Rekreasi Kristiani

Edisi C3I: e-Konsel 210 - Saran untuk Liburan

Sebagaimana tersimpul dari asal katanya, "re-" [ulang] dan "kreasi", rekreasi adalah sesuatu yang telah menjadi rusak dan perlu dipulihkan kepada keadaan semula -- sebuah tubuh yang sehat yang memiliki susunan yang seimbang, suatu kehidupan emosional yang stabil dan ekspresif. Rekreasi adalah sebuah cara, walaupun bukan satu-satunya cara, untuk memulihkan tubuh, pikiran, dan jiwa, sehingga mendatangkan kelegaan. Rekreasi juga merupakan salah satu dimensi dari kesenangan. Rekreasi sebagai Kesenangan

Sebagaimana tersimpul dari asal katanya, "re-" [ulang] dan "kreasi", rekreasi adalah sesuatu yang telah menjadi rusak dan perlu dipulihkan kepada keadaan semula -- sebuah tubuh yang sehat yang memiliki susunan yang seimbang, suatu kehidupan emosional yang stabil dan ekspresif. Rekreasi adalah sebuah cara, walaupun bukan satu-satunya cara, untuk memulihkan tubuh, pikiran, dan jiwa, sehingga mendatangkan kelegaan. Rekreasi juga merupakan salah satu dimensi dari kesenangan.

Rekreasi sebagai Kesenangan yang Bermanfaat

Kamus New Lexicon edisi tahun 1988 mendefinisikan rekreasi sebagai "aktivitas dan saat yang menyenangkan untuk penyegaran dan penghiburan". Sebagai kesenangan yang bermanfaat, rekreasi dapat muncul dalam banyak bentuk, yang biasanya dipilih untuk alasan-alasan pribadi atau tekanan sosial. Rekreasi dengan kewajiban seperti itu mengikutsertakan disiplin untuk perbaikan pribadi, kompetisi, dan uji keterampilan. Semuanya ini mungkin dilakukan dengan berbagai alasan: meningkatkan kinerja, kerinduan untuk mengungkapkan energi kompetitif di arena yang aman, kebutuhan untuk membuktikan kemampuan seseorang atau untuk mewakili sesuatu.

Di dunia Barat hampir semua bentuk rekreasi dikemas secara profesional dan industri hiburan raksasa mempromosikan secara tepat sasaran, dengan perlengkapan yang memadai, dan telah dilatih secara profesional. Seperti halnya kostum olahraga serta perlengkapannya sekarang telah menjadi satu kebutuhan tersendiri, karena selain unsur kesenangan dan segi olahraganya, unsur penampilan dalam kegiatan itu juga tidak kalah pentingnya.

Pilihan rekreasi tidak hanya dipengaruhi oleh situasi sosial dan kepribadian kita (saya cenderung untuk menghindari olahraga yang kompetitif dan saya lebih suka mendayung dan berjalan kaki), mereka juga dipengaruhi oleh situasi kehidupan. Kegiatan bertukang menjadi rekreasi bagi saya ketika saya melayani sebagai seorang pendeta. Ketika saya menjadi perintis gereja baru, saya hidup sebagai seorang tukang kayu, saya memperoleh kesegaran dengan membuat perabotan dari bahan dasar kayu. Ketika istri dan saya tinggal di daerah pinggiran di Afrika, kami sering berjalan-jalan di sore hari sebelum matahari terbenam. Tetangga kami selalu bertanya, "Mau pergi ke mana?" Ketika kami menjawab, "Hanya jalan-jalan", mereka memandang dengan rasa tidak percaya karena berjalan bagi mereka sama dengan pergi ke pasar dan bukan sebagai bagian dari rekreasi.

Rekreasi

Dari kejadian ini, adalah mudah untuk menyimpulkan bahwa orang yang hidup di negara yang belum berkembang tidak membutuhkan rekreasi. Tetapi sebenarnya mereka membutuhkannya, hanya saja mereka memilih apa yang cocok dengan kultur mereka: menghabiskan setengah harinya di desa pada hari pasar, minum-minum teh dengan teman-teman sambil mengobrol, dan anak-anak biasanya menemukan olahraga dan permainan mereka sendiri.

Robert Bolles dalam buku "The Three Boxes of Life" menjelaskan adanya kurun waktu dalam kehidupan kita yang tidak seimbang: pendidikan untuk dua puluh tahun pertama dalam kehidupan, bekerja selama empat puluh tahun hingga kita pensiun, diikuti dengan menikmati kesenangan hidup sampai kita mati. Ia berargumen bahwa apa yang kita butuhkan ialah suatu keseimbangan yang lebih baik antara ketiga tahapan itu sepanjang hidup, termasuk melakukan pekerjaan yang penuh makna pada masa pensiun, walaupun mungkin tanpa dibayar. Bahkan rekreasi dapat menjadi membosankan jika tidak ada lagi yang bisa dilakukan dalam hidup. Walaupun begitu rekreasi masih tetap menjadi bagian kehidupan bagi orang Kristen dan orang lain.

Apa yang Membuat Rekreasi Menjadi Kristiani

Mungkin ada yang berpikir bahwa menjadi anggota tim sepakbola sebuah gereja membuat olahraga itu menjadi lebih "rohani". Siapa pun yang pernah bermain dalam tim seperti itu tahu bahwa konflik antara kedagingan dan roh sama dahsyatnya dalam sebuah tim Kristen, meski sumpah serapahnya memang lebih sedikit. Rekreasi yang lain adalah mengikuti tur dengan sebuah kapal pesiar Kristen atau dengan bermain di sebuah taman Kristen.

Tetapi apa yang membuat rekreasi itu "bernilai Kristiani" bukanlah dinilai dari karakter atau konteks religiusnya karena kedua unsur ini tidaklah penting. Hati harus berhubungan erat dengan karakter yang membuatnya melakukan sesuatu yang memang adalah keinginan orang itu.

Pada butir pertama, kita dibawa kembali kepada mandat tiga berganda dari Allah kepada manusia pada pasal-pasal awal kitab Kejadian:

(1) hidup berkomunikasi dengan Allah

(2) membangun komunitas kebersamaan manusia, keluarga, gereja, dan bangsa (Kejadian 1:26) dan

(3) mengekspresikan kreativitas bersama dalam membuat dunia ciptaan Allah berfungsi dan mengembangkan potensi yang ada di dalamnya (Kejadian 2:15).

Rekreasi yang mengikis persekutuan kita dengan Allah, seperti permainan yang memakai kuasa kegelapan atau yang mendorong terjadinya kompetisi kekuatan fisik (seperti tinju dan gulat) atau yang merusak lingkungan (seperti mengendarai kendaraan di alam liar), tidaklah sinkron dengan panggilan tiga berganda Allah kepada kita.

Sebaliknya, rekreasi yang mendorong terjadinya kejenakaan di hadapan hadirat Allah (seperti golf), membangun kerja sama dan memperdalam hubungan (seperti bermain bola) atau mendorong penatalayanan atas bumi (seperti berlayar atau balapan di tempat terbuka) harus lebih diutamakan. Menjadi orang Kristen tidak berarti membuat kita menjadi seperti malaikat, karena kita harus tetap menjadi manusia seutuhnya.

Rekreasi seharusnya mengekspresikan kemuliaan kemanusiaan kita, tanpa menghilangkan kemanusiaan pemainnya dan bumi tempat kita bermain. Suatu rekreasi menjadi Kristiani bukan karena label religiusnya atau karena kita melakukannya dengan sesama orang Kristen, tetapi karena hal itu sesuai dengan rencana Allah bagi manusia, suatu tujuan di mana Allah memperbaiki kita.

Tetapi bukan hanya itu. Pada butir yang kedua, rekreasi menjadi Kristiani karena dilahirkan dari realitas Injil. Artinya sangat sederhana: bermain dengan kasih karunia dan bukannya dengan bekerja. Gagal memanfaatkan waktu untuk rekreasi dengan alasan "banyak pekerjaan" atau "terlalu sibuk" biasanya merupakan sebuah indikasi bahwa doktrin pembenaran oleh kasih karunia melalui iman belum menembus kehidupan di waktu luang kita.

Kehidupanlah yang menjadikan seorang menjadi seorang teolog dan bukan kematian dan keadaan terkutuk, bukan pemahaman, membaca dan berspekulasi.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Paradoksnya, sebagaimana diketengahkan oleh Leland Ryken, "banyak orang yang merasa bersalah karena mengambil waktu untuk bersenang-senang, mereka juga merasa bersalah karena mereka bekerja terlalu keras." Selain itu, rekreasi adalah salah satu dari pekerjaan-pekerjaan "kecil" yang kita lakukan yang tidak kita upayakan untuk membuktikan sesuatu kepada Allah atau bahkan kepada diri sendiri. Kristus telah membuktikan dan menyetujuinya. Oleh karena itu kita memiliki kebebasan untuk bermain dengan sepenuh hati. Kita dapat sungguh-sungguh melakukannya karena Injil membebaskan kita untuk beristirahat sepenuhnya.

Rekreasi adalah kreasi yang sejajar dengan rencana Allah untuk tatanan yang dikreasikan. Dengan rekreasi kita diundang untuk bersantai dalam kasih karunia Allah dan bukan lewat prestasi kerja kita. Tetapi akhirnya rekreasi juga memiliki makna eskatologis, menunjuk kepada penciptaan ulang (re-kreasi) Allah terhadap alam semesta. Oleh karena itu dengan berekreasi kita sebenarnya sudah mulai mencicipi kehidupan dalam Kerajaan Allah.

Luther juga mengatakan bahwa "Kehidupanlah yang menjadikan seorang menjadi seorang teolog dan bukan kematian dan keadaan terkutuk, bukan pemahaman, membaca dan berspekulasi".[1] Bukankah dengan bermain -- salah satu dimensi dari kehidupan -- kita menjadi praktisi teolog yang merefleksikan keyakinan yang nyata tentang kebaikan, kasih karunia, dan rencana akhir Allah.

[Sumber: R. Paul Stevens, "Recreation" dalam Robert Banks et.al., The Complete Book of Everyday Christianity, InterVarsity Press.]

Catatan kaki:
[1] A.E. McGrath, Luther's Theology of the Cross: Martin Luther's Theological Breakthrough, hal. 152

Artikel ini pernah dipublikasikan di Publikasi e-Konsel edisi 102: https://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/102

Diambil dan disunting dari:
Halaman : 4 - 8
Judul Buku : Kalam Hidup, Juli 2005 (Majalah)
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup
Kota : Bandung
Tahun : 2005
Sumber
Halaman: 
4 - 8
Judul Buku: 
Kalam Hidup, Juli 2005 (Majalah)
Penerbit: 
Yayasan Kalam Hidup
Kota: 
Bandung
Tahun: 
2005