Menghadapi sisi-sisi gelap dalam diri sendiri merupakan sumber dari segala pergumulan hidup manusia. Filsuf Rusia, Feodor Dostoevski, pernah mengatakan bahwa "Di tengah kedalaman lubuk hati manusia, ada sesuatu yang manusia sembunyikan dan tidak mampu singkapkan kecuali kepada sahabatnya. Itupun dilakukan secara sembunyi. Di samping itu manusia masih mempunyai berbagai rahasia lain, yang kepada sahabatnya pun ia tidak berani ceritakan, yaitu rahasia yang ia hanya dapat singkapkan kepada dirinya sendiri. Lebih mengherankan lagi, manusia masih dapat menyimpan rahasia-rahasia lain, yang ia tidak mampu singkapkan bahkan kepada dirinya sendiri."
Itulah sisi gelap yaitu hal buruk yang mungkin sangat memalukan dan menjijikkan sehingga manusia yang berhati-nurani takut untuk menghadapi dan memikirkannya sendiri. Paul Tournier dalam bukunya "Reflections" mengatakan bahwa memasuki daerah sisi gelap tersebut, manusia tidak dapat lagi dibedakan dengan binatang. Tingkah laku dan perasaannya digerakkan oleh instingnya sehingga akal dan pertimbangan pikiran yang sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan akan kebenaranpun tidak berdaya lagi. Setiap kali muncul, ia menuntut pemuasan yang akan disesali kemudian.
Kasus:
A adalah seorang Kristen yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan rohani. Sebagai seorang majelis gereja [1], A sering kali memimpin pemahaman Alkitab dan menangani berbagai masalah konseling. Tidak heran jikalau A dikenal sebagai tokoh Kristen dan berbagai jabatan dipegangnya.
Hari ini istri A menemui Anda. Mula-mula ia mengeluh tentang anaknya yang kedua, yang terjerat narkoba dan sudah dua hari tidak pulang ke rumah. Ia juga menceritakan dengan bercucuran air mata tentang sifat suaminya yang pemberang dan abusive (memukul). Ia menunjukkan bekas-bekas luka di tangannya dan memar-memar di punggung dan dadanya.
Ia mengakui bahwa A sebenarnya seorang suami yang baik, tetapi pemarah dan sulit memaafkan kesalahan orang lain. Kalau harga dirinya tersinggung, ia bisa dengan segera mata gelap, dari mulutnya akan keluar kata-kata kotor, sumpah-serapah dan ia bisa melakukan apa saja. Pisau, gunting, sapu, kursi apa saja bisa dipakai untuk melampiaskan kemarahannya. Memang kemudian ia akan menyesal, tetapi ini terus terulang-ulang sehingga seluruh keluarga [2] menjadi korban, termasuk anaknya yang terjerat narkoba, tidak lagi tahan tinggal di rumah.
Menghadapi kasus di atas beberapa prinsip konseling di bawah ini bisa Anda pakai.
1. Boleh marah tetapi tidak berbuat dosa (Efesus 4:26 [3]).
Munculnya perasaan marah merupakan bagian integral dari jiwa manusia. Bahkan Alkitab menyaksikan bahwa Allah pun pada saat-saat tertentu marah, meskipun kemarahan Allah adalah kemarahan atas dosa. Alkitab [4] menyaksikan bahwa reaksi Allah yang suci atas dosa dan kecemaran adalah "kemarahan." Ada 375 kali di Perjanjian Lama dan 80 kali di Perjanjian Baru dicatat tentang kemarahan Allah. Alkitab juga mencatat bahwa Tuhan Yesus dan rasul-rasul pun berulang kali marah. Bahkan yang lebih mengherankan adalah bahwa ekspresi kemarahan yang suci itu bisa "menjadi batu sandungan" di mata manusia. Oleh sebab itu, meskipun setiap kata yang dipakai bukan merupakan manifestasi dari dosa, Yohanes 6:60-66 [5] menyaksikan bahwa banyak murid yang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia.
Marah dan tidak berbuat dosa sering kali menjadi masalah yang sangat kompleks. Meskipun jelas bahwa kemarahan Allah dan Tuhan Yesus tak dapat dibandingkan dengan kemarahan manusia yang selalu tercemari oleh dosa, tetapi batasan manifestasi kemarahan merupakan hal yang sulit sekali digariskan. Jikalau Allah dalam kemarahan-Nya bisa membunuh, maka manusia dengan alasan apa pun juga tidak berhak melampiaskan "spirit membunuh" meskipun hanya dengan kata-kata. Tuhan Yesus menegaskan bahwa "spirit membunuh" telah melibatkan manusia jatuh dalam dosa yang mematikan (ayat 21-22). Berarti, meskipun kemarahan adalah bagian integral hidup manusia, tidak ada seorang manusia pun yang berhak melampiaskan kemarahan dalam bentuk apa pun juga atas dorongan dosanya. Dengan demikian, kasus A bukan hanya "kepribadian abusive" tetapi juga kasus "perkanjangan dalam dosa" oleh karena "buruknya hubungan dengan Allah." Keduanya harus diselesaikan.
2. Jangan percaya kata-kata penyesalannya karena kemarahan yang tak terkendali bukan masalah rasional yang disadari.
Untuk pengalaman pertama dengan sifat suami yang abusive, istri A mengatakan, "Saya shock sekali. Saya tidak pernah mengenal sisi A yang ini. Saya merasa tidak berarti, tetapi beberapa hari kemudian saya sudah menemukan A sebagai suami yang hangat, yang penuh kasih, yang suka memberi surprise, dan romantis. Memang untuk pemukulan yang pertama itu ia tidak minta maaf, tetapi seluruh tindakan dan sikapnya sudah menyatakan itu. Jadi saya merasa lega. Namun tiga minggu kemudian ia begitu lagi. Untuk hal yang kecil (saya lupa mengembalikan buku yang dipinjamnya dari perpustakaan gereja) ia begitu marah dan memukul dan membenturkan kepala saya ke tembok. Akibatnya mulut dan hidung saya bocor dan kepala saya benjol. Nah, untuk yang ini A sampai menangis dan meminta maaf berulang kali. Ia menyesal dan bersumpah tidak akan melakukan hal seperti itu lagi. Memang luka hati saya saat itu cukup dalam sehingga memakan waktu lebih lama untuk sembuh. Kemudian hubungan kami membaik lagi, dan saya yakin Tuhan sudah menolong. Kami sering berdoa dan melakukan saat teduh bersama seluruh keluarga. Indah sekali, tetapi dua hari yang lalu A melakukannya lagi. Bahkan di tengah kemarahannya ia mengatakan bahwa dia menyesal menikah dengan saya. Saya betul-betul putus asa dan kecewa. Meskipun kali ini A sampai berlutut di kaki saya dan bersumpah di hadapan Tuhan, rasanya sulit sekali saya memaafkan dia."
Pola seperti di atas memang merupakan pola yang sering kali ditemukan dalam hidup pasangan dengan masalah "sisi-sisi gelap (unconsciousness)" seperti A yang abusive. Munculnya dorongan yang tak terkendali untuk mengatakan atau melakukan hal-hal yang jahat merupakan hal yang muncul sebagai insting sehingga alasan dan tujuannya tidak rasional. Oleh sebab itu "Anda sulit percaya pada kata-kata dan janjinya," kecuali ia menunjukkan kesungguhan untuk memperbaiki kelakuannya, yaitu:
Biasanya, tekad untuk memperbaharui kehidupan hanya ada pada saat seorang sudah terpaksa dan tak mempunyai pemilihan yang lain lagi.
3. Menolong A menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya.
Sebagai teman (konselor awam) Anda dapat menolong A menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Itu dapat dilakukan melalui:
4. Menyusun strategi kehidupan yang lebih baik.
Meskipun mungkin penanganan kasus A ada dalam tanggung jawab konselor yang profesional, peran Anda sebagai teman dan konselor awam tidak kecil. Hal itu tampak:
Menghadapi perlakuan yang tidak fair ini memang sulit. Secara natural istri A akan melawan atau membela diri (kecuali dia sendiri terjebak dalam pola masochism) dan ini justru akan semakin menumbuh suburkan dorongan abusive dari suaminya. Oleh sebab itu, di samping bantuan dari seorang profesional, istri A perlu ditolong untuk keluar dari sistem yang buruk itu. Ia harus menemukan strategi untuk tidak ikut menstimulasi dorongan abusive dari suaminya. Suasana rumah tangga yang nyaman biasanya akan mengurangi dorongan-dorongan negatif tersebut, begitu juga "cara berkomunikasi" yang menyejukkan.
Jangan kecil hati, cobalah tips di atas dengan spirit ketergantungan pada belas kasihan dan pertolongan Tuhan.
Sumber: | ||
Judul Buku | : | Buletin Parakaleo |
Edisi | : | Juli - September 2001 Vol. VIII/ 3 |
Penulis | : | Pdt. Yakub B. Susabda |
Penerbit | : | Dept. Konseling STTRII |
Halaman | : | 1 - 3 |