Alasan utama hamba Tuhan untuk mengembangkan 'skill' dan disiplin
dalam konseling bukanlah untuk menjadikan dia "Professional
Counselor", tetapi "Professional Pastor" yang trampil dalam
pelayanan konseling. Yang menurut ahli-ahli konseling, seharusnya
ditandai oleh beberapa hal:
Adanya pengetahuan yang cukup tentang teori-teori personality dan
psikologi pada umumnya. (Richard L. Hester, "Toward
Professionalism or Voluntarism in Pastoral Care", Pastoral
Psycology, vol 24, No. 4, Summer 1976, p. 305).
Adanya kemampuan untuk menghubungkan teori dan praktek, khususnya
teori-teori tentang metode-metode observasi dan diagnosa (Hester,
ibid, p. 305).
Adanya training yang cukup di bawah bimbingan dan supervisi
seorang profesional khususnya dalam Clinical Psycology (Edward E.
Thornton, "Professional Education for Ministry: A History of
Clinical Pastoral Education", Nashville, Abingdon Press 1970,
p. 27-33).
Adanya kemampuan untuk memelihara identitasnya sebagai hamba
Tuhan dalam peranannya sebagai konselor dalam interpersonal
relationship-nya dengan konsele (Nelson N. Foote & Leonard S.
Cottrell, "Identity and Interpersonal Competence", The
University of Chicago Press, 1966, p. 53).
Adanya kemampuan untuk mengolah dan memakai sumber-sumber yang
tersedia untuk mensukseskan pelayanan konselingnya. (Nelson &
Leonard, ibid, p. 53).
Adanya pengertian yang benar tentang skop pertanggungjawabannya
sebagai konselor, (Wayne Oates, "Pastoral Counseling",
Westminster Press: Philadelphia 1974, p. 86).
Adanya disiplin dalam menggunakan perlengkapan-perlengkapan
konseling dalam batasan profesinya sebagai hamba Tuhan, yang
antara lain meliputi:
Penyusunan data-data dan penyimpanan catatan dalam sistim file
yang rapi dan aman.
Membedakan dengan jelas antara short-term dan long-term
konseling, juga antara konseling secara informal maupun
formal. Di mana dalam konseling formal dan long-term,
pelayanan diatur oleh:
Appoinment.
Batasan "waktu" konseling yang tidak merugikan pelayanan
dan kegiatan yang lain.
Rules dan cara kerjanya sebagai konselor, yang sudah
dijelaskan terlebih dahulu pada konselenya.
Tersedianya kantor atau ruang konseling yang tidak terganggu
(yang menciptakan suasana konseling yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan).
Tersedianya referrals yang dapat dihubungi setiap saat (dokter
umum, dokter jiwa, psikolog, ahli hukum, hamba-hamba Tuhan
yang lain, dll).
Tidak mencoba melakukan diagnosa medis, psycho-test,
eksperimen-eksperimen, hypnose (pemakaian sugesti secara
sengaja), pemberian resep obat-obatan dan hal-hal yang menjadi
wewenang profesional-profesional lain.
Tahu bagaimana menjernihkan perbedaan-perbedaan antara "free
gift" dan pembayaran yang diberikan oleh konselenya (hamba
Tuhan tidak seharusnya mengharapkan, mendorong apalagi
menuntut pembayaran atas pelayanannya).
Meskipun hamba Tuhan bukan konselor profesional, tetapi tanggung
jawabnya pada Tuhan seharusnya mendorong dia mengembangkan skill-nya
dalam pelayanan konseling.