Seni Tidak Menghiraukan

Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen, pernah berkomentar bahwa dalam pernikahan, sekali-sekali kita perlu untuk tidak menghiraukan perbuatan pasangan kita. Ada banyak hikmat dalam komentar yang kedengarannya kurang simpatik tetapi mendarat ini. Setelah 16 tahun menikah, saya harus mengakui kebenaran saran Dr. Dobson itu.

Tidak menghiraukan bukan berarti mengabaikan pasangan kita secara pribadi. Tidak menghiraukan mengacu pada sikap tidak mengacuhkan perbuatan pasangan kita yang mengganggu. Dengan kata, lain, walau tidak kita sukai, kita memilih untuk mendiamkan atau memasabodokan tindakannya itu. Dr. Dobson mengimbau agar kita tidak senantiasa mempersoalkan setiap perbuatan pasangan kita yang' tidak kita senangi. Akan ada hal yang harus diselesaikan, namun ada yang untuk didiamkan atau ditoleransi saja.

Bagi saya, menoleransi merupakan suatu seni yang diperlukan dalam pernikahan, bahkan suatu keharusan apabila kita ingin hidup bersama. Menoleransi muncul dari pengakuan bahwa perbedaan tidak semata identik dengan kekurangan atau kesalahan. Saya berikan satu contoh dari rumah tangga kami sendiri. Saya bukan orang yang senang dan sering merapikan barang, namun saya orang yang menyukai kerapian. Jadi, saya berupaya mempertahankan kerapian selama mungkin. Ketidakrapian membuat saya tidak nyaman dan resah.

Sebaliknya, istri saya senang dan sering merapikan barang, tetapi ia juga yang acap kali membuat barang tidak rapi. Saya malas merapikan, oleh sebab itu saya mencoba mempertahankan kerapian (agar tidak usah sering-sering merapikan). Istri saya rajin merapikan tetapi cepat pula meletakkan barang-barang di tempat yang sudah rapi sehingga akhirnya kembali tidak rapi.

Pada awalnya, adakalanya ia meminta saya untuk membersihkan atau merapikan sesuatu permintaan yang saya turuti dengan setengah hati karena saya malas merapikan dan enggan membersihkan. Sudah tentu sikap saya ini membuatnya jengkel sehingga pada akhirnya istri sayalah yang paling sering membersihkan dan merapikan. Sebaliknya, kadang saya merasa jengkel karena sesuatu yang telah rapi cepat pula berubah menjadi tidak rapi akibat masuknya barang-barang yang tidak diundang di tempat itu.

Pada akhirnya, istri saya belajar menoleransi kemalasan saya untuk membersihkan dan merapikan. Sebaliknya, saya pun menoleransi siklus rapi-tidak rapi dalam rumah kami. Saya harus jujur, adakalanya kami tidak selalu berhasil menoleransi dan yang keluar dari mulut kami adalah omelan. Namun, kami berusaha menoleransi.

Menoleransi bertunas dari kesadaran bahwa seseorang tidak harus sama dengan kita dan tidak sama-meski menjengkelkan-merupakan sesuatu yang harus kita hormati. Sudah tentu di sini saya tidak sedang membicarakan tentang kebiasaan buruk yang bersifat moral-rohani.

Contoh yang lain. Istri saya mempunyai cadangan energi yang jauh lebih banyak daripada saya dan ia pun jauh lebih jarang sakit dibanding saya. Masalahnya adalah, energi yang banyak ini membuatnya lebih sulit tidur untuk waktu yang lama. Jadi, setiap malam ia terbangun sekali atau dua kali...yang membuat saya turut terbangun pula.

Saya adalah tipe orang yang memerlukan tidur malam tanpa gangguan; tidur yang tidak nyenyak merupakan jaminan besoknya saya menderita pusing kepala. Itulah sebabnya saya memberitahukannya akan "penderitaan" saya ini: Sudah tentu ia pun tidak ingin terbangun-bangun dari tidurnya, namun itulah keadaan dirinya yang harus diterimanya. Alhasil, istri saya yang baik ini kadang tidur dengan anak kami dan kadang tidur dengan saya. Apabila tidur dengan saya, ia pun mencoba sedapatnya untuk tidak banyak membuat gerakan.

Menoleransi berarti mencarikan solusi yang tepat agar apa pun itu yang mengganggu, tidak lagi sedemikian mengganggu. Saya tidak bisa memaksa istri saya untuk tidak "terbangun" sebab itu merupakan permintaan yang musykil; sebaliknya, ia pun tidak dapat memaksa. saya untuk "tidak terbangun" sewaktu ia terbangun (permintaan yang sama-sama mustahilnya). Menoleransi berarti berusaha mencarikan jalan keluar untuk meminimalkan dampak gangguan sehingga kita tetap dapat hidup bersama.

Saya setuju dengan komentar Dr. Dobson; mempersoalkan segala sesuatu memang tidak akan ada akhirnya. Saya kira orang yang mempersoalkan segala sesuatu masuk dalam salah satu kategori orang yang paling tidak bahagia di bumi ini. Ada waktunya untuk mempersoalkan sesuatu; ada waktunya untuk tidak menghiraukan.

Sumber
Halaman: 
3 - 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, Juli September 2000, Vol. VII, No. 3
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2000