Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Persiapan Pernikahan dan Konseling Kristen
Kepentingan dari pernikahan dan keluarga selalu ditekankan berulang- ulang dalam Akitab. Dalam Perjanjian Lama dan Baru, kita dapat temukan banyak petunjuk untuk kehidupan keluarga. Alkitab mengungkapkan dengan jujur tentang kehidupan keluarga pemimpin- pemimpin yang terkemuka seperti Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, Samuel, Daud, Yohanes Pembaptis, dan juga Tuhan Yesus. Walaupun Tuhan Yesus tidak berkeluarga dan tidak menikah tetapi ia dengan jelas menyetujui lembaga pernikahan dan keluarga. Ia melakukan mujizat-Nya yang pertama kali justru dalam perjamuan kawin, dan ia juga mengajarkan, bahwa pernikahan adalah persatuan yang abadi, karena yang mempersatukan suami-istri adalah Allah sendiri (Markus 10:5-9).
Sayang sekali hanya sedikit saja yang menikmati anugerah ini. Sejak Adam dan Hawa, pasangan-pasangan suami-istri selalu menemui masalah- masalah dalam kehidupan mereka, bahkan Alkitab juga mencatat tentang konflik-konflik yang mereka alami. Pada jaman ini, di setiap negara, perceraian, perzinahan, ketidaksetiaan dan keluarga yang berantakan menjadi hal yang umum dan sudah meluas, sehingga banyak orang tidak lagi mencoba untuk membangun pernikahan yang baik. Mereka mengambil kesimpulan sendiri, bahwa pernikahan yang langgeng tidak mungkin bisa terjadi.
Para hamba Tuhan di banyak tempat sudah melihat gejala-gejala ini dan mereka sering menghadapi persoalan-persoalan keluarga yang sulit. Tidak heran jika seorang ahli pastoral konseling baru-baru ini menyimpulkan, bahwa "keterampilan yang sangat diperlukan" oleh konselor-konselor Kristen, adalah kemampuan untuk menolong pasangan- pasangan suami-istri yang menghadapi masalah dalam kehidupan mereka.
Memang konseling pernikahan seringkali begitu sulit, karena setiap pasangan, setiap masyarakat, dan setiap tingkat sosial mempunyai pAndangan dan adat yang berbeda satu dengan yang lain dalam persoalan-persoalan pernikahan. Tentu saja pandangan-pandangan ini seringkali berbeda dengan ajaran Alkitab. Konselor Kristen tidak jarang menghadapi tugas yang sulit, mereka bukan saja harus menolong pasangan untuk mengerti dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Alkitab, tetapi mereka juga harus memaklumi sebanyak mungkin adat dan kebiasaan dari keluarga dan masyarakat yang ada.
Sebelum mulai terjun dalam konseling pernikahan sebaiknya konselor Kristen meneliti dan memahami adat dan kebiasaan perkawinan dan ajaran Alkitab mengenai keluarga.
HAKEKAT DARI KONSELING PERSIAPAN PERNIKAHAN
Saat yang tepat untuk dapat memulai menangani masalah-masalah dalam pernikahan dan keluarga adalah sebelum masalah itu sendiri timbul. Secara ideal, persiapan pernikahan dimulai ketika seorang individu masih berada pada masa kanak-kanak. Jikalau orangtuanya mempunyai hubungan yang baik sebagai suami-istri, tentu anak-anak tersebut akan belajar membangun pernikahan yang baik di kemudian hari.
Apapun yang mereka pelajari dari rumah tangga atau keluarga akan mempengaruhi sikap hidup di kemudian hari. Banyak pasangan menghadapi hari pernikahan mereka dengan perasaan campur aduk antara keinginan yang meluap-luap dan keragu-raguan. Dengan menolong keluarga untuk dapat menjadi model bagi anak-anak mereka, pemimpin gereja memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk suksesnya pernikahan-pernikahan yang akan datang.
TUJUAN DARI KONSELING PERSIAPAN PERNIKAHAN
Konseling persiapan pernikahan bertujuan untuk mempersiapkan dan menolong individu, pasangan-pasangan, bahkan kadang-kadang anggota keluarga yang lain untuk menciptakan suasana pernikahan yang bahagia. Seperti halnya dengan pencegahan penyakit yang dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit dan menjaga kesehatan tubuh, demikian juga dengan bimbingan persiapan pernikahan. Bimbingan persiapan pernikahan diharapkan dapat mencegah timbulnya kesulitan dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga, disamping tentunya untuk menolong membangun hubungan pernikahan yang sehat dan memuaskan. Dalam konseling ini, paling tidak ada lima goal (tujuan) yang harus diperhatikan.
-
Keputusan untuk siap menikah
-
Alasan untuk menikah. Sepasang pria dan wanita yang sudah mengikatkan diri satu dengan yang lain dapat memberikan beberapa alasan, mengapa mereka terdorong untuk segera menikah. Alasan-alasan ini antara lain, pimpinan Tuhan, kebutuhan seksual dan kebutuhan untuk bersatu dalam ikatan kasih. Kadang-kadang ada juga alasan-alasan yang tidak sehat untuk memasuki suatu pernikahan, misalnya tekanan sosial, membalas dendam pada orangtua atau bekas kekasih, mencegah pandangan umum bahwa ia "tidak laku", lari dari keluarga yang tidak bahagia, kesepian, dan sebagainya. Menikah dengan seseorang karena terpaksa atau perasaan bersalah, tidak akan memberi jaminan untuk kestabilan pernikahan, demikian juga hubungan seksual dan kehamilan tidak boleh menjadi alasan untuk menikah.
-
Latar belakang yang hampir sama. Pernikahan biasanya lebih sukses bila pasangan itu mempunyai cita-cita dan standar (nilai) yang hampir sama, latar belakang dan tingkat kehidupan sosial-ekonomi, adat istiadat, pendidikan, dan iman yang sama. Tentu saja ada beberapa perkecualian dimana ada pasangan-pasangan suami-istri yang dapat mencapai sukses dalam pernikahan tanpa persamaan ini. Namun harus diakui, bahwa untuk itu, mereka harus bergumul dan bekerja dengan lebih keras untuk membangun hubungan pernikahan yang baik.
-
Usia. Setiap kebudayaan mempunyai perbedaan dalam menentukan usia yang ideal untuk menikah dan dalam beberapa masyarakat sepasang suami- istri yang masih sangat muda dapat membangun pernikahan yang baik. Seringkali, penyesuaian diri dalam pernikahan lebih baik bila pasangan lebih dewasa dalam usia. Meskipun harus diingat, bahwa kedewasaan tidak selalu otomatis sesuai dengan pertambahan usia seseorang. Kedewasaan memang menolong seseorang untuk dapat memutuskan dan mempertahankan hubungan yang baik dan mengatasi persoalan-persoalan hidup dengan lebih efektif.
-
Sikap terhadap pernikahan. Kadang-kadang ada orang-orang yang jijik terhadap hubungan seksual, ragu-ragu terhadap pernikahan itu sendiri, berbeda pendapat mengenai anak-anak yang akan dilahirkan, punya perbedaan pandangan dalam peran/kedudukan dalam rumah tangga, bahkan perbedaan rencana untuk hari depan, dan sebagainya. Perbedaan- perbedaan sikap terhadap pernikahan yang serius harus terlebih dahulu dibereskan sebelum pernikahan. Untuk itu, kemungkinan besar kita memerlukan bantuan konselor.
-
Pengaruh dari luar. Seringkali pengaruh dari luar dapat menambah tekanan dalam pernikahan yang masih muda, termasuk rencana untuk melanjutkan studi, banyak hutang, keuangan yang pas-pasan, pertentangan dengan orangtua, kedudukan dalam pekerjaan yang menyebabkan ia harus berpisah dalam jangka waktu yang lama, dan sebagainya. Banyak pasangan memutuskan untuk tetap menikah walaupun sudah menimbang kesulitan-kesulitan ini, tetapi ada juga yang lebih suka menunggu.
-
Kematangan spiritual. Tentu seseorang tidak siap untuk menikah secara Kristen bila ia bukan seorang percaya, tidak seiman, atau belum betul-betul menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat. Ketika kita percaya, kita menyerahkan diri kepada Kristus, menjadi anak-anak-Nya dan mencari kehendak-Nya, sehingga bila kita menikah dengan orang yang tidak seiman, akan timbul banyak kesulitan dalam pernikahan karena perbedaan keyakinan, dan pelayanan kita sebagai orang Kristen pun menjadi tidak efektif. Karena itu sangat penting bagi orang Kristen untuk mendapatkan saudara seiman sebagai pasangan hidupnya supaya keduanya dapat melayani Tuhan dengan baik.
-
Tahu dan siap menghadapi tekanan-tekanan dalam kehidupan pernikahan.
-
Bimbingan untuk mengenal diri sendiri.
-
Pertimbangan padangan Alkitab mengenai pernikahan.
-
Merencanakan pernikahan.
Walaupun tidak ada rumusan yang tepat kapan seseorang siap untuk menikah tetapi ada beberapa petunjuk umum yang dapat diperhatikan.
Perbedaan umur juga sangat penting. Bila suami jauh lebih tua atau muda dari istrinya, banyak sekali perbedaan dalam cita-cita dan kebutuhan fisik, kesulitan mencari teman, dan kecenderungan untuk suami-istri yang lebih tua untuk bertindak sebagai orangtua terhadap istri/suaminya.
Hal ini tentu saja tidak menjadi jaminan suksesnya suatu pernikahan secara otomatis (orang Kristen atau bukan tidak pernah lepas dari persoalan-persoalan kehidupan), tetapi yang jelas kesulitan pasti timbul bila mempunyai pasangan yang "tidak seimbang" atau seorang percaya yang menanggung beban dengan orang yang buta rohaninya (2Korintus 6:14).
Dua orang dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda, tentunya menghadapi banyak hal yang harus disesuaikan. Jikalau tekanan-tekanan dalam kehidupan pernikahan sudah dipersiapkan untuk sama-sama dihadapi, tentu penyesuaian diri akan menjadi lebih mudah.
Hal-hal yang menimbulkan tekanan hidup pernikahan tidak selalu sama antara pasangan yang satu dengan yang lain, tergantung kepada keunikan pasangan itu dan masyarakat dimana mereka hidup. Dalam suatu penyelidikan terhadap beberapa ratus pasangan yang sudah menikah ternyata, bahwa penyesuaian dalam hubungan seksual, pengaturan keuangan, kebutuhan sosial dan rekreasi, persoalan dengan mertua dan ipar-ipar, perbedaan dalam kepercayaan, konflik dalam memilih sahabat merupakan hal-hal utama dalam penyesuaian pernikahan. Tentu saja daftar ini dapat menjadi lebih panjang untuk mereka yang mempunyai latar belakang yang berbeda.
Tentulah akan sangat menolong, apabila konselor Kristen dapat memikirkan terlebih dahulu "apa yang menjadi sebab-sebab utama tekanan-tekanan hidup pernikahan dalam masyarakat kita". Tanyakan pada pemimpin-pemimpin gereja dan mintalah pendapat mereka. Kemudian, rencanakan untuk mengetengahkan persoalan ini kepada calon pasangan atau mempelai sebelum mereka menikah. Bila seseorang diperingatkan dengan lemah lembut sebelum persoalan itu sendiri muncul, dan bila konselor dapat memberikan bimbingan yang realistis mengenai cara-cara menanggulanginya, tentu saja penyesuaian dalam pernikahan akan menjadi lebih mudah.
Kebanyakan masyarakat di abad modern ini membuat rencana untuk berbulan madu setelah menikah. Hal ini memang penting tetapi seringkali juga merupakan persoalan tersendiri. Bulan madu sebenarnya masih merupakan masa transisi dari kehidupan bujang ke kehidupan bersama. Memang ini merupakan kesempatan bagi pasangan yang baru menikah untuk menyendiri dan memulai menyesuaikan diri dengan status mereka yang baru, baik secara fisik maupun psikis.
Walaupun seringkali masa bulan madu sudah dipersiapkan dengan baik dan sangat dinantikan, namun biasanya diselingi dengan kekakuan- kekakuan, dan banyak hambatan lain yang membutuhkan waktu untuk mengatasinya, misalnya dalam hubungan seksual dimana masing-masing merasa canggung, malu, dan bisa menjadi sumber frustasi.
Konselor harus selalu ingat untuk tetap memegang kebenaran firman Tuhan mengenai kehidupan seksual yang suci sebelum pernikahan. Walaupun hubungan seksual sebelum pernikahan sudah menjadi biasa, tetapi bagi pasangan Kristen tetap harus dijaga sampai memasuki kehidupan pernikahan yang sesungguhnya. Memang pengalaman seksual sebelum pernikahan dapat mengurangi kecanggungan dalam hubungan seksual waktu berbulan madu, tetapi perasaan bersalah, dan dorongan untuk menunjukkan "kemampuan seksual di atas tempat tidur" dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan yang terus-menerus dan kegelisahan yang mendalam selama bulan madu. Pada masa kini, semakin jarang ada pasangan-pasangan yang sama sekali bebas dari ketakutan dan kegelisahan dalam malam pernikahan mereka.
Jadi, sangat penting untuk diingat, bahwa hal-hal yang dihadapi oleh kedua belah pihak untuk bulan madu mereka harus disinggung pada percakapan sebelum pernikahan. Seringkali diskusi semacam ini terjadi dalam percakapan lingkungan keluarga, tetapi tidak selalu. Bila Anda sebagai pemimpin gereja merasa sungkan untuk membicarakan hal-hal semacam ini, atau apabila peraturan gereja melarang pendeta untuk membimbing dalam hal ini, ada baiknya untuk minta anggota jemaat atau pasangan yang lain yang dapat menjelaskan mengenai seks dan bulan madu dengan baik. Seringkali dapat juga meminta nasihat dari dokter untuk menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan persetubuhan pada waktu pemeriksaan fisik sebelum menikah.
Tentu kita tidak boleh melebih-lebihkan fakta, seolah-olah semua persoalan sebelum dan sesudah menikah pasti dapat diatasi jikalau pasangan belajar berkomunikasi. Dibutuhkan usaha dan ketekunan bagi kedua belah pihak, suami atau istri untuk dapat saling mendengarkan dengan baik, mengerti dan mengutarakan isi hatinya dengan jujur dan penuh kasih belajar untuk saling menghargai. Tentunya jika hal ini dilakukan, hubungan dalam pernikahan akan menjadi lancar dan usahanya tidak sia-sia. Mengutarakan secara jujur tentang sikap hidup, perasaan, dan pergumulan-pergumulan pribadi, adalah sama pentingnya dengan mengutarakan cinta dan pengharapan. Tetapi tentu saja pengaturan semacam itu tidak dimulai pada masa bulan madu, oleh karena seharusnya telah dimulai jauh-jauh hari sebelum pernikahan, dimana seorang premarital konselor mendorong dan membimbing ke arah pengembangan kemampuan berkomunikasi.
Dalam pernikahan, kemampuan untuk dapat melihat dengan jujur keadaan diri kita sendiri adalah modal yang paling utama. Tuhan Yesus dengan jelas memperingatkan murid-murid-Nya, supaya mereka dapat melihat balok di mata mereka sendiri sebelum mengambil selumbar di mata orang lain (Matius 7:3-5).
Namun sayang, banyak di antara kita yang justru menghindarkan diri dari pengenalan terhadap diri sendiri. Memang tidak ada orang yang senang melihat kesalahannya sendiri, lebih mudahlah baginya untuk mendapatkan kesalahan dalam diri orang lain. Tidak heran bila terjadi perbedaan pendapat baik pada masa pertunangan maupun masa- masa setelah menikah, kita cenderung melupakan persoalan yang ada dan menganggap diri sendiri benar dengan menyalahkan orang lain, tanpa menyadari, bahwa sumber dari segala persoalan itu mungkin adalah dari dirinya sendiri.
Jadi, sangatlah penting pada masa-masa pertunangan untuk melakukan usaha pengenalan diri sendiri. Memang tidak semua kebudayaan mengijinkan hal-hal ini dibicarakan sebelum pernikahan, tetapi sesungguhnya akan sangat menolong apabila masing-masing pasangan menyadari akan kelemahan dan kelebihannya sendiri dan secara terbuka mengutamakan prinsip-prinsip dan pengharapan-pengharapannya sambil melihat reaksi atau tanggapan dari pasangannya. Penilaian terhadap diri sendiri yang seperti ini dapat menolong pasangan yang akan menikah untuk berkomunikasi dengan lebih efektif, bahkan dapat menolong suami/istri bila problema-problema seperti ini muncul di masa-masa mendatang.
Setelah Tuhan menciptakan dunia dengan isinya, Ia melihat bahwa "tidak baik manusia itu seorang diri saja" dan Ia memulai lembaga pernikahan sambil menyatakan, bahwa seorang laki-laki harus "bersatu dengan istrinya dan menjadi satu daging" (Kejadian 2:18, 24).
Beberapa bagian dari Alkitab dapat menolong kita mempelajari konsep- konsep pernikahan yang dikehendaki Allah. Bila pasangan Kristen sudah memutuskan untuk memulai hidup sebagai suami/istri, mereka seharusnya mengerti apakah tujuan pernikahan yang dikehendaki Allah dan rencana Allah atas diri mereka berdua.
Dengan pertolongan konselor Kristen, setiap pasangan dapat membicarakan dengan teliti tentang rencana surgawi atas pernikahan Kristen, terutama yang tercantum dalam Efesus 5:21-6:4, Kolose 2:16-21, 1Korintus 7, dan 1Petrus 3:1-7. Harus diperhatikan, bahwa hubungan suami istri diibaratkan dengan hubungan antara Kristus dengan gereja-Nya. Pengertian mengenai hal inilah yang akan memudahkan banyak orang Kristen untuk dapat menerima dan bersyukur atas perintah Tuhan untuk tunduk kepada suami. Dalam banyak negara dewasa ini, pandangan Kristen seperti ini tidak populer atau bahkan tidak dikenal dan banyak gereja yang menghapuskan kata "taat" dalam peneguhan pernikahannya. Seorang suami sebagai kepala keluarga tidaklah terpanggil untuk semau-maunya menindas istrinya, karena justru ajaran Alkitab untuk kepala berarti pengorbanan seperti yang dijelaskan dalam Efesus 5. Hasilnya, istri akan dengan patuh dan sukacita menundukkan diri kepada suami yang memperhatikan dan mengasihi serta memikirkan kebahagiaannya.
Setiap kebudayaan mempunyai adat istiadat dan peraturan tersendiri untuk upacara pernikahan. Kadang-kadang konselor Kristen diminta untuk memberikan bimbingan dalam hal ini, tetapi kebanyakan diserahkan kepada pihak keluarga.
Konselor Kristen dapat membantu mempelai untuk mengerti apa artinya upacara pernikahan. Bagi banyak pasangan upacara pernikahan tidak dibicarakan sampai hari-hari terakhir, sehingga biasanya mereka sudah terlalu lelah dan tegang untuk dapat mengingat dan mengerti semua yang telah dikatakan. Karena itu, sangatlah menolong bila hal ini dibicarakan jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga pasangan itu mempunyai waktu untuk mengerti aspek-aspek spiritual dari upacara pernikahan tersebut dan juga menyadari pentingnya saksi-saksi atas janji yang mereka buat untuk dipersatukan di dalam Tuhan.
Diedit dari sumber :
Judul Buku | : | Konseling Kristen yang Efektif |
Judul Artikel | : | Pernikahan dan Konseling Kristen |
Penulis | : | Dr. Garry R. Collins |
Penerbit | : | Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1998 |
Halaman | : | 103 - 111 |