Paskah Berdarah

10 April 2004. Cuaca sore itu begitu cerah ketika R bergegas berjalan menuju gerejanya yang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya. Ia harus berangkat lebih awal; Sabtu sore adalah jadwal Pendalaman Alkitab (PA) bagi jemaat GUP Tabernakel di sebuah desa di Sulawesi. R harus menyiapkan segala sesuatu, apalagi listrik sudah padam setengah jam sebelum mereka memulai kegiatan itu. Listrik memang sering padam di daerah itu, atau kadang-kadang terganggu setelah serangan kepada orang-orang Kristen. Orang-orang di daerah itu tidak bisa membedakan apakah suatu pemadaman disebabkan faktor teknis atau akibat gangguan yang disengaja.

Namun demikian, padamnya listrik sore itu tidak menurunkan semangat R dan jemaat untuk mendalami Alkitab. R memainkan gitarnya sampai semua peserta PA hadir. Dari dua puluh jemaat yang menghadiri PA itu, sebagian adalah anggota keluarga R. Mereka belajar dengan diterangi sinar petromaks. Orang-orang yang bisa membaca Alkitabnya hanya mereka yang berada di dekat lampu petromaks. Peserta yang lain hanya bisa mendengarkan sang gembala membacakan ayat-ayat dengan penerangan darurat.

Kegiatan PA itu usai pada pukul 19:00. R dan 11 orang jemaat masih tetap di sana untuk berlatih paduan suara, yang akan tampil pada ibadah Paskah keesokan harinya. Sejak kanak-kanak, R sudah bergabung dengan paduan suara sekolah minggu. Keterampilannya memetik gitar, yang diturunkan dari ayahnya, dimanfaatkan untuk melayani sekolah minggu sejak ia kelas 6 SD. Setelah ia menikahi DE, R juga melibatkan istrinya di dalam kelompok paduan suara.

Pada pukul 19:15, saat masih diterangi lampu petromaks, 10 orang anggota paduan suara berkumpul di bangku depan, di dekat mimbar. Mereka harus segera berlatih mengingat cahaya petromaks semakin meredup. S, putri R yang masih berumur 4 tahun duduk manis di sebelah ibunya. Mereka memilih Lagu berjudul "Kalau bukan Kasih" untuk peringatan Paskah besok. Kenangan akan penderitaan Kristus di kayu salib memenuhi suasana malam itu. R mulai memetik gitar sambil memimpin paduan suara.

Mereka tidak menyadari bahwa di balik kegelapan malam itu, suatu kebengisan dari luar gereja akan mendatangi mereka dengan kejinya. Pembantaian total akan terjadi di gereja itu. Adik ketiga R, bernama O, yang sedang menuntun sepeda motor di luar gereja, samar-samar melihat seorang pengendara sepeda motor pergi setelah menurunkan dua orang lelaki. O menghidupkan mesin sepeda motornya dan mengarahkan sorot lampu depan ke arah dua orang lelaki itu.

Dua lelaki berjaket loreng itu masuk ke dalam gereja dengan menenteng senjata berlaras panjang. O mengira keduanya aparat keamanan yang bermaksud akan memberikan pengamanan untuk kegiatan Paskah esok hari. Ternyata ia salah duga. Kedua lelaki itu langsung memuntahkan isi senapan mereka ke arah anggota paduan suara yang sedang bernyanyi di gereja. Jemaat benar-benar tidak menyadari kedatangan dua orang lelaki itu karena suasana di luar benar-benar sangat gelap.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat keras. Buummm ...! Suara itu adalah ledakan bom berdaya ledak kecil. Tante R, S, roboh seketika itu juga. Lalu, sebutir peluru melesat dan menembus tangan kanan R yang sedang memetik gitar. Peluru itu juga menembus kedua sisi gitar. Dua lelaki itu berdiri di pintu depan gereja sambil memuntahkan isi senapan otomatis mereka ke arah anggota paduan suara.

Terdengar suara istri gembala berteriak nyaring, "Tiaraaap ...!" Semua orang di dalam gereja tiarap, panik, dan berusaha menyelamatkan diri. Terjadi kegaduhan di dalam gereja dengan berondongan suara tembakan dan peluru berhamburan ke arah mereka, disertai teriakan-teriakan histeris.

Di tengah-tengah hujan peluru, mereka berlarian keluar dengan panik melalui pintu samping gereja yang menuju ke pastori. DE dan S, bertiarap di bawah bangku, menyingkirkan bangku-bangku di depan yang menghimpit mereka, lalu menyambar putri mereka sambil berlari -- pada saat itu, ia belum menyadari bahwa ia dan putrinya telah tertembak. DE lari sambil berteriak, "Darah Yesus ... Tuhan tolong ...!" Ayah R, D, yang berlari ke arah belakang gereja sempat melihat wajah si pelaku yang disamarkan topeng.

S, yang sudah terhempas pada ledakan pertama, masih tertinggal di dalam gereja di tengah rentetan tembakan peluru dan darah berceceran di lantai. Dari dalam pastori mereka masih mendengar suara rentetan senapan itu belum berakhir. Drum, pengeras suara, dan peralatan gereja lainnya sudah hancur, termasuk bangku-bangku. Tembok-tembok tampak penuh lubang ditembus peluru. Tidak seorang tetangga pun yang berani keluar rumah pada saat itu. Saksi mata di luar gereja mengatakan bahwa setelah kedua pria itu berhenti menembak, para pembantai itu menghilang masuk ke arah hutan.

Pastori masih diliputi suasana mencekam dan ketakutan. Ibu R, DS, baru menyadari bahwa kelingking kirinya telah putus dan hilang. D, tertembak di lengan kanan. Tangan kiri DE tertembak. S tertembak di kaki kanan. Selain di tangan, R juga tertembak di paha kanan. DE dan DS membungkus luka masing-masing dengan taplak meja dan kain seadanya. Jemaat yang sedang ketakutan itu mulai menaikkan doa dan pengharapan bersama di dalam pastori.

Orang-orang mulai berdatangan dan membantu mencarikan kendaraan untuk melarikan mereka ke rumah sakit. Sejam kemudian, mereka berhasil memperoleh pinjaman sebuah angkutan kota untuk membawa 6 korban, 4 pengantar, dan 2 aparat. Dua orang aparat bergelantungan di pintu angkot yang terbuka karena disesaki orang. Angkot dipacu dengan kecepatan tinggi, melalui jalan berkelok-kelok, dan tiba di Rumah Sakit P sejam kemudian.

Masyarakat "beragama lain" telah menunggu di Rumah Sakit, namun mereka diberitahu sebuah berita bohong, bahwa orang-orang Kristen yang baru keluar dari gereja menyerang sebuah bus dari kota M yang mayoritas umat dari "agama lain". Masyarakat "agama lain" itu ingin mengetahui keadaan korban-korban yang disangka umat seagamanya. Akhirnya, mereka membubarkan diri setelah mengetahui bahwa terjadi pemutarbalikan fakta di sana -- sesuatu yang sering terjadi di daerah konflik (suatu serangan awal sering dipicu fitnah).

Dokter ahli harus didatangkan dari ibu kota provinsi, dan itu pun hanya seorang, sehingga membuat orang-orang yang mendapat giliran terakhir untuk dioperasi harus berpuasa hingga 3 hari.

Diambil dari:

Judul buletin : Kasih dalam Perbuatan, Edisi Mei -- Juni 2004
Penulis : tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya 2009
Halaman : 9 -- 10

Dipublikasikan di: http://kesaksian.sabda.org/paskah_berdarah