Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Pelayanan kepada Penderita Penyakit Terminal

Edisi C3I: e-Konsel 081 - Melayani Penderita Penyakit Terminal

Teologis

Sebagai konselor Kristen, kita bukan saja mempersiapkan konseli untuk menghadapi kematiannya secara psikologis tetapi secara keseluruhan, termasuk keadaan kerohaniannya. Hal ini bisa disimpulkan dengan keadaan SEMUA SUDAH BERES DENGAN HIDUP KITA. Keadaan BERES ini berarti mempunyai hubungan yang "beres" dengan Allah, dengan diri sendiri, dan dengan orang lain. Ini adalah keadaan seorang yang sudah transparan, artinya kita sudah beres, lega, "plong," dengan Allah, diri sendiri dan sesama. ("I am clear with God, Self, and Others.")

Beres dengan Allah

Pada pelayanan dengan konseli Kristen, secara relatif, keadaan ini mudah dicapai. Untuk seorang konseli yang khawatir, apakah Allah mau menerimanya karena masih ada dosa-dosa yang dirahasiakan, belum diampuni karena belum minta ampun, konselor Kristen mempunyai kedudukan yang unik untuk menawarkan pengampunan Allah. Hal ini lebih mudah lagi dilakukan apabila konseli sudah percaya kepada konselor pada masa lampau (misalnya konselor adalah pendeta konseli), atau seorang konselor yang baru ditemuinya tetapi sudah mempunyai hubungan komunikasi (rapport) yang baik dengannya.

Konselor orang sakit

Tugas konselor akan lebih sukar lagi kalau konseli semasa hidupnya menolak Allah dan pada saat ini, rasa bersalahnya menghalanginya untuk datang kepada Kristus dan pengakuan Kristus sebagai Tuhan dan Allahnya. Ia mungkin berkata: "Saya sudah berbuat jahat seumur hidup saya, mengapa Allah mau mengampuni saya sekarang ini?" Kesukaran mungkin juga dialami bila konselor menghadapi konseli yang tidak pernah peduli akan Allah dan hal-hal rohani pada masa lampaunya, atau yang mempunyai pengertian yang kabur tentang Kristus. Pelayanan konselor menjadi penginjilan dengan penuh kasih dan kesabaran. Konselor Kristen pada saat ini perlu menawarkan anugerah Allah, kasih Allah, pengampunan Allah, dan keselamatan Allah melalui anak-Nya, Yesus Kristus.

Dalam hal ini, seorang konselor Kristen tidak perlu ragu-ragu untuk bersikap injili dengan menawarkan keselamatan dalam Kristus. Ini adalah keyakinan yang Alkitabiah tentang kehidupan kekal atau kebinasaan kekal yang harus dialami seorang. Seorang konselor Kristen yang melayani seorang yang menderita penyakit terminal dan orang itu belum bertuhankan Kristus, harus menawarkan Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Perbuatan ini berdasarkan atas kata-kata Kristus sendiri dalam Matius 16:26, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya ...."

Meskipun dalam beberapa bulan, minggu, atau hari terakhir seorang konseli dapat menerima kenyataan secara psikologis bahwa ia akan meninggal, apa gunanya kalau ia, setelah itu, celaka dan binasa selama-lamanya?

Tentunya, bila konseli mau menerima Kristus sebagai Tuhannya, konselor tidak perlu mengharuskan konseli untuk mengucapkan kata-kata klise seperti: "Aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatku...." Sering dalam keadaan penyakitnya yang parah, konseli mungkin hanya dapat mengangguk atau memberi sinyal lain bahwa ia menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Kalau keadaan konseli tidak memungkinkan, konselor juga tidak perlu memintanya mengulangi DOA ORANG BERDOSA. Konselor hanya memintanya percaya dan meyakini doa yang diucapkan konselor. Memang, bila konseli masih mampu dan kuat, konselor sebaiknya memintanya berdoa bersamanya. Yang terutama adalah konselor mencoba membawanya dalam hubungan yang beres dengan Allah, damai dengan Allah dan penyerahan kepada-Nya. Konselor, mungkin, merupakan orang terakhir dalam hidup konseli itu yang dipakai Allah untuk menawarkan keselamatan-Nya.

Kita juga mengakui bahwa apa yang dapat dilakukan konselor sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Keselamatan tidak tergantung dari konselor, tetapi dari Allah dan orang itu sendiri. Konselor tidak dapat memaksakan pada konseli mengenai penyerahannya kepada Allah. Penolakan dan penerimaan Kristus sebagai Tuhannya adalah keputusan konseli itu sendiri dengan tarikan dan dorongan Roh Allah. Ada saatnya konselor harus mengakui bahwa usahanya sudah maksimal dan kemudian menyerahkan segalanya kepada Allah. Kalaupun konseli menolak tawaran anugerah keselamatan Allah, pelayanan konselor pada konseli harus tetap ada. Konselor tidak boleh kecewa dan tidak mau melayani konseli lagi. Kita tidak dapat tahu, apakah pada saat-saat terakhir sebelum mengembuskan napas penghabisan, konseli tidak menerima Kristus sebagai Tuhannya.

Suatu keyakinan penulis berdasarkan pengalamannya sebagai pendeta rumah sakit (hospital chaplain) di Kansas City, Missouri, USA., ketika melayani mereka yang menderita penyakit terminal ialah bahwa manusia tidak mudah patah. Manusia adalah liat/ulet (people are tough). Seorang pribadi tidak akan terus berantakan setelah mengetahui keadaan sebenarnya dari diri dan penyakitnya. Mungkin, ketika pertama kali mengetahui keadaannya, ia akan terkejut (shock), tetapi ia akan dapat bangkit kembali.

Pelayanan konselor kepada orang yang menderita penyakit terminal sebenarnya lebih efektif bila konseli tahu bahwa ia menderita penyakit terminal. Bila konseli tidak tahu atau sengaja dibohongi oleh keluarga atau dokternya (karena khawatir, konseli akan berantakan bila mengetahui keadaannya yang sebenarnya), sedangkan konselor sudah diberitahu, maka pelayanan konselor akan terhambat. Konselor tidak dapat dengan bebas menginjili dan menyatakan kegawatan situasi konseli untuk dapat membawa konseli pada keadaan beres dengan Allah, diri sendiri, dan sesama.

Dalam hal ini, penulis berbeda pendapat dengan beberapa pendeta dan pelayan Tuhan. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya orang yang menderita sakit tidak diberi tahu keadaannya yang sebenarnya karena banyak penderita penyakit terminal merasakan parahnya keadaannya setelah ia tidak sembuh-sembuh dan meminta dokter atau keluarganya memberitahu keadaannya yang sesungguhnya. Ada juga yang berpendapat, apabila perlu orang itu dibohongi. Pembicaraan tentang kematian dialihkan. Kalau penderita bertanya-tanya tentang kemungkinannya sembuh dan menyatakan kekhawatirannya, temannya berkata: "Jangan dipikir terus penyakitnya. Nanti tidak sembuh-sembuh. Mungkin bulan depan bapak sudah bisa lari pagi lagi seperti dahulu."

Ada pula pendeta yang berpendapat bahwa si penderita tidak perlu diberi tahu tentang penyakit terminalnya karena kita harus percaya terus dan mendoakan agar ia sembuh seperti sediakala. Sebab itu, pelayanan seperti yang dibahas di sini tidak perlu dilakukan. Penulis berpendapat bahwa pandangan-pandangan seperti ini merugikan penderita yang sakit terminal itu dan terlalu berasumsi bahwa Allah tidak mungkin membolehkan seorang anaknya pulang melalui penyakit (apakah hanya bisa melalui kecelakaan atau martir?) Pandangan ini juga menyangkal kenyataan bahwa lebih banyak orang Kristen mati karena penyakit dan ketuaan daripada karena bencana alam, kecelakaan, dan martir.

Penulis tidak setuju dengan pendapat-pendapat di atas. Penulis yakin bahwa manusia adalah ulet/liat. Jika suatu luka harus diobati, maka kita harus mengerti keadaan luka itu. Luka itu harus dibersihkan dahulu dari segala kotoran dan setelah itu diberi obat. Kita tidak dapat mengabaikan luka itu dan menutupinya dengan kertas merah, seakan-akan tidak ada dan berharap luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Hal yang sama terjadi seperti luka rohani. Jika ada rasa bersalah karena dosa, kata-kata manis dan penghiburan tidak akan membebaskan orang itu dari dosanya. Kita tidak dapat berkata kepada orang yang akan meninggal, yang telah hidup dalam banyak dosa, dan menolak Kristus selama hidupnya: "Bapak jangan memikirkan kematian. Pikirkan sembuh saja. Bapak akan sembuh seperti dahulu." Dengan penghiburan palsu ini, kita sebenarnya tidak mengasihinya, tetapi malah membencinya. Kita tidak menawarkan jalan keselamatan baginya, tetapi malah menipunya ketika sebentar lagi, ia akan celaka kekal.

Memang, dalam hal ini konselor yang akan menerapkan pelayanan pada orang yang akan meninggal mungkin menghadapi hambatan dari keluarga konseli itu sendiri. Misalnya, mereka mungkin memberi pesan kepada konselor agar tidak memberi tahu kepada ayah mereka bahwa ia akan segera meninggal. Apa yang dapat dilakukan konselor pada saat itu adalah berusaha meyakinkan para anggota keluarga bahwa kebutuhan sang ayah pada saat kritis adalah untuk menerima keselamatan. Juga perlu diyakinkan betapa egoisnya mereka kalau mereka tetap melarang ayah mereka mendengar, mungkin untuk terakhir kalinya, jalan keselamatan. Ataupun bila ia sudah diselamatkan, membereskan segalanya dengan Allah, diri sendiri, dan orang lain.

Sekali lagi, manusia ulet, berarti ia tidak mudah patah dan berantakan dalam proses kesembuhan rohani yang bersifat kekal seperti ini, termasuk mengetahui situasinya yang sebenar-benarnya (yaitu akan mati), bertobat, mengakui dosa-dosanya serta menerima Kristus sebagai Tuhannya.

Beres dengan Diri Sendiri

Keadaan beres dengan diri sendiri lebih mudah tercapai setelah konseli tahu bahwa ia sudah beres dengan Allah, berdamai dengan-Nya, dan menyerah kepada-Nya. Jika ia sesungguhnya sudah dapat berkata: "Saya sudah diterima Allah. Masa lampau saya sudah diampuni-Nya. Segala noda-noda hitam dalam hidup saya sudah dihapus dan disucikan-Nya. Allah sudah melupakan segala dosa dan kejahatan saya. Saya sudah beres di hadapan Allah, putih seperti salju," konseli juga dapat menerima dirinya. Ia dapat berkata: "Saya sungguh-sungguh sudah beres sekarang. Saya sudah OK."

Di sinilah juga letak pentingnya pelayanan pengampunan dari Allah seperti yang sudah kita bahas.

Beres dengan Sesama

Setelah beres dengan Allah dan dengan dirinya sendiri, konselor dapat membimbing konseli untuk juga beres dengan sesamanya, dimulai dengan keluarganya (suami/istrinya, anak dan orang tuanya, saudara-saudaranya) dan kemudian dengan orang-orang lain.

Mula-mula konseli dapat memanggil suami/istrinya. Mereka berbicara berdua saja, dari hati ke hati, mengakui segala kesalahan yang dibuat selama mereka hidup bersama, masing-masing saling minta ampun dan saling mengampuni. Segala dosa-dosa, terutama yang besar, yang dilakukan terhadap partnernya diakui dan dimintakan ampun seperti: penganiayaan, penyelewengan, pengkhianatan, kekejaman, kesewenang-wenangan, pemberontakan, kecemburuan dan dominasi berlebihan, dan lain-lain. Segala dendam dan sakit hati perlu diampuni dan dinetralkan. Mereka juga perlu mengekspresikan kasih mereka satu sama lain.

Setelah itu, anaknya, satu per satu menemui konseli. Seperti di atas, segala dosa dan kesalahan masa lampau dibereskan dan kasih yang mungkin sudah pudar dibaharui. Konseli mengakui saat-saat ia kejam terhadap anaknya, mengutamakan karier atau uang lebih dari anaknya, menganaktirikan anaknya itu, mengusirnya dan tidak mau mengakui sebagai anak, dan lain-lain. Si anak juga mengakui pemberontakannya kepada konseli, dendamnya, sakit hatinya, dan lain-lain. Kemudian mereka saling minta ampun dan mengampuni.

Pada saat pem"beres"an ini banyak kata-kata minta ampun perlu diucapkan seperti: "Ampunilah papa yang ...." ; "Ampunilah mama." "Papa, ampunilah Susi."

Juga kata-kata mengampuni: "John, papa mengampunimu sekarang." "Rita sudah mengampuni mama."

Bagi anak yang karena sesuatu hal tidak dapat hadir pada saat itu, orang tua yang akan meninggal dapat menulis atau menyuruh menulis surat kepada anak itu yang kemudian dapat diposkan. Dalam surat itu, penting terdapat permintaan ampun sang orang tua kepada anaknya dan pernyataan orang tua yang mengampuni segala kesalahan anak. Pernyataan mengampuni ini sangat penting untuk kesejahteraan anak yang ditinggalkan itu.

Contoh: Seorang anak yang karena suatu pemberontakannya diusir bapanya dari rumah, mungkin menyimpan dendam dan rasa bersalah kepada bapanya itu. Ia mungkin tidak mau hadir ketika bapanya sakit parah sebelum meninggal, mungkin juga tidak mau datang ketika ibunya menunggu kedatangannya, sebelum jenazah bapanya dikebumikan. Setelah bapanya meninggal dan seumur hidupnya, setelah itu, mungkin anak ini menanggung beban yang berat karena rasa bersalahnya. Ia tidak dapat lagi mendapatkan ampun dari bapanya. Ia mungkin juga menanggung beban kebencian dan dendam pada bapanya yang tentu berakibat buruk pada dirinya sendiri dan keluarganya.

Membaca surat bapanya, ia dapat segera membereskan hubungannya dengan bapanya yang telah meninggal dan dikuburkan. Ia tahu ia telah diampuni bapanya, dan kini ia tinggal meminta ampun kepada Allah untuk segala pemberontakannya terhadap bapanya dan mengampuni bapanya di hadapan Allah. Kalaupun pada saat itu ia belum bersedia untuk membereskan diri dengan bapanya yang telah meninggal, dan lama setelah itu ia baru menjadi dewasa dan sadar akan kesalahannya, isi surat bapanya yang diingatnya akan sangat melegakan dirinya dan melenyapkan beban yang ditanggungnya. Ia dapat yakin bahwa bapanya sudah mengampuninya dan sudah meminta ampun kepadanya. Dari pihak bapanya ia dapat yakin bahwa sudah ada "clearance" (pemberesan). Surat itu juga dapat menyebabkan hubungan dengan bapanya yang sudah lama meninggal menjadi beres. Ke"beres"an melalui mengampuni dan diampuni ini sangat penting bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seorang, juga terhadap orang yang sudah meninggal.

Bagi anggota keluarga lain yang tidak hadir dan ia mempunyai sesuatu untuk di"beres"kan, konseli juga dapat mengirim surat. Demikian juga, bila ada teman-teman yang perlu dikiriminya surat. Setelah segalanya itu, ia dapat sungguh-sungguh beres dengan sesamanya. Kalaupun ada yang tidak mau mengampuninya dan tidak mau menerima pengampunannya, itu bukanlah lagi persoalannya. Itu adalah persoalan orang yang menolak pem"beres"an itu dengan Allah sendiri.

Ada juga konseli yang setelah mengalami pem"beres"an dengan sesamanya, masih mempunyai beberapa kekhawatiran. Kekhawatiran ini mungkin ada karena ia merasa adanya tugas, tanggung jawab, dan kewajiban yang belum diselesaikannya. Seorang bapa mungkin mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya yang masih kecil yang segera akan ditinggalkannya. Seorang suami mungkin mengkhawatirkan kesejahteraan istrinya karena selama ini istrinya sangat bergantung padanya. Istrinya tidak terbiasa mengatur keuangan keluarga, tidak tahu menulis cek, dan lain-lain. Seorang pengusaha mungkin mengkhawatirkan keadaan perusahaannya yang telah dibinanya bertahun-tahun.

Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Bila kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini masih ada, konselor dapat menenangkan konseli dan membicarakan pemeliharaan Allah bagi mereka yang ditinggalkannya. Ia dapat mengajarkan pemeliharaan Allah pada burung-burung di udara dan larangan bagi anak-anak-Nya untuk khawatir berlebihan (Matius 6:25-34). Ia dapat meyakinkan pemeliharaan Allah kepada anak-anak-Nya (Lukas 12:6,7). Pemeliharaan Allah sangat lebih baik daripada pemeliharaan ayah atau suami. "Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu," (1 Petrus 5:7) diajarkan agar konseli juga mau melepaskan segala kekhawatirannya.

Pada saat itu, konseli juga dapat membereskan segala urusannya di dunia ini. Ia dapat membuat atau memperbaiki surat warisannya agar kelak anak-cucunya tidak saling berkelahi dan membenci. Ia dapat memberi tahu di bank mana saja ia menyimpan uangnya dan asuransi mana saja yang telah dibelinya yang akan menjadi hak keluarga yang ditinggalkannya. Ia dapat mengatur staf pengganti untuk perusahaan atau tokonya. Ia perlu memberi tahu kredit yang masih menjadi tanggung jawabnya (agar, misalnya, setelah meninggal nanti orang-orang tidak dapat menggunakan kesempatan dalam kesempitan dengan cara yang tidak benar, yaitu menagih uang kepada istrinya.) Ada juga yang mengatur segala pengeluaran dana untuk keperluan pemakamannya (pembelian peti mati dan tanah pekuburan) dan bahkan mengatur upacara pemakamannya (siapa pendetanya, lagu permintaannya, dll.) Setelah itu, konseli dapat pergi dengan tenang (bahkan dengan sukacita) untuk berdiam dengan Kristus (Filipi 1:21,23).

Sumber diedit dari:
Judul Buku : Mengatasi Masalah Hidup
Judul Artikel : Pelayanan kepada Penderita Penyakit Terminal
Penerbit : Kalam Hidup Pusat - Bandung, 1998
Penulis : DR. Jonathan A. Trisna
Halaman : 74 - 83

Komentar