Renungan Natal

Ditulis oleh: I Suharyo

Peristiwa kelahiran Yesus telah memberikan inspirasi yang amat kaya dalam berbagai bidang kreatif, seperti lukisan yang bermutu tinggi, lagu-lagu indah abadi, renungan-renungan yang menyentuh hati, dan buku-buku tebal yang mencoba mengurai misteri peristiwa ini. Ada juga cerita-cerita sederhana yang menantang refleksi. Berikut salah satu di antaranya.

Kata yang punya cerita, ketika Yesus lahir, malaikat mengadakan seleksi siapakah di antara binatang-binatang yang sebaiknya menemani Yesus yang terbaring di palungan. Yang pertama mengajukan diri adalah harimau. Ia berkata, ”Sayalah yang paling pantas menjaga Yesus. Siapa pun yang berani mendekat akan saya terkam dan saya cabik-cabik dengan kuku dan taring saya. Yesus akan aman.” Malaikat menjawab, ”Yesus adalah Raja Damai. Kekerasan tidak sesuai dengan maksud kedatangan-Nya.”

Selanjutnya majulah si kancil dan berkata, ”Benar, kekerasan bukan cara beradab. Untuk menjaga supaya Ia aman, saya mempunyai jurus canggih, akan melakukan lobi-lobi dalam pertemuan-pertemuan rahasia; kalau perlu saya akan merekayasa supaya semua urusan lancar.” Malaikat menjawab, ”Yesus adalah Raja Keadilan dan Kebenaran. Rekayasa dan sikap licik hanya akan menyakitkan hati-Nya.”

Berikutnya majulah seekor burung merak dengan menunjukkan segala keindahannya. Ia berujar, ”Sayalah yang paling tepat ada di dekat Yesus. Saya akan menyiapkan penyambutan yang mewah meriah.” Malaikat menjawab, ”Yesus adalah Raja yang sederhana dan rendah hati. Kemewahan dan gebyar-gebyar yang berlebihan jauh dari semangat hidup-Nya yang selalu dekat dengan orang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.”

Selanjutnya majulah berbagai binatang lain menawarkan diri, seperti serigala, bulus—buaya dan cicak tidak ada karena sedang mempunyai urusan lain. Semuanya tidak lolos seleksi. Sementara itu, malaikat melihat seekor keledai dan lembu yang diam tak menawarkan diri. Malaikat bertanya kepada mereka, ”Mengapa kalian tidak angkat bicara dan mengajukan diri menjadi pendamping Yesus?” Keledai berkata, ”Siapakah saya ini. Paling-paling saya hanya dapat membantu membawa beban.” Lembu menyahut, ”Apalagi saya, paling-paling saya hanya dapat mengusir lalat dengan ekor saya.” Kedua binatang ini lolos seleksi. Itulah sebabnya di goa-goa Natal, dekat palungan, sampai sekarang kedua binatang itu hadir.

Ketidakpercayaan publik

Pada akhir tahun 2004 Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengeluarkan Nota Pastoral berjudul ”Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa”. Dalam tulisan itu disebut berbagai hal yang baik yang telah dibangun oleh bangsa kita. Sementara itu, ditengarai pula bahwa ada tidak sedikit hal yang tidak baik, yakni munculnya tegangan-tegangan baru dalam badan-badan publik penyangga demokrasi, keraguan dan kegelisahan dalam sektor/komunitas bisnis, demikian pula kerisauan akan masa depan bangsa dan ketegangan dalam dan di antara komunitas masyarakat warga (no 7.2.).

Konstatasi ini tampak masih benar pula untuk saat ini, lima tahun sesudah Nota Pastoral itu dikeluarkan. Sekurang-kurangnya hal-hal itulah yang memberikan kesan mendominasi pemberitaan dalam sejumlah media massa. Keadaban publik belum banyak beranjak maju. Habitus baru yang diharapkan dapat mengembangkan kebaikan bersama, kejujuran, dan kepercayaan di antara masyarakat warga masih jauh dari yang dicita-citakan.

Yang paling tampil adalah rebutan kekuasaan, kepentingan, keserakahan yang tidak terpuji, dan kebohongan kepada publik dengan akibat semakin kuatnya ketidakpercayaan publik. Di tengah-tengah kenyataan hidup seperti inilah kelahiran Yesus dirayakan.

Rajin berbuat baik

Santo Paulus tidak menulis kisah mengenai kelahiran Yesus. Ia membahasakan peristiwa ini dengan pendek, ”Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia, dengan menantikan pernyataan kemuliaan Juru Selamat kita, Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri yang rajin berbuat baik” (Tit 2:11-14).

Keledai dan sapi—yang mempunyai semangat hanya ingin berbuat baik—hadir di dekat palungan memberikan pesan kepada kita untuk berusaha selalu berbuat baik di tengah-tengah keadaan nyata masyarakat dan bangsa kita. Itulah pesan yang juga disampaikan oleh Pesan Natal Bersama PGI dan KWI, yaitu ”untuk senantiasa menyadari kebaikan Tuhan dan sendiri berbuat baik kepada sesama, yakni untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan”. Dengan demikian, merayakan Natal antara lain berarti meneguhkan niat—baik sebagai pribadi maupun dalam kebersamaan—untuk selalu berbuat baik.

Mengakhiri renungan ini, saya kutip kata-kata indah Bunda Teresa, ”Setiap kali kita tersenyum bersahabat kepada seseorang dan berbaik hati kepadanya, kita merayakan Natal. Setiap kali kita memberikan pengharapan kepada seseorang yang putus asa, kita merayakan Natal. Setiap kali kita memberikan kesempatan Yesus lahir kembali dengan membahagiakan orang lain, kita merayakan Natal.”

Selamat hari raya Natal dan selamat rajin berbuat baik dan selamat menyambut Tahun Baru.

I Suharyo, Uskup Koajutor Keuskupan Agung Jakarta

Sumber: http://nasional.kompas.com/

Tanggal akses: 2 Desember 2010