Keterbukaan dalam Pernikahan

Pernikahan tidak hanya menyatukan dua pribadi dalam satu ikatan yang kudus, namun pernikahan juga menyatukan segala perbedaan yang ada di dalam diri kedua pribadi tersebut. Untuk itulah keterbukaan dari masing-masing pribadi memegang peranan penting dalam perjalanan pernikahan itu. Perbincangan dengan narasumber Pdt. Paul Gunadi Ph.D. berikut ini akan memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana keterbukaan itu mempengaruhi suatu pernikahan. Silakan menyimaknya!

T : Sebenarnya apakah makna dari sebuah keterbukaan atau transparansi dalam pernikahan itu?

J : Keterbukaan sangat berkaitan dengan dua hal: PERTAMA, berkaitan erat dengan KEPERCAYAAN, jadi kalau kita tahu pasangan kita terbuka kepada kita, level kepercayaan juga akan meningkat.

KEDUA, keterbukaan sangat berkaitan dengan KEDEWASAAN atau matangnya hubungan kita. Maksudnya, hubungan yang dangkal sering kali diikuti dengan ketertutupan, tetapi keterbukaan yang tuntas menunjukkan hubungan ini adalah hubungan yang matang karena masing-masing pihak bisa menerima pasangannya dengan baik.

T : Keterbukaan di dalam sisi keuangan, sejauh mana pasangan suami- istri harus terbuka di dalam mengelola keuangannya?

J : 100% harus terbuka, kalau sampai seseorang tidak berani terbuka, berarti masalahnya bukan terletak pada keuangan, melainkan pada hubungan itu sendiri yang nampaknya belum dewasa.

T : Kalau pasangan itu level imannya tidak sama, misalnya salah satu memiliki kerinduan untuk memberikan persembahan, tetapi yang satu tidak. Apakah itu juga harus ada keterbukaan?

J : Harus ada keterbukaan, karena prinsip Alkitab memang berkata keduanya akan bersatu dan menjadi satu daging, tidak mungkin tangan kanan berbuat sesuatu yang tidak diketahui oleh tangan kiri. Jadi, keterbukaan itu memang haruslah ada secara tuntas dalam pernikahan.

T : Bagaimana kalau pada saat awal keterbukaan sering terjadi kesalahpahaman?

J : Keterbukaan tidak berarti kemulusan hubungan, justru hubungan yang terbuka pada awal-awal pernikahan akan mengalami gejolak- gejolak. Maka, idealnya keterbukaan ini terjadi bukan setelah kita menikah, melainkan tatkala masih berpacaran sehingga hubungan kita menjadi hubungan yang bertumbuh.

T : Di samping mengatasnamakan keterbukaan, seringkali orang mengatasnamakan kejujuran. Tapi, kejujuran itu bisa menyakiti hati pasangan kita. Dalam hal ini apakah yang disampaikan firman Tuhan kepada kita?

J : Firman Tuhan di Efesus 4:25 berkata, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Jadi, Alkitab meminta kita jujur, terbuka, berkata yang benar, dan tidak ada alasan untuk kejam atau untuk sengaja menyakiti. Kejujuran mungkin akan melukai, tapi jangan sampai sengaja melukai dengan berkata hal-hal yang jujur itu. Adakalanya, untuk atau dengan tujuan menyakiti hati, kita mengatakan hal itu, itu sudah salah. Kalau kita ingin mengatakan yang benar, namun akhirnya harus melukai pasangan kita itu tidak apa-apa. Jangan kita balik, karena kita mau menyakiti maka kita mengatakan sesuatu dengan mengatasnamakan kejujuran. Alkitab mengatakan kita sesama anggota, istri dan suami juga adalah suatu kesatuan.

T : Firman Tuhan dengan tegas mengatakan buanglah dusta, tetapi walaupun kita sudah membuangnya dan bertekad untuk tidak lagi mendustai, namun dusta itu muncul lagi. Apakah itu harus dilakukan berulang-ulang?

J : Setiap kali kita berdusta dan kita menyadari bahwa kita telah berdusta, kita harus mengakui itu di depan pasangan kita bahwa saya telah berdusta lagi, sebab dusta yang tidak kita akui cenderung akhirnya mengundang dusta-dusta yang lebih banyak, tapi kalau kita harus membayar harga kita harus akui, kita lebih kapok untuk berdusta.

Sumber
Judul Artikel: 
TELAGA - Kaset T049B (e-konsel Edisi 89)