Salam Perpisahan bagi Teman Sekerjaku

Setelah sempat menjadi ancaman selama berbulan-bulan, hari ini tibalah saatnya untuk berpisah. Satu demi satu, para manajer memanggil anggota staf ke kantor mereka.

Di balik pintu-pintu yang terkunci terdengarlah keputusan, siapa yang akan pergi dan siapa yang akan tinggal. Ketika semuanya selesai, kira-kira ada 20 persen orang di gedung tempat kerjaku kehilangan posisi mereka dan harus mencari posisi lain di perusahaan, berhenti, atau mengundurkan diri.

Siang itu, Anda dapat merasakan udara menguap dari pori-pori gedung sehingga ruang-ruang sempit, lorong-lorong masuk, dan bahkan ruang lift seolah tak beroksigen sama sekali. Kondisi di tempat itu sangat gerah.

Ada perasaan terkejut karena menjadi salah satu dari golongan 20 persen itu, atau perasaan lega karena menjadi bagian dari 80 persen sisanya. Tidak ada perasaan netral pada hari itu. Posisiku aman, tetapi aku masih merasa sangat kasihan kepada teman-teman dan rekan-rekan kerjaku.

Dengan cepat sumber gosip beredar dan nama-nama orang yang terkena imbas mulai tersebar. Mereka mengundurkan diri dengan berat hati. Mereka berjalan ke ruang masuk dengan rasa enggan dan tanpa tujuan, barisan menyedihkan yang akan dilupakan. Orang-orang memandang sayu terhadap mereka, orang-orang yang telah mengabdi puluhan tahun di perusahaan ini -- kini, posisi mereka tidak lagi cukup penting untuk tetap dipertahankan. Pil pahit ini sulit untuk ditelan.

Orang-orang yang naik lift setiap pagi membicarakan hal ini. Ketidakpastian dan ketakutan melekat pada mereka, seperti sebotol parfum murah di samping deodoran di etalase apotek. Tak ada yang saling melihat karena ingin menghindari pertanyaan.

Awalnya, aku tidak tahu harus berkata apa. Namun, tanpa basa basi aku mulai berbicara kepada mereka dengan jujur dan rasa simpati. Menepukkan tangan ke atas bahu, membuka telinga untuk mendengar, pikiran yang mau memahami, dan hati yang mau mengerti. Ini bukanlah sesuatu yang terlalu sulit.

Beberapa orang merasakan kepahitan, bahkan amarah, sementara yang lain kelihatannya menanggapinya dengan tenang - seperti Sophie. Dia telah bekerja di posisinya selama hampir 30 tahun, melayani puluhan eksekutif selama bertahun-tahun sebagai sekretaris. Awalnya, dia terkejut, tetapi kemudian perasaan damai menghampirinya. Dia berencana akan pensiun. Lebih awal daripada yang direncanakannya memang, tetapi dia penuh dengan harapan positif.

"Aku ingin tinggal, tetapi kupikir Allah memiliki rencana lain," katanya kepadaku. "Dia lebih tahu ketimbang aku."

Senyuman dan semangatnya menular, dan menjadi sumber inspirasi bagi orang lain yang di-PHK.

Kue dan pidato perpisahan untuk formalitas pada hari Jumat merupakan hal yang biasa akhir-akhir ini. Satu demi satu, orang-orang yang kukenal selama bertahun-tahun pergi ke tempat lain. Minggu lalu adalah hari terakhir Sophie, Dia memberikan pelukan dan doa berkat bagi rekan-rekan sekerjanya. Dengan rapi dia menaruh staples dan gulungan selotip di atas meja kerjanya dan mendorong masuk kursinya untuk terakhir kali. Selesai.

Aku berada di lobi saat dia pergi. Aku melihatnya berjalan ke luar gedung sendirian. Melewati pintu pertama, lalu pintu kedua, dan sampai di luar gedung, di bawah sinar matahari. Aku menunggu dan memandang, ingin tahu apakah dia akan menoleh ke belakang. Dia tidak melakukannya. Sambil menahan air mata, dia tetap mengangkat kepalanya, menenteng tas tangannya yang penuh dengan kartu-kartu ucapan, hadiah-hadiah, dan bingkai foto dari meja kerjanya.

Di tangannya ada sebuah lempeng logam bertuliskan, "Yesus tidak pernah gagal."

Selamat tinggal. (t/Setya)

Diterjemahkan dari:

Sumber
Judul Artikel: 
Farewell to My Coworkers
Tahun: 
11 November 2011
Situs: 

The High Calling