Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Proses Pengadilan Yesus

Edisi C3I: edisi - 335 Pengadilan Yesus

Sebagai Injil terawal, Markus memberikan narasi paling awal tentang penyaliban. Markus tentu saja bukan orang pertama yang menceritakannya. Kehormatan itu dimiliki Paulus, yang semua surat aslinya ditulis sebelum Injil mana pun. Paulus sering mengacu pada fakta tentang penyaliban Yesus: dia berulang kali membicarakan tentang kematian Yesus, salib, dan Kristus yang tersalib. Ini merupakan "hikmat dan kuasa Allah", meskipun hal ini menjadi "batu sandungan" bagi orang-orang Yahudi dan "kebodohan" bagi bangsa-bangsa yang tidak percaya kepada Tuhan. Penyaliban Yesus merupakan suatu perwujudan kasih Allah kepada kita, pengorbanan yang memungkinkan penebusan kita, dan jalur transformasi pribadi seperti kematian dan kebangkitan yang terletak pada inti kehidupan orang-orang Kristen (1 Korintus 1:23-24; Roma 5:8; Roma 3:24-25; Galatia 2:19-20; Roma 6:3-4).

Yesus memanggul salib

Terkadang, Paulus mengatakan lebih banyak tentang apa yang terjadi. Dalam satu bagian, dia merujuk pada kematian dan penguburan Yesus: "Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, … dan Ia telah dikuburkan." Di tempat lain, dia mengatakan bahwa para penguasa zaman ini … menyalibkan Tuhan yang mulia. Dalam suratnya, dia atau seorang pengikut mengatakan bahwa pada kayu salib, Allah "telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka." (1 Korintus 15:3-4; 2:8; Kolose 2:15)

Akan tetapi, surat-surat Paulus bukanlah narasi dan dengan demikian tidak termasuk dalam kisah Jumat Agung. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan pada contoh-contoh kalimatnya di atas, surat-surat Paulus berisi sejumlah tafsiran tentang makna kematian Yesus. Paulus, penulis paling awal dalam Perjanjian Baru, menggunakan banyak tafsiran yang mengarah pada poin penting: tidak ada cerita tentang kematian Yesus dalam Perjanjian Baru yang tidak ditafsirkan. Untuk mengetahui alasannya bukanlah hal yang sulit. Para pengikut Yesus, yang hidup beberapa tahun dan dekade setelah kematian-Nya, mencari tahu arti dari pelaksanaan hukuman mati yang mengerikan atas guru terkasih mereka, yang mereka lihat sebagai Yang Diurapi Allah. Dengan melihat kembali peristiwa ini, mereka memahami tujuan yang sudah ditetapkan Allah di dalamnya.

Begitu juga dalam Injil Markus. Meskipun Markus menyajikan kisah paling awal tentang Jumat Agung, kita seharusnya tidak membayangkan bahwa ceritanya demikian bebas dari interpretasi pasca-Paskah. Narasi Markus menggabungkan penafsiran retrospektif (peninjauan kembali - Red.) dengan sejarah yang diingat.

Markus menceritakan kisah Jumat Agung yang menunjukkan selang waktu tiga jam dengan tepat: dari fajar (pukul 6) sampai pukul 9 pagi, dari pukul 9 pagi sampai tengah hari, dari tengah hari sampai pukul 3 sore, dan dari pukul 3 sore sampai senja (jam 6 sore). Pertama-tama, kita akan meninjau ceritanya sebagai sebuah kombinasi sejarah dan penafsiran, kemudian mengeksplorasi kerangka penafsirannya yang lebih luas.

Saat pagi merekah, para pemuka masyarakat lokal -- imam-imam kepala, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat -- menyerahkan Yesus kepada Pilatus, perwakilan kaisar di daerah. Pilatus menginterogasi Yesus. Markus tidak memberi tahu kita di mana hal ini terjadi, tetapi hampir bisa dipastikan bahwa ini terjadi di istana almarhum Raja Herodes Agung, tempat tinggal para Gubernur Romawi ketika mereka berada di Yerusalem. Kemudian, Markus secara eksplisit mengacu pada "halaman istana" (Markus 15:16). Sebagaimana adegan itu terungkap, jelas bahwa pemerintah daerah juga hadir.

Pilatus bertanya kepada Yesus, "Apakah Engkau Raja orang Yahudi?" Kita mungkin mendengar penekanan yang mengejek pada kata "Engkau" dalam pertanyaan Pilatus. "Engkau" -- seorang petani Yahudi, yang baru saja dipukuli, berdarah-darah, terbelenggu, dan yang berdiri lemas di hadapanku -- "adalah raja orang Yahudi?" Demikian juga yang mungkin kita dengar dari jawaban Yesus, ada penekanan yang mengejek pada kata yang sama: "Engkau sendiri mengatakannya."

Karena mendengar bahwa itu bukanlah jawaban, Pilatus menegaskan pertanyaannya: "Tidakkah Engkau memberi jawab? Lihatlah betapa banyaknya tuduhan mereka terhadap Engkau!" Tetapi, Markus memberi tahu kita, "Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawab lagi." (Markus 15:5) Dengan menolak menanggapi sang penguasa, tindakan Yesus mencerminkan keberanian dan juga penghinaan. Para penguasa tidak menyukainya. Pilatus pun heran. Bahkan, Yesus tidak berbicara lagi dalam cerita Markus sampai seruan terakhir-Nya dari atas kayu salib di kemudian hari: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Markus 15:34).

Selanjutnya, muncullah episode yang membingungkan ketika Pilatus menawarkan untuk melepaskan tahanan yang diinginkan oleh orang banyak. Membingungkan karena sulit dibayangkan bahwa ada kebiasaan semacam itu di provinsi yang menyusahkan seperti Yudea. Seperti yang Markus katakan, cerita ini melibatkan seorang pemberontak yang bernama (Barabas, yang telah melakukan pembunuhan saat terjadi "huru-hara". Pilatus bertanya, "Apakah kamu menghendaki supaya kubebaskan raja orang Yahudi ini?" (yaitu Yesus). Akan tetapi, Markus memberi tahu kita, para imam Bait Allah "menghasut orang banyak untuk meminta supaya Barabaslah yang dibebaskannya bagi mereka" (Markus 15:11).

Penyaliban Yesus merupakan suatu perwujudan kasih Allah kepada kita.



EmailFacebookTwitterTelegramWhatsApp



Tampaknya Dia benar-benar ditentukan oleh Allah dan dinyatakan dengan "hal-hal ajaib, mukjizat-mukjizat, dan tanda-tanda" (Kisah Para Rasul 2:22), tetapi semuanya tampak terbalik melalui kengerian salib. Seperti ada tertulis terkutuklah orang yang "digantung di kayu salib" (Ulangan 21:22-23). Serupa dengan hal itu, dalam pelayanan-Nya, Yesus menegaskan hubungan istimewa-Nya dengan Allah. Dia menyatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya (Matius 11:27) dan Dia sendiri adalah Anak yang tidak ada seorang pun yang dapat menyamai-Nya (Markus 12:6; 13:32; Yohanes 5:17-27). Salib tampaknya berarti penolakan Allah terhadap Yesus, dan faktanya Yesus menderita karena ditinggalkan Allah (Matius 27:43-46). Akan tetapi, kebangkitan Yesus adalah pengakuan Allah atas-Nya di hadapan surga, bumi, dan neraka. Bahkan, ini melebihi peristiwa baptis di Sungai Yordan atau saat Dia dimuliakan di atas gunung. Pada minggu pagi Paskah pertama, Bapa akhirnya menegaskan, "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (Matius 3:17). Dalam peristiwa hebat itu, Dia menyatakan di depan umum kepada Kristus, "Engkau adalah Anak-Ku. Hari ini, Aku telah menjadi Bapa-Mu." (Kisah Para Rasul 13:33)

Hampir pasti, orang banyak tersebut bukanlah kerumunan orang yang sama, yang mendengar Yesus dengan senang hati selama seminggu sebelumnya. Markus tidak memberi kita alasan untuk berpikir bahwa orang-orang itu telah berbalik melawan Yesus. Selain itu, sangat tidak mungkin bahwa orang-orang pada awal pekan itu diizinkan masuk ke istana Herodes, tempat adegan ini terjadi. Kerumunan ini, kerumunan yang dihasut oleh imam-imam kepala, jumlahnya pasti jauh lebih sedikit dan lebih tepat dipahami sebagai kerumunan yang dikumpulkan oleh penguasa (orang yang dapat mengizinkan mereka masuk ke istana). Ketika Pilatus bertanya kepada kerumunan ini, "Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan orang yang kamu sebut Raja orang Yahudi ini?" Maka, mereka berteriak lagi, katanya, "Salibkanlah Dia!" (Markus 15:13) Maka, Pilatus melepaskan Barabas dan menyerahkan Yesus kepada prajurit-prajuritnya untuk disalibkan.

Sebagaimana sejarah diingat, cerita tentang Barabas ini sulit. Akan tetapi, jika kita menempatkannya dalam konteks sejarah Markus, seperti yang ia tuliskan sekitar tahun 70, cerita itu cukup masuk akal. Baik Barabas maupun Yesus adalah revolusioner. Keduanya menentang kekuasaan kaisar. Namun, yang pertama membela revolusi kekerasan, sedangkan yang kedua membela anti kekerasan. Pada tahun 66, orang-orang Yerusalem (dan banyak orang lain di daerah orang Yahudi) telah memilih cara Barabas, bukan cara Yesus. Peristiwa tahun 66 -- 70 tersebut membuat cerita ini bisa dipahami.

Peristiwa yang terjadi tiga jam pertama hari itu terus berlanjut. Setelah diserahkan kepada prajurit Pilatus, Yesus, seperti banyak tahanan politik sebelum dan sesudah Dia, disiksa dan dipermalukan. Dia dicambuk. Kemudian, prajurit melepas pakaian-Nya (tindakan itu sendiri merupakan tanda ketidakberdayaan-Nya di tangan mereka) dan membuat upacara penobatan yang mempermalukan Dia: mereka mengenakan jubah ungu kepada-Nya, meletakkan mahkota (duri) di atas kepala-Nya, menyebut-Nya sebagai "Raja Yahudi", menyerang-Nya, dan meludahi-Nya. Lalu, mereka menanggalkan jubah ungu itu dan mengenakan lagi pakaian Yesus sendiri kepada-Nya, dan membawa-Nya keluar untuk disalibkan.

Para tahanan yang dihukum mati dengan cara disalib, biasanya diwajibkan untuk memikul balok kayu salib horizontal sampai ke tempat eksekusi. Sementara, balok yang vertikal sudah menjadi tiang permanen yang ditancapkan di tanah tempat eksekusi. Namun, Markus memberi tahu kita bahwa tentara memaksa seorang pejalan kaki, Simon dari Kirene, untuk memikul salib Yesus. Meskipun Markus tidak mengatakan mengapa, sepertinya itu bukan tindakan kebaikan terhadap Yesus, melainkan karena Yesus sudah terlalu lemah untuk memikul balok kayu itu sendiri. (t/Jing-jing)

 

Proses Pengadilan Yesus

 

Diterjemahkan dari:

Judul asli buku : The Last Week
Judul bab : Friday
Judul asli artikel : Mark's Story of Good Friday
Penulis : Marcus J. Borg dan John Dominic Crossan
Penerbit : HarperCollins Publisher, New York, 2006
Halaman : 140 - 145

Komentar