Masa-masa Kritis dalam Pernikahan

Oleh: Pdt.Yakub B.Susabda, Ph.D

Pernah dalam sebuah ceramah, penulis menekankan dengan sangat bahwa tujuan pernikahan Kristen bukanlah untuk meraih "kebahagiaan" tetapi untuk mengalami pertumbuhan / growth". Alasan utamanya ialah, bahwa kebahagiaan adalah anugerah umum yang Allah sediakan untuk siapa saja, dan tidak khusus untuk anak-anak Tuhan. Sebaliknya, pertumbuhan/growth" adalah salah satu bagian integral dari anugerah khusus yang disediakan Allah untuk anak-anakNya. Melalui "growth" mereka makin siap untuk menjadi partner-partner Allah yang akan mengerjakan tugas tanggung jawab panggilan Allah di muka bumi (Ef. 2:10).

Hidup manusia mempunyai beberapa fase, dan setiap fase adalah fase pertumbuhan / developmental. Kegagalan untuk tumbuh dalam fase yang sebelumnya akan sangat mempengaruhi fase yang kemudian. Itulah sebabnya masa-masa kritis / critical years selalu hadir dalam setiap fase. Meskipun keberhasilan untuk tumbuh dalam fase yang sebelumnya akan memberikan kesempatan tumbuh yang lebih besar dalam fase yang kemudian (Mat 25:29), tetapi tetap fase yang kemudian akan menghadapi "critical yearsnya" sendiri. Tuhan berkata bahwa, "setiap orang yang kepadanya banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, daripadanya akan lebih banyak lagi dituntut (Luk 12:48b). Benar seperti yang dikatakan Pengkhotbah bahwa "untuk segala sesuatu ada waktunya" (Pkh 3:1-14). Ada waktu orang memasuki fase "dewasa muda/young adullthood" dari masa membujang ia kemudian membentuk keluarga, tetapi kemudian akan tiba saatnya ia menghidupi fase "setengah baya / middle adulthood" dengan tugas dan tanggung jawab kehidupan yang lain menantinya.

Sharon Parks, ahli psikologi perkembangan dari Harvard mengatakan bahwa masa pernikahan dewasa muda adalah masa yang sangat kritis ("The Critical Years," San Fransisco: Harper & row, Pub, 1986). Di tengah jiwa muda yang masih menggelora, pasangan-pasangan muda membangun kehidupan pernikahan mereka dengan 1001 macam idealisme. Seringkali tanpa disadari mereka tidak dapat menentukan prioritas mana yang harus didahulukan. Lebih lagi di tengah spirit Hedonistik jaman ini, dimana hidup diidentikkan dengan kenikmatan dan pengumpulan kekayaan. Banyak pasangan muda mencoba menemukan "makna" dengan melayani "ketidakpuasan atas apa yang ada," Parks mengatakan bagi mereka selalu ada kegelisahan bahwa "there has to be more to life / harus ada sesuatu yang lebih dari pada apa yang sekarang ada." Suatu spirit "meaning making" yang bisa menjadi sangat berbahaya, karena biasanya menjebak pasangan-pasangan muda dalam hidup pernikahan tanpa pembangunan hubungan antar mereka sendiri.

Memang natur manusia yang sehat, adalah makhluk yang selalu membuat "makna". Segala sesuatu yang manusia lakukan dan usahakan sebetulnya merupakan manifestasi dari upayanya menemukan dan menciptakan "makna" dalam kehidupannya. Meskipun demikian, ada upaya yang semata- mata lahir dari dorongan instinct yang tidak sehat, ada pula upaya yang betul-betul membangun kehidupannya, dan lahir dari spirit hidup yang sehat yaitu "faith / iman." Parks mengatakan bahwa, "to be human is to dwell in faith, to dwell in one's meaning--one's conviction of the ultimate character of truth, of self, of the world, etc / menjadi manusia adalah hidup dalam iman, atau hidup dalam makna hidup yang dilandaskan atas keyakinan akan adanya kebenaran yang harus diperjuangkan, baik itu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan dunia, ataupun dengan apa saja" (hal xv). Kegagalan untuk hidup dengan "faith" inilah yang menjadi penyebab utama kegagalan pernikahan bahkan kegagalan hidup itu sendiri.

Untuk memperjelas poin ini perhatikan kasus dan usulan penyelesaiannya di bawah ini.

Dalam memenuhi kebutuhan finansial dan material, A memang suami yang baik bahkan cenderung memanjakan istri dan anak-anaknya. Tetapi apa artinya kelimpahan materi, jikalau jiwa kering dan tidak bahagia. Kemana-mana B (istri A) selalu sendiri. Ke gereja, belanja ke toko, pergi berobat, menghadiri recital piano anak- anaknya, bahkan berkunjung ke rumah orang-tua di luar kota. Selalu ada alasan bagi A untuk tidak ikut serta. Dalam pernikahannya yang baru berusia 8 tahun, A sudah berhasil membuktikan kepiawaiannya dalam ekspor dan impor. Sudah berulang kali B mengutarakan ketidakpuasannya, tetapi tidak pernah ada perbaikan. Lama-kelamaan B menjadi apatis dan membiarkan sistim kehidupan pernikahan yang hambar ini menjadi bagian dari kehidupan yang memang harus diterima, dan ia menyibukkan diri dalam kegiatan gerejani. Pada suatu hari, B dikejutkan dengan berita bahwa A mempunyai WIL (wanita idaman lain) yang sudah digaulinya selama lebih dari 3 tahun. B sangat marah, kecewa dan putus asa. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Menghadapi kasus ini, anda sebagai teman dapat berperan sebagai teman dapat berperan sebagai konselor awam. Untuk itu anda terlebih dahulu perlu mencerna dan memahami hidup seperti yang telah diuraikan di atas. Apa dan bagaimana "makna" dibangun baik oleh A maupun B, dan mengapa demikian? Bagi A, "makna" ditemukan melalui pemenuhan instinct hedonisme, sehingga seluruh hidupnya diisi dengan upaya untuk memenuhi apa saja yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan. Makna dari hubungan antara suami-istri, orang-tua-anak tidak pernah benar-benar dihayati. Bahkan ia cenderung "merasa terganggu" dengan kedekatan-kedekatan pribadi dengan mereka. Lain halnya dengan B. Ia mulai kehidupan pernikahannya dengan "faith" yaitu kehidupan akan adanya makna dan kebenaran hidup yang harus diperjuangkan. Sayang sekali, daya tahan dan daya juangnya terbatas. Ia menyerah dengan sistem yang diciptakan oleh suaminya, sehingga upayanya untuk membangun hubungan suami-istri yang baik juga kandas bahkan ia kemudian memakai "mekanisme pertahanan" dengan lari pada kesibukan-kesibukan gerejani. Kalau ia kemudian kecewa, marah, dan putus- asa, kemungkinan besar itu juga ditujukan kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri.


Setelah anda memahami berbagai kemungkinan di atas, anda dapat:

Pertama, mulai dengan listening dan empathy / mendengar dan merasakan apa yang sedang dirasakan olehnya. Kemungkinan besar, B tidak membutuhkan nasehat apalagi teguran. Dengarkan saja keluhan- keluhannya dan rasakan apa yang ia rasakan. Kemudian refleksikan perasaan tersebut dalam kata-kata yang penuh pengertian, seperti contoh percakapan di bawah ini:

B : betul-betul tak habis pikir ... kok tega-teganya ia melakukan itu ... selama ini rasanya baik-baik saja bahkan setiap kali pulang dari luar negeri selalu saja ia membelikan oleh-oleh yang mahal-mahal ... rupanya untuk mengelabui kami ya ... aduh, enggak tahan rasanya pengen mati saja ... tapi setiap kali ingat anak-anak ... (menangis) kasihan sekali mereka ...
Anda : menyakitkan sekali ... perasaan dikhianati membuat luka batin ... dan kebingungan ... lalu apa yang harus dilakukan ... seperti semua jalan jadi buntu ... mau ini salah, mau itu juga salah
B :Ya itu lho yang saya rasakan ...

Percakapan yang mampu menciptakan perasaan "dimengerti dan diterima" akan membuka banyak kesempatan bagi B sebagai klien untuk mengeluarkan semua pergumulan batinnya, termasuk yang selama ini ia pendam, rasakan dan pikirkan.

Kedua, anda perlu dapat menseleksi dan mensintesiskan antara isi keluhan yang satu dengan isi keluhan yang lain untuk dapat memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidup B. Misalnya, jikalau ia mengeluh dan setiap kali keluhannya dikaitkan dengan nasib anak- anaknya. Maka kemungkinan besar keluhan tersebut adalah indikasi dari orientasi pikirannya: yang "dalam menghadapi masalah ini, ia lebih menggelisahkan nasib, masa depan dan sekuritas keluarganya" lebih daripada "hubungan antara dirinya dengan suaminya." Sehingga kemungkinan besar, ia sudah terbiasa beradaptasi dengan hidup tanpa ikatan batin dan hubungan pribadi dengan suaminya. Perasaan terlukanya lebih banyak lahir dari harga diri yang direndahkan, dan perasaan kebingungannya lebih banyak berorientasi pada sekuritas jamunan hidup yang tidak menentu di masa yang akan datang.

Sebagai konselor, anda dapat memberikan tantangan B untuk memikirkan dan menginginkan "hal yang terbaik" yaitu pulihnya dan tumbuhnya hubungan antara dia dengan suaminya, karena memang iman harus berorientasi pad kebenaran Allah. Anda juga harus dapat membedakan antar "fenomena" yang dikeluhkannya (apa yang dirasakan dan dipikirkannya sekarang) dengan "noumena" atau hakekat inti permasalahannya yaitu hubungannya dengan suami. Oleh sebab itu anda harus dapat menolong B untuk berani masuk dalam komitmen kembali kepada kebenaran firman, walaupun untuk itu ia merasa dirugikan (Maz 15:4b), yaitu menginginkan hal yang terbaik dalam hubungan dengan suaminya. Anda sendiri harus mengenal dan percaya akan prinsip kebenaran firman Allah yang terdapat misalnya dalam Matius 18:20 sebagai salah satu prinsip cara kerja Allah melalui persekutuan kasih (koinonia) termasuk antara suami-istri. Jikalau hubungan suami- istri membentuk koinonia, maka kehadiran Allah menjadi nyata dan melalui itulah segala persoalan dalam kehidupan keluarga tersebut dapat diatasi. Termasuk tentunya dosa-dosa yang fatal sekalipun.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Cinta pada Pandangan Setengah Baya

Oleh: Paul Gunadi, Ph.D

Akhirnya saya lulus juga! Kemarin istri saya baru saja memberikan sebuah kartu kepada saya yang melukiskan keadaan pernikahan kami belakangan ini. Dalam satu kata, ia merasa, "bahagia." Saya juga!

Beberapa hari yang lalu kami sempat membincangkan sebenarnya apakah itu yang membuat kami tetap mencintai satu sama lain setelah 16 tahun menikah. Kesimpulan kami adalah, ketekunan, yakni sikap pantang menyerah dan niat terus mencoba memperbaiki relasi kami.

Seperti pasangan nikah lainnya, kami pun pernah merasa kecewa terhadap satu sama lain, pernah merasa sedih akibat perbuatan masing- masing, pernah bahkan cukup sering marah karena ulah masing-masing, dan pernah menyesal mengapa memilih satu sama lain. Namun, kami tidak berhenti pada perasaan-perasaan itu saja; kami berjalan terus dan berusaha menyelesaikan yang belum terselesaikan dan mengoraksi perbuatan yang menimbulkan bencana.

Bak petani yang telah bersusah payah menabur, sekarang kami mulai menuai hasilnya. Pengertian kami terhadap satu sama lain makin bertambah sehingga kami lebih dapat "memadamkan api sebelum kebakaran." Kami pun makin menikmati kebersamaan kami sehingga keterpisahan sungguh menyengsarakan baik itu keterpisahan geografis akibat jarak maupun keterpisahan emosional karena pertengkaran.

Suatu keadaan sebaik apa pun tidak akan terus bertahan dengan sendirinya. Demikian pula dengan pernikahan; kita harus terus menjaganya dengan hati-hati. Pernikahan ibarat gelas; kita dapat menggunakannya untuk minum sebanyak mungkin namun dengan satu dengan satu syarat: Kita harus tetap memegangnya. Kenikmatan yang kita peroleh dari pernikahan harus disertai usaha untuk menjaganya. Perasaan harus dijaga, kebutuhan harus dipenuhi, pengertian harus diberikan, mulut harus dikekang, komunikasi harus dilancarkan. Semua ini adalah "tangan" yang memegang gelas; tanpa itu, "gelas pernikahan" kita niscaya jatuh dan pecah.

Jika Saudara bertanya, apa itu yang membedakan cinta pada masa berpacaran dan cinta pada masa sekarang pada usia kami yang separuh baya saya akan menjawabnya seperti ini. Pada masa berpacaran, saya mencintai istri saya karena dia menarik; sekarang, saya "tergila- gila" padanya; sekarang, jika dia tidak di samping saya, rasanya saya seperti orang "gila."

Waktu tidak memusnahkan cinta; waktu mentransformasi cinta. Berangkat dari rasa tertarik, berakhir dengan rasa sayang karena dia begitu berharga. Dimulai dengan tergila-gila, diakhiri dengan "seperti orang gila kalau harus hidup tanpanya." Yang menentukan adalah perjalanan di tengahnya di antara titik berangkat dan titik akhir. Kalau kita berhenti berusaha dan menyerah, uang akhirnya sudah pasti bukanlah rasa sayang karena dia berharga. Apabila kita tidak menjaga dan memegang gelas pernikahan kita, maka akhir perjalanan kita bukanlah keutuhan dan kenikmatan.

Amsal 16:31 mengingatkan kita, "Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran." Salah satu terjemahan bahasa Inggris lebih menekankan maknanya, yakni"...if it is found in the way of righteousness." Dengan kata lain, masa tua titik akhir atau ujung perjalanan pernikahan kita hanyalah akan bertransformasi menjadi mahkota yang indah bila kita menjalaninya dalam kebenaran. Teruslah berjalan, teruslah perbaiki, makin hari makin benar di bawah terang Kebenaran. Pada akhirnya, kita akan memetik buahnya yang manis dan mulia.

PERTANYAAN ANDA
Oleh: Esther Susabda, Ph.D

Saya seorang wanita (38 th) dengan 3 anak, usia (10-14 th), karier yang sudah mapan, kedudukan lumayan dan seringkali tugas keluar kota bahkan keluar negeri. Walaupun sibuk namun kalau tidak keluar kota, saya selalu berusaha pulang sebelum jam 7 malam. Suami saya sejak tahun lalu, seringkali terlambat pulang, alasannya macam-macam. Kemudian suatu hari (bulan lalu) saya dikejutkan oleh telpon dari seorang wanita muda yang mengatakan bahwa ia simpanan suami saya. Shock, marah, benci, dendam yang saya rasakan; apalagi ketika saya tanyakan kepada suami dan itu benar (walaupun mulanya ia tidak mengaku), ia berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sebulan ini saya sulit tidur, dada rasanya sesak, kadang-kadang panas berkobar-kobar, kemudian mendadak berdebar-debar tidak bisa dikontrol dan mau mati saja: Ingin rasanya marah kepada Tuhan dan siapa saja termasuk diri sendiri. Apa yang harus saya lakukan Bu?

Betapa pedihnya pengalaman ibu. Tentu perasaan yang sedang berkecamuk sekarang ini adalah antara marah besar, benci karena merasa dikhianati, ditolak bahkan sampai menyempitkan dada anda sehingga mau pecah rasanya. Keadaan stress yang terus menerus tanpa ada jalan keluar yang konkret sebenarnya melelahkan tubuh anda dan melemahkan sistem pertahanan tubuh. Sehingga akibatnya anda sulit tidur, berdebar-debar, pusing dan tidak mempunyai gairah hidup.

Sebenarnya malapetaka perkawinan Anda tidak datang mendadak melainkan secara perlahan-lahan. Anda sudah mulai curiga setahun lalu pada saat suami sering pulang terlambat, tapi anda sibuk dan lengah sehingga sampai berita itu datang anda merasa terkejut dan shock berat. Memang peristiwa buruk itu sudah terjadi dan tidak mungkin untuk dihapuskan begitu saja, tapi paling tidak ada hal-hal yang anda masih bisa benahi untuk masa depan.

  1. di saat-saat seperti ini sebenarnya apa yang dapat anda pelajari? apakah anda merasa ada andil dalam hal ini? mungkin karena kesibukan kalian berdua kebutuhan primer masing-masing tidak terpenuhi, sehingga anda melampiaskan dalam pekerjaan dan suami mencari wanita lain yang bisa memuaskannya.
  2. apakah pernikahan anda selama ini memang bisa dinikmati? kalau belum, mungkin anda perlu mencari konselor untuk menolong anda mencari sebab mengapa pertumbuhan tidak terjadi atau terhambat? sehingga perbaikan dalam pernikahan nada juga bisa dimulai.
  3. suami anda yang sedang terjerumus dalam dosa membutuhkan uluran tangan dan pengertian anda untuk bisa kembali menjadi kepala keluarga. Mungkin anda memang belum siap untuk memaafkan secara keseluruhan, tapi cobalah minta pertolongan Roh Kudus dan kebijaksanaan surgawi untuk menuntun langkah-langkah kehidupan anda dari hari ke hari. Jangan sampai api kebencian justru menghanguskan diri anda sendiri, sehingga anda jadi pemberang dan suami justru tidak betah di rumah.

Kiranya Tuhan memberkati.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Jan - Mar. 2001)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI