadaan terkejut, kita pun dengan gugup bertanya- tanya, "Apakah kami telah melakukan kesalahan? Jika ya, kekeliruan apa yang telah kami lakukan?"

Saya pikir intropeksi memang perlu, sehat, dan alami, asalkan tidak dilakukan dengan gegabah dan tidak rasional. Melihat perubahan drastis pada anak kita memanglah mengejutkan serta menakutkan. Mengejutkan karena pohon mangga yang telah kita tanam, sekarang berbuah jeruk; sedangkan pohon jeruknya berbuah mangga. Menakutkan karena kita merasa tak berdaya mengendalikannya. Sebelumnya segala sesuatu berjalan menurut aturan, dalam arti perilaku si anak tetap dalam perkiraan kita. Apabila kita memarahinya, ia menjadi takut atau menangis. Jika kita tidak memarahinya, ia pun menunjukkan perasaan yang riang dan perilaku yang ramah. Tanpa sebab ia mulai memperlihatkan sikap bermusuhan dengan kita. Kita mencoba mengajaknya berdialog, yang kita terima darinya hanyalah, bahu terangkat seraya berkata, "Tidak ada apa-apa." Adakalanya ia membisu seribu bahasa dan usaha kita mengajaknya bicara terasa sia-sia. Sebelumnya kita merasa sangat berarti dalam hidupnya, sekarang kita merasa sangat kecil dan terkucil di hadapannya. Kita berupaya mengetuk pintu hatinya, namun ia bersikeras menguncinya.

Dalam bukunya, "Helping The Struggling Adolescent", Les Parrot III menguraikan konsep diri remaja yang terdiri dari empat aspek.

ASPEK PERTAMA adalah DIRI SUBJEKTIF, yaitu pandangan pribadi remaja tentang siapakah dirinya. Ada remaja yang menilai dirinya tampan, tapi ada pula yang menganggap dirinya tidak menarik. Ada remaja yang melihat dirinya supel, namun ada pula yang "kuper" (alias kurang pergaulan). Konsep diri subjektif bersumber dari penilaian orangtua, guru, dan teman yang telah menjadi konsep diri si remaja.

ASPEK KEDUA ialah DIRI OBJEKTIF, yakni pandangan orang lain tentang diri si remaja. Pandangan orang lain bersifat mandiri dan beragam, dalam arti pandangan ini merupakan pandangan pribadi seseorang tentang si remaja dan pandangan tiap orang tidak harus sama dengan yang lainnya. Si remaja mungkin berpikir bahwa ia adalah seseorang yang ramah dan ringan tangan (diri subjektif), namun beberapa temannya menganggap bahwa ia adalah seseorang yang mau tahu urusan orang lain (diri objektif).

ASPEK KETIGA ialah DIRI SOSIAL, yaitu pandangan si remaja akan dirinya berdasarkan pemikirannya tentang pandangan orang lain terhadap dirinya. Di sini si remaja melihat dirinya dengan menggunakan kacamata orang lain. Ia mereka-reka apa penilaian orang lain terhadap dirinya dan sudah tentu rekaan ini dapat tepat tapi dapat pula keliru. Ia mungkin menganggap bahwa orang lain melihatnya sebagai seseorang yang berani (diri sosial) namun dalam kenyataannya beberapa temannya memandangnya sebagai seseorang yang kurang ajar (diri objektif). Ia sendiri mungkin menilai dirinya bukan sebagai seseorang yang berani melainkan sekadar sebagai pembela keadilan (diri subjektif).

ASPEK KEEMPAT adalah DIRI IDEAL, yakni sosok dirinya yang paling ia dambakan atau ia cita-citakan. Diri ideal adalah diri yang belum terjadi atau terbentuk sehingga si remaja terus berusaha mencapainya. Ia mungkin melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak stabil (diri subjektif), oleh karena itu ia senantiasa berupaya menjadi seseorang yang sabar (diri ideal).

Menurut hemat saya, aspek yang paling berpotensi menimbulkan masalah bagi remaja dari keempat konsep diri ini, adalah diri sosial. Kita semua pasti pernah bertanya-tanya, apa penilaian orang lain terhadap diri kita. Pada diri remaja, pertanyaan semacam ini amatlah penting karena ia sangat bergantung pada penilaian orang lain, terutama teman-temannya. Pada remaja, konflik antara diri subjektif dan diri sosial mudah terjadi. Misalnya, pada awalnya si remaja berpikir bahwa ia adalah seorang yang alim (positif) karena orangtuanya kerap kali memujinya sebagai seorang anak yang alim. Ia sendiri menyadari bahwa ia jarang sekali melawan kehendak orangtuanya dan ia tidak pernah menerima teguran keras dari gurunya. Ia berkeyakinan bahwa menjadi anak yang alim adalah suatu hal yang baik.

Masalah mulai timbul tatkala ia memasuki usia remaja, di mana ia mulai menyadari bahwa anak yang nakal mendapatkan hormat dari teman- teman karena dianggap berani. Sebaliknya, anak yang alim justru terlupakan dan tidak menerima hormat dari teman-teman karena dianggap pengecut. Akibatnya, ia pun berpandangan bahwa teman- temannya justru menganggap kealiman dia sebagai tanda bahwa ia adalah seseorang yang penakut (negatif). Dengan kata lain, hal yang positif di rumah merupakan hal yang negatif di luar rumah. Di rumah ia dihargai, di luar rumah ia diremehkan. Sungguh bukan suatu pilihan yang mudah.

Sering kali remaja mengalami tekanan yang timbul dari konflik seperti ini. Tekanan ini semakin bertambah karena ia merasa tidak dapat menyampaikan persoalan yang dihadapinya, baik kepada sesama teman maupun kepada orangtua. Dalam kesendiriannya itu, ia dapat menjadi murung dan mengurung diri. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Menjadi nakal berarti melanggar hati nurani dan keyakinannya tentang siapa dia sebenarnya serta membuat orangtuanya marah. Sebaliknya, tetap alim berarti terkucil dan hilang dari peredaran.

Ada satu saran yang dapat saya ajukan kepada para orangtua remaja yakni, komunikasikanlah pemahaman kita akan pergumulan yang sedang ia hadapi dan pilihan-pilihan yang sulit yang harus ia putuskan. Tidak ada perasaan yang lebih menyegarkan jiwa dan melegakan kalbu daripada merasa dimengerti. Perasaan dimengerti membuat remaja melihat dirinya dengan perspektif yang seimbang: bahwa ia bukanlah seseorang yang aneh. Katakan kepadanya, bahwa kita memahami kesulitannya mempertahankan kealimannya. Sampaikan kepadanya, bahwa kita mengerti keinginannya untuk dikenal sebagai seseorang yang pemberani, bukan pengecut. Komunikasikan kepadanya, bahwa kita mengerti keinginannya untuk dihargai sesama teman, bukan diremehkan.

Sewaktu saya SMA, orangtua saya memiliki dua mobil, yang satu tua, yang satu relatif lebih baru. Saat itu kami tidak ada sopir sehingga saya terpaksa mengantarkan adik-adik ke sekolah dan setelah itu saya mengendarai mobil ke sekolah saya. Biasanya saya menggunakan mobil yang tua, sedangkan ayah saya mengendarai yang lebih baru. Sesungguhnya saya merasa enggan sekali menggunakan mobil yang tua itu sebab saya malu dengan teman-teman. Pada umumnya mereka bermotor, bermobil baru, atau naik bus, namun tidak ada yang mengendarai mobil tua (menurut pengamatan saya). Jadi, pada pagi hari saya senantiasa berupaya mengendarai mobil yang lebih baru dan rupanya ayah saya mencium keengganan saya itu.

Pada suatu hari ia berbicara kepada saya dengan nada yang penuh kerendahan hati dan menjelaskan bahwa sebetulnya ia tidak keberatan mengendarai mobil yang tua itu kalau bukan karena tuntutan kariernya. Ia mengatakan bahwa ia menyadari bahwa saya lebih menyukai memakai mobil yang lebih baru itu. Perkataannya yang penuh pengertian sangat menyentuh hati saya dan saya merasa malu karena telah mementingkan diri seperti itu. Pada saat itu saya menerima perkataan ayah saya karena ia tidak memarahi saya sebagai anak yang tidak dewasa atau yang terlalu mementingkan gengsi. Sebaliknya, ia mengkomunikasikan pengertiannya akan pergumulan pribadi yang saya alami sebagai remaja, yakni ingin dihargai teman (dengan cara mengendarai mobil yang lebih baru).

Bagi saya, dan juga bagi banyak remaja, pengertian semacam inilah yang amat dibutuhkan. Suatu pengertian bahwa mereka tetaplah pohon yang sama namun dengan dikerumuni oleh pohon-pohon lainnya, sehingga adakalanya buah mereka tercampur dengan buah-buah dari pohon yang lain. Mereka tetaplah pohon mangga yang akan menghasilkan buah mangga dan pohon jeruk yang akan menghasilkan buah jeruk.

Sumber
Halaman: 
3 - 4
Judul Artikel: 
Parakaleo Vol. 1/4 Oktober - Desember 1994
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI Jakarta