Masalah Orang Tua dan Remaja

Remaja adalah masa yang sedang mengalami pergolakan dan disinilah orangtua harus mengarahkan remaja pada rel yang telah ditetapkan.

GS: Gunawan Santoso (Lembaga Bina Keluarga Kristen)
PG: Pdt. Paul Gunadi
WL:Wulan, S.Th.

GS: Pak Paul, rupanya perubahan yang begitu cepat di dalam diri dari seorang anak menjadi remaja bukan cuma tubuhnya yang berubah dengan cepat, perubahan tingkah lakunya itu sering kali membuat orang tua bertanya-tanya. Rasanya tidak siap menghadapi perubahan yang begitu cepat, nah sebenarnya ketika terjadi perubahan-perubahan seperti itu masalah apa yang bisa timbul antara orang tua dan remaja, Pak Paul?

PG: Sebetulnya pada masa remaja, memang hubungan orang tua-anak itu mengalami ujian. Saya sebut ujian sebab seolah-olah kalau sebelum masa remaja itu hubungan orang tua-anak tidak terlalu kat atau tidak kokoh, pada masa remaja mudah sekali untuk retak.

Karena apa, karena akan ada masalah-masalah yang timbul yang terkait dengan dinamika pertumbuhan si anak itu sendiri sebagai seorang remaja. Nah jadi apa nantinya yang sangat diperlukan oleh orang tua supaya anak remajanya bisa melewati masa remaja ini dengan baik tanpa harus mengorbankan si anak remaja ini maupun relasinya dengan orang tuanya. Saya kira yang pertama adalah orang tua harus memahami dinamika pertumbuhan anaknya, apa sebetulnya yang terjadi pada diri anak-anaknya ini.

Nah sesungguhnya orang tua tidak perlu belajar karena mereka pernah remaja dulu, tapi saya perhatikan cukup banyak orang tua setelah mereka menjadi orang tua, mereka lupa bahwa mereka pernah remaja. Misalkan pada masa remaja, apakah anak-anak akan lebih senang belajar atau lebih senang ngobrol dengan temannya? Ya hampir semua anak remaja akan lebih senang ngrumpi, ngobrol dengan teman-temannya, apalagi sekarang sudah ada fasilitas chating di komputer walaupun tadi selama 8 jam di sekolah sama-sama dengan temannya. Tapi memang mereka tidak bisa berbicara banyak hanya pada masa istirahat saja. Pulang ke rumah mau ngomong lagi di telepon atau di internet. Jadi kalau orang tuanya memarahi si anak, ya boleh memarahi tapi jangan memberikan kesan kepada si anak bahwa si orang tua itu tidak pernah remaja. Dia pernah remaja, pahamilah bahwa anak-anak pada masa remaja memang akan begini, menaruh barang sembarangan, tidak mau menaruh di tempatnya, diberitahu, diberitahu tetap saja begitu.

Contoh, saya beri tahu anak saya, setiap pagi tolong gorden jendelamu dibuka supaya matahari bisa masuk, saya tidak bisa menghitung lagi saya berbicara seperti itu, dan apa yang terjadi? Sering kali tidak pernah dibuka, jadi sembilan dari sepuluh hari saya yang harus membuka gorden itu. Tapi ada juga yang berhasil, misalkan anak saya dulu memakai kacamata sekarang tidak lagi. Waktu itu dia pakai kacamata saya perhatikan kacamatanya jarang dia cuci, jadi saya saja dari luar bisa melihat kacamata itu berkabut, kotor, mulut saya sampai rasanya capek beritahu dia cuci, cuci, bersihkan kacamatamu. Saya biasakan diri setiap pagi mencuci kacamata saya dan saya ajarkan dia untuk melakukan hal yang sama, tapi tidak dilakukannya.

Akhirnya apa yang saya lakukan, saya ambil saya cucikan, saya cucikan sampai bersih sekali. Nah lama-kelamaan apa yang dia alami, ya... ya... kalau dicuci bisa melihat dengan jelas, kalau tidak dicuci berkabut, jadi lama-lama dia sadar tidak enak berkabut, nah, lama-lama dia cuci sendiri.

Tapi apakah dalam segala hal saya beritahu apa, berhasil dituruti oleh anak saya? Ya tidak, nah orang tua harus menerima hal itu. Kalau hal itu bukan hal yang primer, orang tua hendaknya memahami itulah remaja. Kalau Sabtu maunya pergi dengan teman-teman, tidak mau diajak pergi oleh orang tua, itu pun dinamika remaja. Kita pun waktu masih remaja dulu sudah umur 15, 16 tahun ya lebih senang pergi dengan teman daripada pergi dengan orang tua.

Jadi point pertama orang tua harus memahami, kalau tidak mau belajar dari buku-buku ya ingat-ingat saja dulu waktu masih remaja. Tapi saya juga sadari ada sebagian orang tua memang kehidupannya dulu terlalu baik, sehingga tidak mengerti seolah-olah dia sendiri tidak pernah mengalami hal ini. Atau dia hidup di bawah orang tuanya yang luar biasa keras sehingga tidak boleh melakukan apa-apa, jadi akibatnya dia juga memang tidak pernah berbuat apa-apa, bukannya tidak mau mau tapi tidak boleh. Jadi sekarang dia menuntut anaknya juga harus seperti itu, tuntutan yang kurang realistis.

WL: Pak Paul, seberapa jauh orang tua memberi batasan kelonggaran kepada anak remajanya, kalau tadi Pak Paul mengatakan lebih banyak mengertilah. Tapi orang tua juga was-was, bisa keterusan, misalnya tidak belajar, ya sudah tidak apa-apa dia mau ke mall eh... besok ke mall lagi, mau ngobrol, ya sudah ngobrol menjadi keterusan Pak Paul?

PG: Ada beberapa kriteria yang bisa kita gunakan Bu Wulan, pertama kita bisa menggunakan kriteria apakah ini akan membahayakan jiwanya.

Misalkan anak kita mempunyai kecenderungan untuk panasan, ngebut-ngebutan, kalau naik mobil dengan kita saja maunya ngebut-ngebutan, sudah orangnya tidak bisa diam, panasan. Nah saya kira sebisanya kalau kita memang mampu jangan ijinkan dia naik motor, jangan belikan dia motor, kita paksa dia untuk menunggu, "Nanti kamu setelah dewasa kamu bisa naik mobil, kami ajarkan kamu untuk mengendarai mobil," kalau misalkan itu memungkinkan. Kenapa, sebab kita tahu kalau kita berikan motor dia ngebut-ngebutan itu bisa membahayakan jiwanya.

Misalkan dia mau pergi dengan teman-temannya, jam berapa, jam 12 malam dia baru mau keluar nah kita gunakan prinsip yang kedua. Kalau tadi yang pertama apakah itu membahayakan jiwanya, yang kedua kita bisa berkata apakah ini bisa merusakkan jiwanya. Kalau dia pergi dengan teman-temannya jam 12 malam dan kita mulai sadari bahwa dunia gemerlap atau dugem itu yang sekarang sering dikunjungi oleh anak-anak remaja atau pemuda itu tempat atau sarang obat ekstasi dan sebagainya, nah kita juga harus berkata tidak. Nah kalau kita tahu itu akan merusakkan jiwanya kita juga akan larang.

Dan yang ketiga adalah apakah itu akan menjauhkan dia dari Tuhan, kalau hal-hal yang dia lakukan ini menjauhkan dia dari Tuhan kita larang. Meskipun kita mungkin akan mengalami pergumulan dengan dia, perdebatan dengan dia, salahnya apa, kenapa ini tidak boleh, tidak, kamu melakukan seperti ini misalnya kamu berbohong dan waktu kamu berbohong kamu berdosa dan pada waktu kamu berdosa kamu mengambil jarak dengan Tuhan, jangan. Jadi kita harus bertindak, kita harus interfensi kalau anak-anak kita memang akan melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya, merusakkan jiwanya atau menjauhkan jiwanya dari Tuhan, nah kita mau jaga ketiga hal itu secara pokok.

GS: Nah sering kali mereka berkata apakah papa dan mama tidak percaya dengan saya bahwa hal itu tidak akan mengganggu jiwa saya atau hubungan saya dengan Tuhan, begitu Pak Paul?

PG: Kadang-kadang kita akan berkata memang kami tidak percaya, jujur, tidak percaya. Untuk hal yang ini, ini, kami tidak percaya. Mereka akan berkata kenapa tidak percaya? Sebab saya pun atu papa pun atau mama pun kalau dalam posisi kamu tidak percaya dengan diri kami.

Misalkan anak kita umur 18 tahun berkata: "Kami mau ke villa ramai-ramai ke puncak gunung dengan teman-teman perempuan," kita tanya: "Dengan siapa?" "Teman-teman perempuan," jawabnya. Siapa? Disebutkan beberapa teman-temannya, "terus tinggalnya?" "Ya satu villa ramai-ramai." Kita berkata: "Tidak!" "Kenapa tidak, Papa-Mama tidak percaya dengan saya?" "Tidak" "Kenapa?" "Sebab papa-mama pun kalau dalam situasi yang sama tidak percaya dengan diri kami, sebab kami ini manusia, tercemar oleh dosa dan kami bisa dicobai oleh iblis dan oleh nafsu kami sendiri. Nah apakah kamu bebas dari semua itu, kalau kamu bebas dari semua itu ya kamu bisa tidak digodai. Tapi kalau kamu masih terbuat dari daging yang tercemar oleh dosa, bisa digoda oleh pencobaan, nah kamu berarti sama rawannya seperti kami."

Kita bisa memberikan pengertian dengan berkata: "Apakah kamu percaya kepada papa, kalau papa berkata kepada kamu papa mau pergi dengan tante ini berduaan ke villa ya kamu percaya tidak papa tidak melakukan apa-apa?" Nah si anak untuk membela diri mungkin berkata: "Saya percaya." Nah kita akan berkata: "Kalau kamu percaya, kamu terlalu polos, kamu tidak mengenal bahwa kita ini manusia yang mempunyai kandungan dosa, kita bisa jatuh ke dalam pencobaan." Nah jadi ada hal-hal dengan jelas yang akan kita katakan seperti itu, "Ya, memang kami tidak percaya, sebab bukan kamunya yang kami tidak percaya, kami tidak percaya pada kemampuan kamu seperti kami tidak percaya pada kemampuan kami untuk terus-menerus bisa melawan dosa atau mengontrol diri kami."

WL: Pak Paul, tapi ada banyak anak remaja juga yang berpikir: "Wah... kalau berkata jujur dilarang, tidak dipercaya, kalau begitu bohong saja," tapi dia tidak bilang bohong. Jadi dia misalnya kalau dari contoh Pak Paul tadi, dia pura-puranya menginap di rumah teman si A padahal akhirnya dia tengah malam terus pergi dugem atau dia ke puncak menginap atau apa, nah kalau begitu bagaimana mengatasinya Pak Paul, bukankah tidak ketahuan?

PG: Kalau kita tidak tahu ya tidak tahu, memang itu tidak bisa dihindari namun kita mesti bisa melihat tanda-tanda awal, tanda-tanda dini pada diri anak kita. Misalkan kita mulai melihat degan siapa dia bergaul, itu penting sekali.

Kalau kita mulai melihat anak kita bergaul dengan orang-orang yang rasanya ini mendatangkan pengaruh buruk buat anak kita, kita harus interfensi, kita harus kerasi sikap bahwa kita tidak setuju dia main dengan teman-teman ini. Kita jangan sampai di depan teman-temannya manis-manis, tidak apa-apa, teman-temannya pulang kita marah-marah, tidak, kita katakan jelas kami tidak suka teman kamu datang ke sini, dan mungkin anak kita akan berkata kenapa? Dan kita akan katakan teman kamu tidak benar, teman kamu begini, begini kita berikan bukti-buktinya juga.

Nah kita bisa juga mengajarkan anak-anak kita perbedaan antara teman yang baik dan orang yang baik, teman yang baik belum tentu orang yang baik. Nah orang yang baik belum tentu teman kita yang baik juga, tapi yang merupakan bagian dari kebenaran adalah orang yang baik bukan teman yang baik. Sebab sesama perampok pun akan baik dengan sesama perampok. Apakah mereka orang yang baik? Tidak, mereka merampok orang, tapi mereka mungkin sekali teman yang baik. Nah hal seperti ini yang kita mesti jelaskan kepada anak-anak remaja kita. Sebab mungkin sekali mereka juga tidak tahu bagaimana membedakan teman yang baik dengan teman yang tidak baik.

GS: Pak Paul, remaja ini mempunyai sikap atau sifat mencoba sesuatu karena mereka belum tahu, nah bagaimana kita mendampingi anak remaja kita yang mulai mencoba sesuatu yang baru, bukankah memang tidak ada salahnya untuk mengetahui sesuatu yang baru, cuma kalau itu berbahaya buat dia kita pun juga melarangnya.

PG: Misalkan ini yang dilakukan oleh anak-anak saya, mereka itu pernah beberapa kali bertanya-tanya kepada saya tentang minuman beralkohol seperti bir atau anggur. Terus saya berkata kepadamereka: "Suatu hari Papa akan belikan dan saya akan minta kamu coba minum," dan saya benar-benar membeli suatu hari ini mungkin 2 tahun atau 3 tahun yang lalu dan saya suruh mereka minum.

Mereka mulai minum tiba-tiba ada satu yang berkata pahit ya, ada yang bilang lagi ya... ya... tidak enak, pahit. Saya bilang ya memang pahit. Nah kalau anggur saja kamu rasa pahit tunggu sampai kamu minum bir lebih pahit lagi. O... gitu, mereka tahu. Bahkan kalau anak saya berkata: "Saya ingin cobai rokok seperti apa sih rasanya," saya akan bersedia belikan 1 batang rokok terus dia cobai, daripada dia coba di luar lebih baik dia coba di depan saya.

Sebab saya yakin kesan pertamanya waktu dia merokok akan berkata tidak ada enaknya biasa saja dan saya akan berkata ya betul memang biasa saja. Tapi kalau dia mencoba di luar, teman-temannya semua merokok dan dia coba-coba meskipun tidak enak dia mesti bersikap seolah-olah itu enak, itu yang terjadi pada diri saya. Waktu saya merokok begitu tidak enak di mulut saya panas, saya telan asapnya saya batuk-batuk tapi teman-teman semua merokok, ya saya bersikap seolah-olah saya menikmati rokok ini akhirnya benar-benar jadi merokok. Jadi akhirnya ada hal-hal yang kita ijinkan tapi ada batasnya, jangan sampai orang tua berkata: "Kalau begitu supaya anak saya tahu apa itu seks, saya bawa ke pelacur." Kalau itu kebangetan, jangan berdosa, boleh bereksprerimen tapi jangan berdosa itu prinsip yang kita coba tekankan pada anak-anak kita. Kalau mau mencoba silakan, papa di sini ajarkan, bagaimana rasanya anggur, bagaimana rasanya bir, bagaimana rasanya rokok. Tapi kalau dia bilang film porno atau pelacur, kita berkata tidak. Film porno kenapa, kita katakan ini akan meracuni pikiranmu dan apa yang telah kamu tonton hari ini akan tinggal di benakmu mungkin sampai 20 tahun mendatang tidak hilang-hilang dan akan mengotori dirimu. Sehingga waktu engkau melihat wanita, engkau tidak lagi melihat sebagai manusia tapi hanya melihat objek seksual.

Jadi ada hal-hal yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak dalam batas-batas eksperimen yang masih wajar, tapi kalau sudah menyangkut dosa kita katakan stop, tidak boleh.

GS: Tapi memang anak remaja ini biasanya lebih cocok dengan temannya daripada dengan kita, jadi kalau dia ingin mengetahui sesuatu atau mencoba sesuatu kebanyakan bersama-sama dengan teman-temannya yang sebaya, Pak Paul?

PG: Ini sebenarnya konsep yang telah berkembang di kalangan masyarakat bahwa anak-anak itu pada masa remaja sebetulnya lebih senang bersama-sama dengan teman-teman sebayanya karena apa, karna mereka sebaya.

Sebenarnya belum tentu itu benar, sebab pada kenyataannya anak remaja sebetulnya tidak berkeberatan dan bahkan cukup senang berteman dengan orang-orang yang lebih tua darinya bahkan ada perasaan bangga dan sebagainya. Saya kira akhirnya yang membedakaan bukan usianya tapi kemampuan orang mengerti si anak.

Kenapa remaja senang bersama-sama dengan temannya karena teman-temannya bisa mengertinya dan sama-sama remaja. Ada seorang penulis Kristen yang bernama Jay Kessler dia pernah menulis buku tentang remaja, dan yang dia tekankan adalah ternyata remaja mengeluhkan nomor satu tentang orang tuanya adalah orang tua tidak mengerti mereka. Jadi mengertilah, mengertilah, sebab anak-anak remaja kalau tahu orang tuanya mau mengertinya akan lebih banyak berbicara dengan kita dan terbuka. Kalau dia tahu orang tuanya sedikit-sedikit bilang tidak, tidak mau mengerti kondisinya dia juga akan malas berbicara dengan orang tuanya.

WL: Pak Paul, kita mengerti bahwa masa remaja memang penuh pergolakan, tetapi ada yang mengherankan ada beberapa walaupun tidak banyak anak-anak remaja yang tenang-tenang saja tidak terlalu bergejolak, menurut saja dengan orang tua, apakah itu sebenarnya agak tidak normal atau bagaimana, Pak Paul?

PG: Ada anak-anak remaja yang memang pas sesuai dengan harapan orang tuanya. Misalkan orang tuanya itu mengharapkan anaknya itu rajin belajar, nah si anak memang kebetulan anaknya pandai, dn perhatiannya terhadap buku sangat tinggi, nah itu tidak ada masalah.

Tapi kadang-kadang kebalikannya, orang tua mengharapkan anaknya rajin belajar, di rumah belajar, tapi anak ini energinya terlalu banyak, senangnya sport, senangnya di luar main sepak bola atau apa, nah orang tua menjadi sering marah kepada si anak, lebih banyak konflik. Jadi memang sekali lagi di sini diperlukan kemampuan orang tua memahami si anak, mengerti si anak, bukan saja mengerti dinamika pertumbuhan sebagai remaja yang akan melewati fase-fase ini tapi juga mengerti apa yang dipikirkan oleh si anak, keunikannya dan salah satunya adalah frustrasinya si anak. Anak-anak remaja itu sering kali adalah kelompok masyarakat yang paling banyak tekanan, mereka sebetulnya cukup menderita banyak tekanan. Nomor satu, sekolah itu sudah memberikan beban yang sangat tinggi kepada anak-anak kita dan jangan kita orang tua berpikir beban sekolah itu lebih ringan daripada bekerja, tidak.

Saya sudah pernah sekolah, saya sudah pernah bekerja dan sekarang pun saya bekerja, dan saya katakan lebih gampang bekerja daripada bersekolah. Sekolah ada jatuh tempo ujian yang harus kita pelajari tidak ada ampun tidak bisa berkata besok, makalah harus dikumpulkan dan sebagainya. Tekanan itu tinggi sekali dan kita senantiasa dibandingkan dengan sesama kita, nah itu berarti tekanan yang harus dihadapi oleh remaja. Itu sebabnya mereka pun perlu rekreasi, perlu untuk merilekskan mereka, nah kadang-kadang orang tua tidak bisa mengerti itu. Waktu anak-anak di rumah lagi diam-diam mendengarkan musik, orang tuanya marah: "bukannya belajar," dari jam 7 pagi sampai jam 3 sudah di sekolah untuk belajar, setelah mereka pulang mereka harus belajar lagi.

Nah di tengah-tengah belajar mereka mau diam-diam mendengarkan musik, dimarahi oleh orang tuanya, "Kenapa buang-buang waktu dengarkan musik, kok tidak belajar!" seolah-olah anak-anak diharapkan dari jam 7 pagi sampai jam 11 malam belajar terus. Nah celakanya sebagai orang tua akan berbangga hati dan berkata kepada teman-temannya: "Anak saya belajar sampai jam 12 malam." Siapa yang akan mengatakan itu hal yang sehat kalau anak dari jam 7 pagi sampai jam 12 malam hanya mengurung diri di kamar dan belajar, itu justru hal yang tidak sehat. Nah orang tua perlu mengerti bahwa anak-anak perlu rekreasi, berikan waktu untuk dia mendengarkan musik, dia memerlukan sosialisasi berarti biarkan dia pergi dengan teman-temannya asalkan kita pantau dengan siapa dan kemananya kita tahu. Kita berikan dia kebebasan, dia perlu juga mengembangkan dirinya berarti dia sekali-sekali akan berbeda pendapat dengan kita dan kita biarkan itu terjadi, dia perlu juga belajar bertanggung jawab kita biarkan dia mengambil keputusan tapi kita katakan kamu tanggung resikonya. Nah dengan cara-cara seperti itulah anak-anak akhirnya mengembangkan dirinya.

GS: Pak Paul, kalau kita tahu bahwa anak remaja kita sedang frustrasi, apa yang bisa kita lakukan?

PG: Ada dua hal yang akan saya petik dari ayat firman Tuhan, yang pertama Amsal 15:1 berkata: "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membankitkan marah."

Nah ini yang ingin saya tekankan adalah jawablah atau berbicaralah dengan lemah lembut kepada anak-anak remaja kita. Saya harus akui Pak Gunawan, kadang-kadang ini saya gagal, kadang-kadang saya lagi emosi saya berbicara agak keras kepada anak saya, akhirnya saya sesali, saya minta maaf kepadanya. Tapi saya tahu bahwa anak-anak remaja itu mudah sekali menerima permintaan maaf orang tuanya kalau saja orang tuanya berbicara dengan lemah lembut. Anak remaja juga lebih bisa menerima penjelasan orang tuanya dan permintaan orang tuanya asalkan orang tuanya meminta dengan lemah lembut. Kenapa, sebab lemah lembut pertama-tama memperlihatkan kasih sayang orang tuanya tinggi kepada si anak, dan yang kedua mereka direspek oleh orang tuanya. Anak remaja menuntut orang tuanya respek kepada mereka sebab mereka sudah mulai menginjak usia remaja. Jawaban yang kasar itu akan menunjukkan bahwa orang tuanya tidak respek kepadanya, nah akhirnya si anak berpikiran kalau orang tua tidak respek kepada saya, kenapa saya harus respek kepadanya.

Nasihat yang kedua saya ambil dari Efesus 6:4, "Janganlah membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, (dan ini nasihat sebetulnya diberikan kepada para ayah). Artinya apa, kalau kita marah, kalau kita menegur anak atau apa jangan membuat anak itu menjadi benci dengan kita. Kadang-kadang perkataan kita yang menyakitkan hati, menghinanya atau apa itu hanyalah menanamkan bibit kebencian anak kepada kita. Nanti waktu anak marah kepada kita, kita bingung dan kita merasa diri kita tidak bersalah apa-apa padahalnya kitalah yang menanamkan bibit kebencian pada diri anak kita.

GS: Jadi kalau timbul masalah antara orang tua dan remaja itu sebenarnya cukup banyak kasus di mana orang tuanya yang bermasalah, Pak Paul?

PG: Dalam pengertian ya kurang memahami si anak, dinamika pertumbuhannya dan kurang bekerja keras untuk mengerti pikiran si anak, maka akhirnya konflik makin sering terjadi.

GS: Remaja pun enggan dekat-dekat dengan orang tuanya karena setiap kali yang keluar adalah nasihat, dilarang ini, dilarang itu, kemudian dia merasa tidak enak.

PG: Betul, dan kita pun juga dengan jujur harus akui kita pun tidak suka berteman dengan orang yang sedikit-sedikit memberi kita nasihat.

GS: Jadi saya rasa perbincangan ini cukup membekali para orang tua yang mempunyai anak-anak remaja yang tentunya tidak gampang pada saat ini. Terima kasih Pak Paul dan Ibu Wulan.

Sumber diambil dan diedit seperlunya dari: http://www.telaga.org/audio/masalah_orangtua_dan_remaja