Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Pernikahan di Mata Tuhan

Edisi C3I: e-Konsel 315 - Pernikahan yang Dikenan Tuhan

Dalam ceramah yang berkaitan dengan memilih pasangan hidup, kadang saya mendapat pertanyaan, "Bolehkah menikah dengan orang yang tidak seiman?" Sesungguhnya, jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada bagaimanakah kita memandang pernikahan itu sendiri. Jika kita memandang pernikahan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan, keharmonisan rumah tangga, menyambung keturunan, dan menjadi wadah yang sehat bagi pertumbuhan anak-anak, maka jawabannya adalah "Tidak boleh". Demikian juga sebaliknya. Jadi, bagaimanakah seharusnya kita memandang pernikahan? Pada dasarnya, kita harus memandang pernikahan dari sudut pandang kemuliaan Tuhan. Firman Tuhan dalam Efesus 1:5-6, 12 berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita ... supaya kami yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya."

Hidup kita seyogianya menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Dan, bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah pernikahan dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.

Pertama, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita mesti mengutamakan kehendak Tuhan saat memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami atau istri kita. Pada dasarnya, pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa "yang kita anggap baik" atau melakukan apa "yang TUHAN anggap baik". Mungkin orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik buat kita. Namun, ia tidak seiman dan tidak memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Nah, dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya. Apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita akan menaati-Nya? Pada akhirnya, keputusan apa pun yang diambil bergantung pada apakah kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau lebih benar daripada perintah Tuhan.

Berkenaan dengan pernikahan, dalam 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 tertulis dengan jelas perintah Tuhan untuk kita anak-anak-Nya, "... ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya ...." Nah, bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi daripada perintah Allah. Jadi, sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap saja itu bukanlah yang terbaik.

Kedua, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan. Adakalanya kita mengidentikkan "menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan" dengan kegiatan pelayanan. Sudah tentu keterlibatan dalam pelayanan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan hati Tuhan. Namun, pada akhirnya kita harus menyadari bahwa yang terpenting bukan kegiatan melainkan ketaatan. Kita bisa giat dalam pelayanan, tetapi belum tentu bisa taat dalam pernikahan. Meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian ketaatan, beberapa di bawah ini mungkin dapat mewakili sebagian di antaranya.

Apa yang kita lakukan ketika sesuatu yang kita inginkan tidak didapatkan, memperlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan. Apa yang kita perbuat seharusnya atas nama kasih. Ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan. Mungkin ada banyak hal yang ingin kita kerjakan dalam hidup ini, dan kita berharap pasangan dan bahkan anak-anak akan memberikan dukungan untuk meraih impian. Namun, adakalanya hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, malah kita yang dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi pasangan atau anak-anak. Ternyata, menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan acap kali terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian, melainkan dengan pengurbanan kita melepaskan impian. Saat kita melepaskan impian, Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh-sungguh membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.

Kesimpulan

Sebagaimana hal lainnya dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi, persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama situs : TELAGA.org
Alamat URL : http://www.telaga.org/
Judul transkrip : Pernikahan di Mata Tuhan (T346A)
Penulis : Pdt. Dr. Paul Gunadi
Tanggal akses : 30 Juli 2012

Komentar