Suara

Di dalam dunia medis kita mengenal dua istilah yang merujuk kepada pemulihan: "treatable" (masih dapat dirawat) dan "curable" (dapat disembuhkan). Sebagian besar jenis kanker masuk dalam kategori "treatable", namun tidak "curable"; sebaliknya, sebagian besar jenis batuk masuk dalam kategori bukan saja "treatable" melainkan juga "curable". "Treatable" berarti gangguan tersebut sudah tidak lagi dapat dihilangkan namun si pasien masih dapat menerima perawatan yang mungkin dapat memperlambat lajunya perkembangan penyakit itu di tubuhnya. Kendati simtom atau gejalanya menghilang namun akar atau penyebab penyakit itu sendiri sebenarnya tidak hilang. Sebaliknya, dalam kategori "curable", penyakit tersebut dapat disembuhkan alias dihilangkan sehingga tidak lagi memberi dampak pada tubuh si sakit.

Menurut hemat saya, kebanyakan gangguan psikologis atau mental masuk dalam kategori "treatable", bukan "curable". Simtom atau gejalanya mungkin saja mereda atau menghilang namun sering kali akarnya tetap. Sebagai contoh, mari kita lihat gangguan depresi. Simtomnya adalah hilangnya semangat hidup; tidak dapat berkonsentrasi; menurunnya minat terhadap aktivitas rutin; berpikir negatif dan fatalistik; sulit tidur atau sebaliknya, terus tidur; dan beberapa gejala lainnya. Memang lewat pengobatan dan terapi psikologis gejala-gejala yang mengganggu ini dapat menghilang dan tergantikan dengan emosi dan pemikiran yang stabil kembali. Namun pertanyaannya adalah, apakah gangguan ini sungguh-sungguh telah menghilang sampai ke akar- akarnya?

Salah satu akar depresi adalah belum tersusunnya diri yang utuh. Bak rumah, diri manusia seyogianya dibangun dari satu pengalaman positif demi satu pengalaman positif. Pada dasarnya, kasih sayang dan perhatian orang tua yang disalurkan lewat interaksi dengan anak menjadi rentetan pengalaman positif yang berfungsi sebagai batu bata untuk membangun rumah yang kita sebut diri. Semua pengalaman positif yang kita alami akan menghasilkan seutas benang merah yang bukan saja merefleksikan siapa kita tetapi juga meresap menjadi bahan yang membuahkan "diri." Diri yang keluar dari pengalaman positif merupakan diri yang terbuat dari bahan yang kuat, terarah dan terikat secara sistematik-tidak membingungkan dan tidak saling beradu.

Tanpa ribuan pengalaman positif, diri yang terbangun sebetulnya lebih merupakan sebuah mosaik rapuh yang tidak memiliki arah yang jelas, kerap membingungkan, dan sering kali bertarung antara satu sama lain. Dengan kata lain, diri yang tercipta sesungguhnya merupakan diri yang tambal sulam alias asal jadi. Itu sebabnya diri seperti ini mudah patah, membingungkan dirinya sendiri dan sudah tentu orang lain pula, serta tidak pernah mengalami damai dan kepuasan sejati. Nah, diri yang seperti inilah yang rentan jatuh ke lembah depresi. Ibarat sel kanker, diri yang tidak utuh ini sebetulnya telah lama tersimpan di dalam jiwa pemiliknya namun tidak memunculkan wujud sampai suatu peristiwa pencetus menyembulkannya.

Dalam proses penyembuhan depresi, sayangnya diri yang tidak utuh ini kerap luput dari pemulihan. Salah satu penyebabnya adalah kekurangsabaran. Tatkala gejala menghilang, menghilang pulalah semangat untuk menuntaskan penyembuhan karena kita sudah merasa "lebih baik" dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Padahal yang terjadi adalah, kita hanyalah menebang batang pohon semata dan belum mencabut akarnya. Akar masih tertanam dan tengah menunggu untuk bertunas kembali. Inilah yang saya maksudkan tatkala saya mengatakan bahwa kebanyakan gangguan psikologis atau mental masuk dalam kategori "treatable" dan bukan "curable".

Sesungguhnya kebanyakan gangguan psikologis atau mental bersifat "curable" namun dalam prakteknya, tidak banyak yang menyelesaikan akar masalah hingga tuntas. Kita masih meninggalkan akar yang memang telah tertanam jauh di dalam jiwa dan pola pemikiran sehingga proses pencabutan biasanya memakan waktu panjang dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Namun proses ini penting dan perlu.

Saya kira penjelasan ini dapat diterapkan dalam kerangka rohani pula. Bukankah kita sering melihat betapa banyaknya orang yang telah lahir baru dan giat melayani ternyata masih memiliki "suara" yang sama seperti sebelum disentuh oleh Injil Kristus? Saya percaya kita pun bisa melihat hal yang sama pada diri kita. Pada akhirnya kita berkata, "Ternyata saya masih sama seperti dulu." Betul, kebanyakan kita masih sama seperti dulu, bedanya adalah "suara" yang sama itu sekarang menyanyikan lagu yang lain. Itu saja.

Sumber
Halaman: 
3 -- 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, Oktober-Desember 2006, No. 4, Vol. XIII
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII, Jakarta 2006