Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Ketertutupan Eksistensial
Ketertutupan merupakan hal yang menghambat komunikasi dan hubungan antar manusia. Sulit dibayangkan seseorang menikah dengan pasangan dengan jiwa yang tertutup. Mungkin segala ideal pernikahan tak dapat dicapai. Keinginan, pemikiran, perasaan, dan segala yang perlu dikomunikasikan berakhir dengan diri sendiri. Tidak heran jikalau ekses-ekses yang tak diharapkan akan muncul. Perasaan kecewa, jengkel, marah, frustasi, dan tidak sabaran, yang kemudian memicu keinginan untuk menjauh dan menghirup kesegaran di luar, tak dapat dihindari lagi.
Anehnya, ketertutupan tidak selalu memanifestasikan diri dalam sikap diam, acuh, pasif, dan sulit berkomunikasi. Banyak pribadi yang tertutup tetapi berpenampilan ramah dan suka ngobrol, hanya...tak pernah mengkomunikasikan dirinya sendiri (the real self). Sehingga perkenalan, pergaulan, bahkan pernikahan selama bertahun-tahun tetap tidak menghasilkan keakraban. Apa yang ada dalam hati, dan apa yang tersimpan di balik sikap, kata-kata, dan tingkah lakunya merupakan misteri yang sulit dipahami. Kalau benar demikian, maka ini adalah gejala ketertutupan yang seringkali disebut sebagai ketertutupan eksistensial. Yaitu ketertutupan dari pribadi yang sebenarnya takut menghadapi realita kehidupan yang sesungguhnya (the real world). Untuk lebih meng-clear-kan pokok pembicaraan ini, coba perhatikan kasus di bawah ini.
L pada suatu hari datang ke seorang konselor dengan keluhan "tak dapat tidur (insomnia)." Katanya sudah berobat ke dokter dan diberi obat tidur. Memang tertolong, karena L kemudian dapat tidur. Tetapi setelah itu pemakaian obat tersebut menjadi masalah. L takut terjebak dalam ketergantungan pada obat. Itulah sebabnya ia konseling. Dari percakapan dengan konselor, akhirnya sampailah juga pada cerita kekecewaan dan perasaan dikhianati yang L alami dengan suaminya. Herannya, perasaan dikhianati tersebut muncul hanya oleh karena sang suami mulai main tenis seminggu dua kali. Dari jawaban dan penjelasan L, barulah nyata bahwa sejak menikah L menciptakan sistim kehidupan yang khusus dan unik. Selama dua tahun sang suami menurut-nurut saja, karena ia seorang yang baik hati dan tak suka ribut. Seolah-olah ia tidak pernah mempermasalahkan ketetapan dari L, yaitu ke mana- mana mesti bersama. Baik ke gereja, ke toko, ke luar kota, bahkan berolah-ragapun selalu harus bersama-sama. Nah, di sinilah persoalannya, karena pada suatu hari sang suami bertemu teman- teman lamanya yang mengajak ikut main tenis seminggu dua kali. Memang ide ini sudah diutarakan kepada L, tetapi L tak mau main tenis dan..., sesuai dengan sistim yang selama ini sudah berlaku, kalau L tidak pergi suami juga tidak boleh pergi. Biasanya sang suami nurut- nurut saja. Kali ini tidak. Dan itu menjadi bencana karena dianggap sebagai pengkhianatan.
Apa betul pengkhianatan? Menurut L jawabnya "ya," (tetapi "tidak" bagi suami L). Karena L adalah tipe pribadi dengan ketertutupan eksistensial, yaitu ketertutupan dalam eksistensinya sebagai satu individu dalam hubungan dengan individu yang lain. L menciptakan dunianya sendiri dan setiap orang yang dekat dengannya harus masuk menjadi bagian dari dunia ciptaannya. Orang tersebut harus berperan dengan peran yang ditetapkan L sesuai dengan dunia ciptaan tersebut. Ia tidak boleh mempunyai kebebasannya sendiri, atau memainkan peran yang lain yang tidak sesuai dengan peran yang sudah ditetapkan oleh L. Tidak heran jikalau hal "berani mengambil keputusan untuk bermain tenis sendiri (tanpa L)" dirasakan sebagai suatu pengkhianatan.
Ketertutupan eksistensial sebenarnya merupakan gejala umum yang sering ditemukan dalam kehidupan suami-istri. Banyak individu yang diam-diam merasa terjebak, tertekan, kehilangan kebebasan dan jiwanya terpenjara setelah menikah dengan pribadi dengan ketertutupan eksistensial. Memang ia dilayani, dan "dicintai" tetapi heran pelayanan dan cinta kasih yang diberikan, lama kelamaan tidak dapat dinikmati. Oleh sebab itu, keinginan untuk membebaskan diri seringkali tak dapat dibendung lagi.
Sekarang, bagaimana kita dapat menolong individu dengan ketertutupan eksistensial? Sulit, karena umumnya individu seperti ini tidak pernah merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia sudah memberikan segala- galanya untuk suami/istri dan keluarganya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukannya (dengan mengatur detail tingkah-laku seluruh keluarga) adalah demi kebaikan mereka, dan itulah tanda dari cinta kasihnya. Padahal apa yang disebut sebagai "cinta kasih" tersebut adalah sesuatu yang tidak dinikmati oleh suami/istri dan seluruh keluarganya. Untuk dapat menolong pribadi dengan ketertutupan eksistensial:
- Perlu adanya pengertian dan pemahaman yang benar tentang asal-
muasal pembentukan kepribadian yang unik tersebut.
Ketertutupan eksistensial biasanya terbentuk pada masa kecil. Seseorang bisa mempunyai kepribadian dengan ketertutupan eksistensial oleh karena sejak kecil ia tidak pernah :
- dibimbing untuk berkenalan dengan dunia kehidupan yang real (the real world), dan
- dibekali untuk berperan di tengah dunia kehidupan tersebut.
Setiap anak membutuhkan pengalaman "berkenalan" dengan dunia nyata. Pengalaman tersebut seharusnya dialami secara alami di tengah keluarga. Sejak kecil, setiap anak boleh tahu siapa orang-orang yang hadir dan muncul di rumahnya. Siapa orang yang mencuci pakaiannya, masak, mengepel dan tinggal di kamar belakang. Siapa orang yang sedang membetulkan telpon di rumahnya, siapa orang yang datang berjualan sayur setiap pagi si depan rumahnya. Ia boleh tahu mengapa ibu menangis. Apa artinya kalau ayah membawa mobilnya ke bengkel. Jadi, anak yang belajar berkenalan dengan dunia nyata, adalah anak yang diijinkan untuk tahu apa yang dilihat, didengar, dan dialami. Kadang-kadang ia dibawa ke luar rumah, ke gereja, ke toko, bahkan ke kebun binatang dan sebagainya. Perkenalan tersebut akan menghasilkan kesiapan anak untuk hidup dan berinteraksi dengan dunia yang nyata. Semakin banyak perkenalan tersebut semakin kenal dan siap anak untuk menghidupi kehidupan ini.
Meskipun demikian, perkenalan pada dirinya sendiri sebenarnya belum cukup. Setiap anak harus pula dibekali dengan kesiapan mental atau ia tidak dapat berperan dengan baik di tengah dunianya. Oleh sebab itu, setiap anak harus dibekali dengan berbagai komponen kepribadian yang diperlukan. Ia harus dibekali dengan rasa percaya, sehingga ia dapat bekerja sama dengan orang lain. Ia juga harus dibekali dengan rasa mampu, percaya diri, keinginan tahu, keberanian mencoba dan kemampuan beradaptasi dengan kegagalan, kasalahan dan sebagainya.
Sayang sekali banyak anak yang oleh karena satu dan lain sebab (misal: kedua orang-tua tidak merasakan perlunya memperlakukan setiap anak sebagai pribadi yang utuh) tidak siap untuk masuk ke dalam kehidupan yang nyata ini. Seringkali dengan bekal yang sangat kurang dalam jiwa mereka, muncul perasaan takut, gelisah dan tidak aman. Ada di antara mereka yang kemudian menjadi rewel, nakal, tak mau sekolah, pemalu, penakut, keras kepala dan sebagainya. Secara khusus banyak di antara mereka yang membangun dunianya sendiri, membiasakan diri untuk melihat dan menafsirkan realita yang dialami dengan perspektif dan tafsiran mereka sendiri, dan kemudian belajar memberikan reaksi emosi yang juga unik. Inilah yang menjadi proses pembentukan jiwa dengan ketertutupan eksistensial.
- Perlu adanya kemampuan untuk menjelaskan dan mengkonfrontir pola
pikir yang salah tersebut.
Kembali ke kasus L di atas, konselor mendengar dari mulut L keluhan- keluhan seolah-olah segala kebaikan dan pelayanannya tidak dihargai. L mengeluh,
"Semua kan untuk kebaikannya? Tubuhnya juga tidak sehat, main tenis kan olahraga yang berat, jadi, kalau saya diamkan saja...apa-apa saya ijinkan...bisa dibayangkan ia akan jadi apa?...mati muda barangkali...atau kena stroke...lalu siapa yang susah nanti...Terus terang aja...makan pun mesti saya batasin...kalau tidak dia maunya makan sembarangan...Juga kalau dibiarkan nih, dia maunya nonton TV sampai pagi...Jadi, terus terang, saya mesti keras sama dia...Tapi itu kan karena saya cinta dia. Herannya dia tidak mengerti maksud baik saya..."
Mendengar ini mungkin anda sebagai konselor mulai ambivalen. Ada juga poin-poin kebenaran dari L yang anda rasakan. Meskipun demikian anda harus waspada. Betul-betul waspada dengan kesan dan perasaan anda sendiri. Jangan sampai anda mentransfer kesan dan perasaan tersebut padanya. L adalah klien anda, dan untuk dapat menolong L, anda harus dapat menangkap pola pikir L yang tidak sehat.
L berpikir bahwa ia hanya dapat berbahagia jikalau suaminya menjadi seperti apa yang ia kehendaki. L merasa bahwa ia hanya dapat mengasihi suaminya, jikalau suaminya menuruti segala kemauannya. L merasa bahwa suaminya menolak dan mengkhianati cintanya jikalau ia berani melakukan hal-hal yang tidak disetujui. Nah, ini adalah pola berpikir L, dan jelas sekali dengan pola pikir ini L akan menjadi pribadi yang dirasakan menekan, membelenggu, dan memaksakan kehendak. Akibatnya, meskipun benar L merasa mengasihi suaminya, dan mungkin benar L melayani dan memberi kebutuhan-kebutuhan phisiknya, tetapi "kasih dan pelayanannya" tidak dinikmati bahkan dirasakan menjerat.
Sebagai konselor, anda harus berani mengkonfrontir pola pikir tersebut supaya L sadar akan apa yang terjadi dalam kehidupannya dan bagaimana hubungan yang sesungguhnya dengan suaminya.
Nah, dengan kedua prinsip di atas, anda dapat mulai menerapkan peran anda sebagai konselor. Tuhan memberkati.
Kerapuhan Hidup
Oleh: Dr. Paul GunadiSewaktu saya kuliah dulu, seorang dosen saya pernah menceritakan salah satu kliennya yang mengalami mental breakdown (hilangnya kewarasan) di tengah-tengah proses penyembuhannya. Saya masih teringat komentar dosen itu yang disampaikannya dengan wajah serius, "Jangan berpikir bahwa kita kuat dan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi pada kita." Sejak saat itu sampai sekarang saya sudah menyaksikan beberapa contoh kehidupan di mana kasus tersebut terulang kembali. Adakalanya hantaman yang kita terima begitu kuat sehingga kita tak mampu menjaga keseimbangan hidup kita lagi. Kita pun akhirnya mengalami depresi atau bahkan kehilangan kewarasan-- sesuatu yang tak pernah terpikir akan menimpa kita.
Banyak orang mengenal lagu rohani It Is Well with My Soul (Nyamanlah Jiwaku) yang ditulis oleh H.G. Spafford dan mengetahui latar belakang penulisannya. Konon, lagu itu ditulisnya di atas kapal tatkala ia melintasi lautan Atlantik, tempat di mana terkubur ketiga putrinya yang mati tenggelam. Istri dan ketiga putrinya sedang dalam perjalanan ke Eropa sewaktu kapal mereka karam; si istri selamat namun ketiga putrinya meninggal dunia. Penderitaannya tidak berhenti di situ. Bertahun-tahun kemudian Spafford kehilangan putranya yang mati karena sakit. Setelah peristiwa itu, gereja di mana Spafford dan istrinya berbakti, mengucilkannya karena mereka beranggapan bahwa pasangan Spafford ini pasti berhubungan dengan kuasa gelap. Anggapan tidak berdasar ini dilandasi atas keyakinan bahwa hanya orang yang berselingkuh dengan setanlah yang akan kehilangan keempat anaknya. Spafford dan istri terpaksa pindah ke tempat yang jauh untuk memulai hidup yang baru. Hari tua Spafford tidaklah terlalu bahagia sebab pada akhirnya ia menderita sakit jiwa.
Apa yang terjadi dengan Spafford sehingga ia yang dapat menulis lagu yang agung dan mencerminkan iman yang kuat itu bisa mengalami sakit jiwa? Spafford tegar menghadapi kematian ketiga putrinya; ia pun tetap tabah menerima kematian putranya. Namun tatkala ia harus dibuang oleh orang-orang yang seharusnya merangkul dan mendukungnya, ia tak kuasa menahan penderitaannya lagi. Sistem pertahanan hidupnya runtuh dan jiwanya pun retak. Mungkin ada di antara anda yang berargumen bahwa seharusnya ia tetap waras sebab bukankah Tuhan mampu menolongnya. Sudah tentu Tuhan membantunya dan jika ia tekun beriman, tidak seharusnya ia mengalami sakit jiwa. Memang betul, namun dalam hidup banyak peristiwa yang tidak seharusnya terjadi. Mestinya kita beriman dan bersandar pada Tuhan, tetapi tidak selalu kita beriman dan bersandar pada-Nya. Mungkin itu yang terjadi pada Spafford; di episode terakhir hidupnya, tanggul pertahanannya bobol akibat tekanan arus yang terlalu kuat. Banjir penderitaan pun menggenangi sukmanya dan melumpuhkan kesanggupannya untuk hidup.
Ada beberapa langkah awal yang dapat kita lakukan untuk memelihara kesehatan jiwa. Pertama, kita harus memaklumi keterbatasan kita. Kita mesti menerima fakta bahwa kita tidak selalu kuat dan pada titik tertentu, kita bisa ambruk. Dalam beberapa kasus mental breakdown yang pernah saya saksikan, saya memperhatikan adanya unsur sikap tidak mengenal batas pada mereka yang mengalaminya. Kita perlu mengenali batas kemampuan kita dan memahami tanda atau sinyal yang dibunyikan tubuh kita, misalnya kesulitan tidur yang berkepanjangan, kesukaran berkonsentrasi, pikiran yang berjalan dengan cepat ibarat balapan mobil, atau perasaan yang naik turun tak terkendali namun lebih banyak turunnya. Semua itu adalah tanda awas yang harus kita terima dengan lapang dada bahwa kita memerlukan bantuan ekstra dari luar. Dengan kata lain, kita sedang berada di ambang batas untuk dapat terus bertahan dengan waras.
Kedua, kita mesti menyadari bahwa sebagian besar kekuatan kita sebetulnya berasal dari topangan yang kita terima dari luar, misalnya orang-orang di sekitar kita atau lingkungan hidup yang mendukung. Kehilangan ketiga putrinya dan bahkan kematian putranya tidak meruntuhkan Spafford; namun tatkala gereja mencampakkannya, ia ambruk. Secara pribadi saya menyadari bahwa saya sehat seperti sekarang ini dikarenakan dukungan moral yang saya terima dari banyak faktor seperti, istri dan anak-anak saya, sanak keluarga yang memperhatikan saya, teman-teman yang begitu akrab dan baik, serta pekerjaan yang memuaskan hati. Saya kira hidup saya akan menjadi sangat lain jika semua unsur di atas ini ditarik keluar dari dalam kehidupan saya. Jadi, memang kita perlu memelihara jalinan persahabatan yang baik dengan orang-orang di sekitar kita. Manusia yang hidup sendiri akan merusak dirinya sendiri.
Sesungguhnya kita adalah orang yang tidak terlalu kuat; kekuatan yang kita miliki sebenarnya hanyalah sesaat dan sebatas kulit permukaan. Kita adalah penerima kekuatan dari pihak lain: Tuhan, orang lain, lingkungan hidup, dan pekerjaan. Hargailah semuanya itu; bersyukurlah karena Tuhan berkenan memberikan semua itu kepada kita. Saya menyimpulkan bahwa kewarasan kita merupakan hadiah dari Tuhan saja. Saya akan akhiri dengan bait pertama lagu Spafford itu (terjemahan bebas) untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini tidak selalu dipenuhi kekuatan dan bahwa jiwa kita tidak selalu dalam keadaan baik.
Tatkala damai--bak sungai--hadir di jalanku. Ketika kesusahan-- seperti gelombang besar--menggulung. Apa pun yang terjadi, Engkau telah mengajarkanku untuk berkata, Jiwaku baik, jiwaku baik.
PERTANYAAN ANDA
Dr. Esther Susabda
Saya seorang ibu dari seorang anak perempuan Ina (3 tahun). Beberapa bulan ini, Ina masuk pre-school. Hampir setiap kali bangun pagi atau mau berangkat sekolah ia selalu menangis, ngambek dan minta saya untuk menemani. Apakah hal ini wajar? Bukankah pendidikan dini itu penting?
Popularitas dari pre-school memang meningkat lima tahun terakhir ini. Banyak alasan dari orang-tua untuk mengirim anak-anak mereka ke pre-school. Mungkin maksudnya supaya mereka dapat bersosialisasi, tidak egois bahkan bisa berbahasa Inggris, matematika dan sebagainya. Naiknya keinginan orang-tua juga dipicu dengan spirit rela membayar harga begitu mahal untuk ambisi tersebut, termasuk menghilangkan kesempatan bermain bagi anak-anak mereka. Tentunya wajar, jikalau orang-tua ingin anaknya tidak ketinggalan dari anak- anak sebayanya. Meskipun demikian, untuk menanggapi pertanyaan anda yang pertama, wajar bila anak anda belum merasa kerasan walaupun sudah beberapa bulan sekolah, terutama bagi anak-anak yang sebelumnya memang "attached/ada keterikatan" dengan orang-tua. Perlu diingat bahwa pre-school bukan replacement (alat pengganti) dari perhatian dan kasih sayang orang-tua yang seharusnya diberikan pada anak anda. Dr. David Elkind mengatakan bahwa seorang anak yang lahir dari keluarga yang baik dan hangat "will not be deprived because he or she did not go to pre-school / tidak akan rapuh hanya oleh karena mereka tidak sekolah pre-school," karena memang waktunya. Jadi kalau anak tidak tahu atau belum siap untuk sekolah, seharusnya ia tidak perlu dipaksa untuk sekolah.
Pendidikan dini, memang mengundang banyak pertentangan, terutama bagi orang-tua yang bekerja. Mereka menganggap daripada membiarkan anak-anak diasuh oleh pembantu atau babysitter, lebih baik kalau mereka juga mengikuti program perkembangan secara menyeluruh di sekolah di mana aspek-aspek sosial, emosional, dan intelektual digarap benar-benar. Bahkan ada sekolah pre-school yang berani memberikan program akademis (seperti membaca, menulis dan matematika) yang seharusnya baru diajarkan pada anak seusia sekolah dasar. Setiap anak sebenarnya membutuhkan pertumbuhan yang wajar. Yang seringkali orang-tua lupakan adalah bahwa perkembangan anak tidak terbatas pada pengenalan ABC atau kemampuan menghitung saja tapi juga kemampuan-kemampuan sosial dan emosional di samping tentunya pengembangan kreativitas untuk mengenali dunia di sekitarnya.
Anak usia 2-5 tahun mempunyai potensi yang luar biasa untuk berkembang, sehingga seringkali dikatakan bahwa masa ini disebutkan sebagai magic years. Pada usia ini anak berkembang dan berubah dengan sangat cepat. Di sini peranan dari orang-tua sangat besar untuk menciptakan suasana yang pas bagi perkembangan alami tersebut. Orang-tua "yang sehat dan baik" sebenarnya tak perlu memaksakan perkembangan anaknya dengan mengirim mereka ke sekolah pre-school, karena yang dibutuhkan adalah kehadiran, kerelaan berinteraksi secara utuh, perlindungan, dan kehangatan kasih sayang yang dapat dirasakan. Pemenuhan basic needs / kebutuhan-kebutuhan dasar inilah yang dengan sendirinya akan mempersiapkan anak masuk dalam dunia sekolah pada usia lima tahun. Jadi sebenarnya merupakan suatu anugerah dan kebahagiaan tersendiri bagi orang-tua jikalau mereka dapat menikmati setiap phase perkembangan anak. Semoga Tuhan memberikan anda kebijaksanaan yang berlimpah.