Tragedi Kehidupan

Hidup dalam dunia yang sudah dicemari dosa memang penuh dengan tragedi. Meskipun Tuhan Yesus menjanjikan penyertaan dan kasih-Nya (Mat. 28:20, Yoh. 14:118, Roma 8:35) tetap realita tragedi dapat menjadi pengalaman tragedi dalam hidup orang-orang percaya. Ayub orang beriman teguhpun dapat menjerit-jerit meminta keadilan di tengah tragedi yang menimpa dirinya dan seluruh keluarganya. Di tengah tragedi tersebut, ia telah bergumul sampai melangkah masuk ke dalam "critical faith/iman yang rapuh" seperti yang dikeluhkan pemazmur 73 bahwa "sedikit lagi kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir." Dengan kata lain, ia "nyaris menyangkali kekuatan imannya," dan membuat realita tragedi menjadi pengalaman tragedi dalam hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sudah cenderung menjadi "existentialistic" semata-mata manifestasi perasaan dan pikirannya yang subjektif, seperti misalnya: "Mengapa aku yang harus mengalami ini... apa salah dan dosaku sampai Tuhan menimpakan kecelakaan ini padaku... dimana keadilan Tuhan... apa betul Tuhan mengasihi aku... apa Tuhan sungguh ada... aku sudah berdoa dan meminta pertolongan-Nya ... tetapi Ia tidak mempedulikan aku..."

Keluhan dan pergumulan serupa ini bisa juga hadir dalam konteks konseling. Untuk jelasnya, coba perhatikan kasus di bawah ini.

Kasus:
Ibu A seringkali berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ia merasa hidupnya tidak berguna lagi. Ia yang sudah ditinggalkan suaminya lima belas tahun yang lalu, harus pula menghidupi ketiga anaknya yang saat itu masih kecil-kecil. Memang sebagai pasien diakonia gerejanya, ia mendapat bantuan beras sepuluh kilo perbulan. Itu sudah baik, tetapi mana cukup? Penghasilannya sendiri melalui terima jahitan tidak seberapa. Untuk bayar uang sekolah anak-anak saja tidak cukup.

Sekarang di tengah himpitan hidup ini, ketiga anaknya bermasalah. Anak yang pertama terjerat Narkoba, seringkali mencuri dan beberapa kali tertangkap dan dimasukkan penjara. Anak kedua yang perempuan mulai pacaran dengan pemuda dari agama yang berbeda. Dengan anak ini, hampir setiap hari ibu A ribut karena dia mulai berani kurang- ajar bahkan beberapa kali minggat dari rumah. Belum lagi anak yang terkecil, yang sejak tahun yang lalu nilai-nilainya di SMP terus menurun. Ia menjadi anak pemurung yang menurut diagnose dokter menderita kelainan karena menunjukkan gejala-gejala schizophrenia.

Ibu A sendiri sebenarnya adalah seorang yang berpendidikan lulusan universitas di Jakarta. Tetapi sejak menikah ia sudah terbiasa di rumah, menjadi ibu rumah tangga dan cuma menerima jahitan karena memang hobinya menjahit. Ia menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri, yang telah membahagiakan dirinya selama kurang lebih lima tahun pertama pernikahan mereka. Kemudian suaminya mulai berubah karena kehadiran wanita lain, sampai pada keputusan menceraikan ibu A dan meninggalkan ketiga anaknya demi untuk keluarga baru yang ia bentuk.

Dalam perjumpaan dengan Anda ibu A minta nasehat dan minta didoakan. Untuk itu beberapa poin di bawah ini dapat dipertimbangkan.

Pertama, konselor perlu mengenali dan menyadari kesehatan jiwa ibu A.

Hidup ini memang kadang-kadang begitu sulit, tetapi antara orang yang sehat dan matang dengan mereka yang "kurang sehat dan kurang matang jiwanya," ada perbedaan. Pikiran dan keinginan untuk bunuh diri/"suicidal" pada dirinya sendiri perlu diwaspadai. Apalagi kalau disertai dengan rencana, persiapan dan upaya dengan langkah-langkah yang pernah diambilnya. Karena kalau benar demikian, dan bukan hanya keluhan dan omongan (yang bisa hanya merupakan "defense mechanism", "chatarsis", dan "manifestasi cry for help") maka sebaiknya konselor meminta bantuan seorang psikiater. Ibu A mungkin membutuhkan bantuan medikasi untuk menenangkan jiwanya sehingga nalar pikirannya dapat berfungsi lebih baik.

Kedua, percakapan konseling hendaknya jangan "phenomenological oriented", artinya jangan cuma mendiskusikan dan atau merasionalisasikan faktor-faktor pencetus yang sudah membebani pikiran dan perasaan ibu A. Memang benar anak-anaknya bermasalah, tetapi masalah-masalah anak tersebut hanyalah berfungsi sebagai "precipitating factors" atau faktor-faktor pencetus bagi ibu A. Fokus pada "precipitating factors" tidak akan menyelesaikan masalah. Karena yang menjadi penentu dari semua ini sebenarnya adalah "predisposing factors" atau faktor-faktor bawaan yang ada pada ibu A itu sendiri. Kalau ibu A memunyai "predisposing factors" yang cukup dan sehat, maka "precipitating factors" apapun dan bagaimanapun beratnya, ia tetap dapat menghadapi dan menyelesaikan dengan baik. Tetapi sebaliknya, kalau "predisposing factors"nya lemah dan kurang sehat, maka "precipitating factors" yang kecil dan sederhana saja pun dapat menenggelamkan dirinya dan membuat dia putus asa.

"Precipitating factors" bisa datang dan muncul setiap waktu di luar dugaan manusia, dan bentuk maupun wujudnya seringkali sama sekali berada di luar kontrol orang tersebut. Ibu A yang mula-mula memunyai kehidupan rumah tangga yang bahagia, bisa begitu saja berubah karena suami berubah menjadi manusia yang lain yang begitu teganya meninggalkan dirinya untuk wanita lain. Anak-anak yang tadinya mudah di-handle ternyata secara bertahap menjadi anak-anak yang sulit dan bermasalah. Memang untuk memahami semua ini, konselor juga dapat melihat peran "predisposing factors" ibu A sejak mula. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana manifestasi "predisposing factors"nya sekarang ini. Apakah ia meresponi faktor-faktor pencetus masalah dalam hidupnya dengan "appropriate" atau tepat, atau sebaliknya. Mengapa demikian? Mengapa ia bereaksi demikian, dan mengapa ia berpikir dengan pola-pola pikir yang sedemikian, yang ternyata tidak menyelesaikan persoalannya?

Jadi, tugas konselor adalah menolong ibu A untuk belajar menyadari dirinya sendiri (self-awareness) dan belajar menemukan potensi yang ada dalam dirinya dan mengembangkannya (self-discovery). Untuk itu, konselor harus belajar untuk tidak memberi nasehat, karena seringkali nasehat (yang cenderung phenomenological) justru menambah masalah baru di tengah realita bahwa "precipitating factors" atau wujud dan manifestasi problema kehidupan terus bergerak dan berubah. Jadilah teman bicara yang dapat "listening," yaitu mendengar apa yang menjadi keinginan, pola pikir dan kerja emosi ibu A. Kemudian refleksikan (reflective listening) secara tepat sehingga kesadaran diri ibu A mulai terbentuk.

Ketiga, konselor sendiri harus memunyai pemahaman yang sehat atas realita tragedi yang ada dalam hidup ini. Untuk itu konselor harus terus-menerus berada dalam posisi yang tepat sebagai konselor yang tidak terjebak dalam jebakan "sympathy" (terhanyut karena ada "emotional involvement" dengan ibu A). Tugas konselor adalah "empathy" atau ikut merasakan, dan bukan "sympathy" atau ikut terlibat merasakan pengalaman tersebut. Dengan "empathy"lah konselor memahami realita tragedi yang hadir dalam hidup ibu A. Dan dengan itulah, pergumulan dan jenis pertanyaan yang ibu A ajukan kepada Tuhan dan dirinya sendiri akan dapat mulai didengar dan ditangkap oleh konselor.

Mungkin konselor akan menemukan reaksi ibu A yang tidak mau bertanya tetapi hanya mau lari dari realita, bahkan dengan menghukum dirinya sendiri dengan mencoba bunuh diri. Mungkin pula konselor akan mendengar ibu A mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak "appropriate" atau keliru atau tidak tepat di tengah realita tragedi yang ia hadapi. Tetapi bisa juga konselor mendengar berbagai pertanyaan yang "sangat bagus" yang muncul dari dalam jiwa seorang wanita yang sebenarnya kaya dengan pengalaman. Seperti pertanyaan Epicurus (341-270 BC),

"God either wishes to take away evils, and is unable; or He is able, and is unwilling, or He is neither willing nor able, or He is both willing and able. If He is willing and is unable, He is feeble, which is not in accordance with the character of God; If He is able and unwilling, He is envious, which is equally at variance with God; If He is neither willing nor able, He is both envious and feeble and therefore not God; If He is both willing and able, which alone is suitable to God, from what source then are evils? And why does He not remove them?/ Mungkin saja Allah punya keinginan menghapus kejahatan tetapi tak sanggup; atau Ia sanggup tetapi Ia tidak ingin lakukan itu, atau Ia ingin dan sanggup lakukan. Kalau Allah ingin tetapi tak sanggup, Ia Allah yang lemah, dan ini tak sesuai dengan diri-Nya. Kalau Ia sanggup tetapi tak mau lakukan, Ia adalah Allah yang cemburuan, yang ... memang kadang-kadang nampaknya demikian, sebagai variasi manifestasi-Nya yang tak terpahami. Kalau Ia ternyata tidak ingin dan tidak sanggup, Ia adalah Allah yang lemah sekaligus culas, dan dengan ini Ia tak pantas disebut Allah. Kalau Ia ingin dan sanggup, yaitu karakter yang paling cocok untuk diri- Nya, lalu darimana sebetulnya datangnya kejahatan? Mengapa Ia tidak menyingkirkannya?"

Tugas konselor yang utama justru menstimulir munculnya berbagai pertanyaan yang "bermutu" dari ibu A di tengah realita tragedi yang dihadapinya. Karena dengan itulah, terapi kesadaran diri mulai terjadi dan ibu A siap untuk berdialog dengan Tuhan dan menemukan bijaksana dan kekuatan dari pada-Nya.

Sumber
Halaman: 
1 -- 3
Judul Artikel: 
Parakaleo, Januari - Maret 2007, No. 1, Vol. XVI
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII, Jakarta 2007