Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
POLIGAMI
Dalam hati nurani setiap orang beragama, termasuk tentunya Kristen, ada kesadaran bahwa beristri (atau bersuami) lebih dari satu adalah dosa. Poligami adalah hal yang tercela. Tidak heran jikalau hidup di tengah masyakarat yang agamanya "memberi peluang" untuk poligami sekalipun, poligami secara terang-terangan hanya dilakukan oleh segelinter orang yang perasaannya tidak terlalu peka terhadap suara hati nurani orang banyak.
Dalam studi riset yang dilakukan beberapa ahli, ditemukan adanya perbedaan yang cukup mencolok antara pria dan wanita dalam soal poligami. Prialah yang lebih cenderung untuk berpoligami, wanita tidak. Helmut Thielicke dalam bukunya "Theological Ethics" (Vol 3. hal 84-ff) menyebutkan beberapa alasan:
- Bagi wanita, masalah seksualitas menyatu dengan keseluruhan dirinya. Oleh sebab itu ia mengatakan , "for woman, poligami/polyandry will damage her very substance of her nature (untuk wanita poligami akan merusak substansi terdalam dari naturnya sebagai wanita)." Itulah sebabnya dengan kesadaran yang sama, Theologi Soren Kierkegaard mengakui, "it would matter nothing to him to betray the whole world, but that he will shrink from betraying a pure maiden, because it will violating the real self of her (tak menjadi masalah baginya mengkhianati seluruh dunia tetapi untuk mengkhianati cinta yang tulus dari seorang wanita ia sendiri akan rusak, karena pengkhianatan tersebut berhubungan langsung dengan jati diri yang sesungguhnya dari seorang wanita)."
- Bagi pria, masalah seksualitas terpisah dari jati dirinya sebagai seorang laki-laki. Pria pada umumnya bisa memisahkan seksualitas (dan hal-hal badani) dari "the real self"-nya. Sehingga pengalaman seksualitas bisa independent dari apa yang sesungguhnya terjadi dalam batinnya.
David Friedrich Srauss menganalisa karya Goethe (Faust) yang berhasil menyingkapkan rahasia yang terdalam dalam kehidupan seorang pria. Berbeda dari wanita, dalam batin pria selalu ada kegelisahan mencari "eternal feminine/wanita abadi" yang tak kunjung muncul. Dalam petualangannya dengan wanita-wanita, kebutuhan "eros pria" sebenarnya tak mungkin pernah terpuaskan. Oleh sebab itu, keberanian Faust mengikatkan diri dengan seorang wanita (dalam ceritera itu Margaret) yang menolak untuk diperlakukan sebagai "a mere specimen of the eternal feminime/suatu bentuk simbolik dari wanita abadi," telah menjebaknya dalam ikatan yang menghancurkan dirinya sendiri. seolah-olah sesuatu yang tragis justru dialami pria oleh karena ia mencoba manyangkali naturnya yang memisahkan antara seksualitas dengan jati dirinya.
Tentu ini hanya drama dari Goethe. Meskipun drama ini mengandung kebenaran yaitu Goethe menyingkapkan realita kegagalan manusia (pria) dalam upaya menghidupi kebenaran, karena jiwanya yang masih terjerat dengan naturnya yang tidak konduktif untuk menjadi konteks kebenaran tersebut. Kesetiaan hubungannya dengan wanita, hanyalah suatu fantasi yang terpendam jauh dalam lubuk batin manusia yang berdosa. Keberaniannya menerapkan kebenaran di tengah konteks hidup yang berdosa justru akan menghancurkan dirinya. Persis sama seperti yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Matius 9:16-17 bahwa perbuatan tersebut seperti "menambal kain yang baru pada baju yang lapuk," atau "memasukkan air anggur yang baru dalam kerbat kulit yang lama." Manusia perlu diperbaharui dahulu sebelum ia benar-benar dapat mengerti dan menghayati kebenaran ilahi. Peringatan dan larangan berpoligami tidak berfaedah, karena bagi mereka yang terjebak dalam natur dosanya secara formal memang bukan poligami, tapi tidak membebaskan mereka dari dosa perzinahan (Matius 5:27-28). Suatu bentuk poligami tersembunyi, yang ternyata bukan hanya pria saja yang melakukan.
Kita hidup di tengah budaya yang sangat konduksif dengan berbagai macam perzinahan. Meskipun sebagian besar dari kasus tersebut merupakan kasus perzinahan poligami yang tersembunyi yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk yang berbeda dari poligami pada umumnya. Oleh sebab itu kejelian dan kepekaan saudara seiman sebagai konselor sangat diperlukan. Coba perhatikan kasus di bawah ini:
A dan B adalah pasangan suami-istri yang "cukup baik." Mereka jarang bertengkar karena keduanya benar-benar ingin menjaga "image" sebagai keluarga Kristen yang baik. A adalah seorang individu yang tertutup dan pendiam. Ia pekerja yang rajin dan kariernya menanjak dengan baik. Hanya A bukanlah tipe yang romantis. Tidak heran, meskipun ia tidak pernah menyeleweng, dan ia dalah seorang yang setia pada seluruh keluarganya, tetap B istrinya merasa sesuatu yang kurang.
Sebagai teman dari B, anda seringkali mendengar keluhan ketidak- puasan B terhadap A. Meskipun demikian, karena anda melihat mereka sering berdua dalam kegiatan gerejani dan nampaknya OK OK saja, anda cenderung menganggap keluhan B sebagai hal yang wajar saja. Toh tak ada gading yang tak retak. Tak ada pernikahan yang "sempurna".
Meskipun demikian, pada suatu hari anda melihat hal yang membuat hati nurani anda gelisah. Anda bertemu dengan B dan X yang sedang makan siang bersama di sebuah food-court. Dalam pertemuan tersebut mereka sama sekali tidak menunjukkan hal-hal yang aneh. Hanya ... anda sendiri yang merasa gelisah. Kegelisahan anda semakin memuncak ketika pada suatu hari B mengatakan kepada anda bahwa pria idamannya sebenarnya tipe pribadi seperti pemimpin paduan suara yang bernama X tersebut. Dengan terus terang B mengatakan telah salah pilih dan menikah dengan orang keliru. B mengatakan ia terus belajar akan belajar mensyukuri apa yang memang sudah menjadi jodohnya. Kemudian, B mengakui terus terang bahwa dua tahun terakhir ini ia dekat sekali dengan X seperti layaknya hubungan adik-kakak. Rasanya cocok betul, segala sesuatu dapat dibicarakan dengan begitu enak. Masalah apa saja dapat dibicarakan dengan X.
Menurut pengakuan B (yang anda kenal sebagai orang jujur) hubungan tersebut tidak ada unsur-unsur pacaran sama sekali. Hanya saja ... B merasa setiap hari ada kebutuhan dan keinginan untuk ngobrol dengan X. Yah, meskipun cuma melalui telepon, katanya.
A suami B, nampaknya tidak keberatan, karena X suami-istri seringkali mampir dan ngobrol di rumahnya. A menganggap pasangan suami-istri tersebut adalah teman-teman dekatnya.
Kasus seperti ini merupakan kasus yang sangat sering kita jumpai sekarang ini. Persahabatan antar pria dan wanita yang sudah menikah telah menjadi bagian dari budaya, sehingga dianggap wajar-wajar saja. Meskipun demikian, kita perlu betul-betul waspada bahwa hal yang wajar dan dapat diterima oleh masyarakat tak selalu wajar dan OK. Oleh sebab itu, sebagai teman dekat B, anda seharusnya membekali diri dengan beberapa prinsip di bawah ini:
- Walaupun B tidak secara khusus meminta nasehat kepada anda, B
sebebarnya sudah memainkan peran sebagai klien yang siap untuk
suatu konseling. Oleh sebab itu mintalah pimpinan kepada Tuhan.
berdoalah dan persiapkanlah diri anda untuk mulai membimbing B.
Pekalah terhadap waktu yang Tuhan sudah sediakan bagi anda untuk
percakapan konseling tersebut.
Untuk itu anda perlu membekali diri dengan konsep-konsep yang benar (sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan) tentang apa itu natur dan tujuan pernikahan Kristen.
Pertama, anda perlu jelas bahwa apa yang sudah terjadi (A menikah dengan B) adalah = apa yang sudah dipersatukan Allah. Memang ini misteri dari providensia Allah yang didalamnya manusia mempertanggung- jawabkan kebebasannya untuk memilih. Meskipun secara sadar manusia salah pilih, tetap dalam iman ia seharusnya memasukkan "realita tersebut" dalam ikatan providensia-Nya supaya dapat dipertanggung-jawabkan secara imani. Artinya dalam pemilihan untuk memasuki realita "salah pilih" tersebut seorang yang beriman akan memasukkannya dalam konteks menjadi bagian kehendak Allah atas dirinya. Itulah konsep kehidupan iman. Sehingga tidaklah benar jika B menghidupkan perasaan tidak puas oleh karena A bukan tipe idealnya dsb.Kedua, kehidupan dalam iman, seharusnya membekali B dengan tekad untuk membangun kehidupan seutuhnya dengan A dan bukan dengan orang lain. Kehidupan seutuhnya adalah kehidupan yang arahnya pemenuhan batinnya dan aktualisasi dirinya. B tidak seharusnya meragu-ragukan kemungkinan untuk mendapat pemenuhan tersebut dengan A, karena pemenuhan kebutuhan batiniah dan aktualisasi diri bukanlah sesuatu yang manusia secara subjektif tentukan sendiri. Hanya Allahlah yang sebenarnya dapat memberikan pemenuhan tersebut. Oleh sebab itu, ketaatan (obedience) kepada Allah akan membawa B masuk dalam proses yang benar. Sebagai konselor, jangan sampai empati anda berubah menjadi simpati sehingga anda membiarkan B hanyut dalam nafsu subjektif pemenuhan kehendak pribadi dan setuju kalau B berhak untuk tidak mencari pemenuhan batinnya dengan A.
Ketiga, perlu jelas bagi konselor dan klien bahwa tujuan pernikahan Kristen bukanlah "kebahagiaan atau perasaan bahagia." Karena perasaan bahagia adalah anugerah umum atau sesuatu yang relatif yang Allah sediakan bagi siapa saja termasuk bagi orang- orang jahat. Setiap orang dengan sendirinya akan merasa bahagia kalau kebutuhannya terpenuhi. Itu natural. Oleh sebab itu, kebahagiaan (yang Tuhan juga sediakan bagi orang-orang percaya ini) bukanlah tujuan utama pernikahan. Tujuan utama pernikahan telah ditetapkan Allah sejak penciptaan, yaitu supaya suami-istri menjadi rekan-rekan kerja Allah dalam mengerjakan segala pekerjaan baik yang telah disediakan-Nya (Kej. 1:26-28, Efesus 2:10). Untuk itu syarat utama adalah, suami-istri, keduanya masuk dalam proses pertumbuhan yang seutuhnya menjadi serupa dengan gambar Kristus (Roma 8:29).
Memahami tujuan ini, akan memungkinkan orang seperti B sadar bahwa fokus hidupnya selama ini adalah fokus yang sangat duniawi dan egosentristik. B belum menyadari tujuan hidupnya sebagai orang yang sudah diselamatkan. Anda harus menolong B untuk belajar mematikan perasaannya terhadap X dan memakai kondisi ketidak-puasan dengan A sebagai sarana pertumbuhan pribadi dan imannya.
- Dengan sikap tidak menghakimi anda perlu belajar untuk menjadi
teman bicara B yang sebaik-baiknya. Ciptakanlah suasana yang
konduksif di mana B akan merasa dirinya sangat diterima dan
sangat dimengerti oleh anda. Melalui itulah anda akan mulai
melihat B yang sesungguhnya muncul dari "tempat persembunyian
jiwanya" yang ia sendiri tidak sadari.
Misalnya, anda mulai dapat menangkap pola-pola pikirannya (bagaimana pikirannya bekerja; bagaimana B memikirkan hubungan dengan A dan X; komponen-komponen kognitif apa yang ia pakai dan komponen-komponen kognitif apa yang ia abaikan; mengapa demikian, dst) dan struktur kepribadian atau pola kerja jiwanya (mengapa ia begitu mudah mengikatkan dirinya dengan X; apa sebenarnya kebutuhan B yang terpenuhi dalam hubungan dengan X dan bukan dengan A suaminya, dsb). Untuk itu anda mulai mempunyai pengenalan yang sesungguhnya akan siapa-sebenarnya B tersebut. Anda mulai mempunyai praduga-praduga dan itu perlu diuji dulu kebenarannya. Untuk itu anda perlu merefleksikan praduga tersebut dan melihat bagaimana reaksi B atas refleksi yang anda berikan. Misalnya, anda katakan pada B: "mendengar apa yang anda katakan tadi, rasanya anda mau mengatakan kepada saya bahwa anda sudah memutuskan untuk tidak mau berupaya mengasihi suami anda dengan kasih yang seharusnya ada dalam hubungan suami-istri. Apa benar demikian?"
- Setelah B menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya dan
bagaimana sikapnya dalam realita kehidupannya barulah anda boleh
mengkonfrontir B (ini tidak dianjurkan untuk professional
konselor) dengan kebenaran-kebenaran yang sumbernya dari
Alkitab.
B seharusnya menyadari bahwa hubungannya dengan X (meskipun tak ada realita praktis seperti layaknya orang pacaran), adalah hubungan yang tidak wajar. Hubungan ini sudah mempunyai muatan- muatan "cinta/love," karena tiga komponen love ada di sana. Yaitu (a) intimacy, atau perasaan intim oleh karena merasa dirinya dimengerti dan diterima sepenuhnya, (b) decision commitment, atau unsur rasionil untuk mempertimbangkan untung-rugi kalau mengambil keputusan dan komitmen. Nah hasilnya B dan X telah merasakan adanya obligasi untuk selalu dan sering-sering bertemu, berhubungan dan berkomunikasi. B mengakui bahwa apa saja bisa disharingkan dengan X. Ada kemungkinan hubungan mereka diam-diam "dinikmati" oleh karena ada komponen ketiga yaitu (c) passion atau seksualita dalam bahasanya yang tersendiri. Mungkin benar mereka tidak bercumbuan dsb, tetapi tingginya frekuensi komunikasi pribadi antara pria-wanita tak mungkin dapat dipertahankan tanpa unsur-unsur passion.
Nah, kalau X menjadi begitu berarti bagi B, siapakah sesungguhnya suami B? Memang secara yuridis A adalah suami B, tetapi secara praktis (de facto) sebenarnya X-lah suami B. Ini adalah perzinahan yang tersembunyi. Ini adalah bentuk poligami yang tersembunyi.
Oleh: Dr. Yakub B. Susabda
PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
Satu Pria dan Satu Wanita
Ada satu fenomena baru yang sedang menggejala di kalangan orang Kristen, yakni, "beristrikan" lebih dari satu. Sudah tentu fenomena beristrikan lebih dari satu bukanlah sesuatu yang baru; yang baru adalah argumentasi para pria ini yang mengatakan bahwa Alkitab sendiri tidak pernah melarang kita untuk beristrikan lebih dari satu. Di bawah ini saya akan memaparkan argumentasi saya untuk menjawab masalah ini.
Memang benar Alkitab tidak secara eksplisit melarang suami menikah lagi dan Tuhan tidak memberikan teguran atau larangan secara langsung kepada hamba-hamba-Nya yang mempunyai istri lebih dari satu. Sebagaimana kita ketahui, Abraham, Yakub, Daud, dan Solomo beristrikan lebih dari satu. Pertanyaannya adalah, apakah Tuhan menghendaki mereka beristrikan lebih dari satu ataukah Tuhan membiarkan mereka beristrikan lebih dari satu.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui desain atau rencana Tuhan tentang pernikahan pada awalnya. Marilah kita lihat Kejadian 2:24; "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging." Pada pernikahan pertama ini, dengan jelas kita dapat melihat bahwa Tuhan mendesain pernikahan antara satu pria dan satu wanita. Sama sekali tidak tersirat adanya desain pernikahan ganda atau majemuk yakni beristrikan atau bersuamikan lebih dari satu.
Berikutnya, istilah "satu daging" merujuk kepada kesatuan yang sempurna dan tidak terpisahkan. Alkitab tidak menggunakan istilah "keduanya berpasangan" atau "keduanya berdampingan." Alkitab memakai istilah, "keduanya menjadi satu daging" ibarat sirup dan air yang telah larut bersama. Atau, jika kita tetap menggunakan konsep daging, kita dapat menyamakanya dengan daging seorang anak yang merupakan perpaduan darah dan daging ayah dan ibunya. Dapatkah kita memilah-milah daging anak dan mengatakan bahwa bagian daging ini dari ibunya dan bagian daging itu dari ayahnya? Jawabannya sudah tentu, tidak.
Konsep kesatuan ini diulang oleh Paulus di Efesus 5:28, "Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri." Mengapakah mengasihi istri identik dengan mengasihi diri sendiri? Tepat pada ayat yang sama, Paulus menjelaskan, "Demikianlah juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri." Dengan kata lain suami dan istri telah menjadi suatu kesatuan yang sempurna sehingga keduanya telah larut dan melebur menjadi satu. Itu sebabnya Firman Allah menegaskan bahwa suami yang mengasihi istrinya sebenarnya mengasihi dirinya sendiri.
Pertanyaan sekarang adalah, apakah mungkin kesatuan itu dipisahkan kembali dan dileburkan dengan perempuan lainnya? Kalau ada yang menjawab, mungkin, itu sama dengan mengatakan bahwa kita dapat memilah-milah daging seorang anak dan membedakan mana yang dari ayahnya dan mana yang dari ibunya. Saya kira jawabannya jelas, tidak mungkin! Itu sebabnya konsep pernikahan yang Tuhan tetapkan pada awalnya adalah antara satu pria dengan satu wanita. Tidak ada penjelasan atau keterangan tentang pernikahan berikutnya karena memang Tuhan tidak pernah mendesain atau merancang pernikahan selanjutnya. Beristrikan lebih dari satu berlawanan dengan konsep satu daging!
Selain di Kejadian 2, kita hanya dapat menemukan pembahasan spesifik mengenai pernikahan di Perjanjian Baru yakni di Efesus 5:22-33, Kolose 3:18-19, 1 Petrus 3:1-7. Pada semua ayat ini, Tuhan selalu menyebutkan satu suami dan satu istri (bentuk tunggal); tidak ada satu ayat pun yang menyebut "istri-istri" (bentuk jamak). Jadi, pada setiap kesempatan, tatkala Alkitab membicarakan tentang pernikahan, Alkitab selalu konsisten yaitu pernikahan adalah antara satu pria dengan satu wanita.
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, mengapa para tokoh alkitab itu mempunyai lebih dari satu istri? Jawabannya jelas, yakni pada mulanya Tuhan tidak menghendaki manusia beristrikan lebih dari satu, namun karena kekerasan hati manusia dan nafsu dagingnya, Tuhan membiarkan manusia beristrikan lebih dari satu!
Adakalanya manusia melanggar kehendak Tuhan, adakalanya manusia menyimpang dari kehendak Tuhan. Beristrikan lebih dari satu masuk dalam kategori yang kedua, yakni manusia menyimpang dari kehendak Tuhan. Baik melanggar maupun menyimpang, keduanya memiliki satu kesamaan yaitu keduanya tidak berada dalam kehendak Tuhan.
Lepas dari kehendak Tuhan yang tersurat di Alkitab, sebenarnya Tuhan sudah memberikan pelita-Nya di dalam hati nurani kita sekalian. Itu sebabnya sejarah manusia memperlihatkan bahwa perjalanan pernikahan bukannya menuju ke arah beristrikan majemuk melainkan beristrikan tunggal. Pada masa lampau hal asasi wanita begitu tertindas sehingga wanita tidak berdaya menyuarakan pilihan yaitu tidak ingin dimadu. Sekarang tatkala hal asasi wanita mulai mendapat pengakuan, wanita dengan suara bulat berseru, "Kami tidak ingin dimadu!"
Dengan kata lain, pada mulanya wanita tidak pernah dan tidak akan mengizinkan suaminya beristrikan lebih dari satu. Namun dalam kondisi tertindas, wanita terpaksa menerima keputusan suaminya yang ingin beristrikan lebih dari satu. Bukankah kita yang pria juga akan merasa sangat tidak bahagia jika anak perempuan kita dijadikan istri kedua atau menantu laki-laki kita ternyata mempunyai istri lain?
Firman Tuhan memerintahkan, "Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..." (Efesus 5:25) Bagaimanakah Tuhan mengasihi jemaat-Nya? Pertama, Tuhan Yesus tidak menduakan jemaat-Nya dan kedua, Ia menyerahkan diri-Nya bagi jemaat. Implikasinya, suami tidak boleh menduakan istrinya dan suami harus menyerahkan dirinya kepada istrinya, bukan menyerahkan dirinya kepada wanita atau istri yang lain. Suami yang mengasihi istrinya tidak akan menikahi perempuan lain karena perbatan itu sangat melukai hati istrinya. Sebagai pria, hati kita pun sama hancurnya bila istri kita berganti- ganti pelukan: malam ini dengan kita, besok dengan pria yang lain. Firman Tuhan berkata, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12)
Sebagai penutup, saya ingin mengutip dari Matius 6:24, "Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain." Pernikahan merupakan suatu pengabdian; kita tidak bisa, tidak mungkin, dan tidak boleh mengabdi kepada dua tuan.
Oleh: Dr. Paul Gunadi