Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Apakah Pernikahan Kami Masih Bisa Diharapkan ?
Edisi C3I: e-Konsel 043 - Menghindari Perceraian
Pertanyaan yang nadanya pesimistis ini sering saya dengar melalui mulut orang-orang yang berkonsultasi dengan saya. Mereka mengemukakan pergumulan yang mendalam dan seringkali sangat menyakitkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Mengapa demikian? Tentu ada berbagai penyebabnya. Tetapi salah satu sebab yang sering dikemukakan adalah perasaan dan keyakinan (yang tentunya didukung oleh fakta) bahwa suaminya/istrinya tidak mencintainya lagi. Mereka mengatakan, "Kalau sudah tidak ada cinta, untuk apa diteruskan? Kalau sudah tidak ada cinta, apakah pernikahan masih bisa diharapkan?"
Memang pernikahan tanpa cinta sulit untuk dapat diperbaiki. Tetapi apakah sebenarnya cinta itu? Apakah perasaan menyenangkan pada saat- saat permulaan pernikahan pasti merupakan manifestasi dari cinta? Apakah perubahan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan selalu merupakan bukti 'sudah hilangnya cinta?' Apakah kata-kata yang mengkonfirmasikan tidak adanya cinta adalah bukti bahwa cinta benar- benar sudah tidak ada lagi?
Pernah seorang ibu bercerita bahwa pada saat bertengkar, suaminya sering mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan, seperti, "Aku sudah muak dan bosan dengan kamu. Kamu perempuan yang tidak berharga sama sekali. Kalau saya belum meninggalkan kamu, itu semata-mata oleh karena anak-anak. Aku menyesal mengapa dulu tidak menikah dengan si A (bekas pacarnya)."
Kata-kata ini memang benar-benar merupakan konfirmasi dari tidak adanya cinta. Dan benar-benar dalam hatinya ada kekecewaan dan rasa bosan terhadap istrinya. Bahkan tidak dapat disangkal ia masih menyimpan rasa suka terhadap bekas pacarnya. Tetapi apakah ini semua merupakan bukti yang otentik bahwa cintanya terhadap istrinya sudah tidak ada lagi?
Masalah ini merupakan masalah yang rumit. Karena hanya mereka yang memahami psikologi dengan cukup baik yang dapat memahami pula apa yang sesungguhnya terjadi dalam jiwa si suami.
Kapan kata-kata yang buruk itu diucapkan? Dalam kondisi apakah si suami sampai mengucapkan kata-kata yang sedemikian? Apakah ia betul- betul mengucapkannya dengan penuh kesadaran? Apakah memang hal-hal yang diucapkannya itulah yang dikehendakinya?
Ternyata seringkali tidak demikian, dengan jujur si istri mengatakan bahwa di luar pertengkaran, si suami adalah seorang suami yang baik. Ia sabar, penuh perhatian, lembut, dan setelah bertengkar, ia betul- betul menyesal dan meminta maaf. Sebagai orang Kristen, ia sangat membenci perbuatan dan kata-kata yang ia ucapkan pada saat itu.
Cinta dalam hubungan suami istri benar-benar mengandung banyak misteri. Antara kebutuhan, realitas, perasaan, persepsi, penafsiran, dan komunikasi terdapat berbagai macam manifestasi kebenaran (truth) yang harus dikenali dan dipatuhi, antara lain:
- Kalaupun apa yang dikatakan si suami pada saat bertengkar betul-
betul dari dalam hatinya, tak berarti si suami sudah tidak
mencintai istrinya lagi.
Apa yang ada di dalam hati manusia betul-betul merupakan suatu misteri tersendiri. Banyak orang menyimpan berbagai memori (kenangan) yang busuk dan tidak sepantasnya di dalam hati mereka tanpa mereka dapat membuangnya begitu saja. Kenangan yang tersimpan dalam alam bawah sadar dan setengah sadar (unconscious dan preconscious) itu seringkali begitu saja memanifestasikan diri di luar kendali orang yang bersangkutan. Dan itu terjadi terutama pada saat-saat kritis (misalnya marah) atau pada saat orang tersebut mengalami kekosongan jiwa (misalnya melamun).
Dalam kasus di atas, si suami mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya pada saat marah. Apakah yang dikatakannya itu benar- benar dari dalam hatinya? Tentu saja ya. Apakah ia masih memiliki rasa 'tertarik' pada bekas pacarnya? Tentu saja ya. Apakah ia pernah muak dengan istrinya? Tentu saja ya. Itu semua realitas yang ada dan tersimpan di dalam lubuk hatinya. Dan tidak seorang pun, termasuk dirinya sendiri yang dapat membuang itu begitu saja.
Jadi, yang dikatakan si suami pada saat marah itu 'betul-betul realitas' yang ada di dalam hatinya. Tetapi kehadiran realitas itu di dalam hatinya tak berarti ia tidak mencintai istrinya. Kebenaran yang objektif mesti dikenali. Kita perlu bertanya, "Apakah dan bagaimanakah 'sikap hati' yang sesungguhnya dari si suami? Apakah kehadiran memori bahkan perasaan yang tidak pantas itu disukai dan dinikmatinya? Atau sebagai anak Tuhan, ia membencinya dan selama bertahun-tahun sudah menggumuli untuk membuangnya meskipun ia belum berhasil?"
Di sinilah letak 'truth' (kebenaran) di belakang fenomena tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia adalah suami yang baik walaupun ia masih mempunyai kenangan dan perasaan yang tidak sepantasnya. Bahkan jikalau pada saat marah ia 'slip of tongue' dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati istrinya.
Bukankah rasul Paulus yang begitu agung juga bergumul dengan fenomena yang serupa? Ia mengeluh, "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. ... tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku ... (Roma 7:15,23).
- Bahkan jikalau si suami sampai jatuh ke dalam pencobaan, tetap
tidak dapat dikatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak dapat
diharapkan lagi.
Kadang-kadang kita menjumpai realitas yang lebih menyakitkan lagi. Bukan hanya pada saat bertengkar si suami mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati, tetapi terbukti ia jatuh, bahkan mungkin ia jatuh berkali-kali dalam pencobaan.
Dalam percakapan konseling tadi, si istri akhirnya menceritakan hal yang jauh lebih menyakitkan lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan hubungan suaminya dengan bekas pacarnya, yang masih berkelanjutan sampai sekarang. "Ia masih sering menelepon suami saya, minta tolong ini dan itu. Misalnya urusan perpanjangan SIM baru-baru ini. Ia 'kan punya suami. Mengapa minta suami saya yang mengurusi? Saya tidak tahu apa saja yang mereka berdua lakukan."
Untuk cerita ini, si suami mengaku memang semuanya itu benar, dan bahkan ia mengatakan, "Saya memang bukan suami yang baik, tapi saya sendiri tidak tahu mengapa saya selalu tidak dapat menolak permintaannya. Bahkan terus-terang saya akui, kadang-kadang saya sendiri yang mau. Saya benci sekali dengan kelemahan saya ini." Apakah pernikahan mereka masih dapat diharapkan? Jawabannya, sekali lagi, ya.
Dalam kasus-kasus seperti ini, kita sebenarnya dapat membedakan antara suami yang sengaja (mau menghancurkan rumah tangganya sendiri) dengan suami yang tidak sengaja. Untuk yang pertama, Paulus bahkan mengatakan, "Kalau mereka mau bercerai, silakan." (1Korintus 7:15). Karena bagi orang yang 'melawan kebenaran', segala sesuatu yang baik sulit untuk diharapkan. Kalau mereka mempunyai masalah dalam pernikahan, masalah terbesar hampir mustahil untuk dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi lain halnya dengan kasus ketidaksengajaan dan ketidakberdayaan pribadi.
Banyak orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan kondisi keluarga yang kurang 'kondusif' untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Akibatnya setelah dewasa, mereka mengalami banyak kesulitan dalam membina hubungan dan kerja sama dengan sesamanya. Dan mereka menghadapi persoalan-persoalan yang seharusnya 'tidak perlu' dihadapi. Kadang-kadang, seperti si suami tadi, bentuknya adalah 'ketidakberdayaan' untuk menolak pencobaan. Meskipun hati nuraninya sadar dan mengatakan 'tidak', tetapi dengan kepribadiannya yang lemah, ia toh melakukan hal yang kemudian ia sesali.
Memang setiap individu harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Tetapi perlu juga dipahami bahwa hal memikul tanggung jawab bukanlah penyelesaian pada dirinya sendiri. Ia harus bertobat, mendisiplinkan diri, menciptakan sistem kehidupan baru yang tidak memberi peluang untuk pencobaan, bahkan bertekad untuk memulai suatu kehidupan doa dan puasa, plus kerelaan untuk menerima terapi dari orang yang tepat.
Banyak individu yang mempunyai kelemahan seperti si suami tadi. Mereka bukan hanya sering kali melukai hati pasangannya dengan kata-kata yang tidak sepatutnya, mereka bahkan menunjukkan praktek kehidupan yang banyak diwarnai oleh kejatuhan dan kegagalan dalam membuktikan cinta dan kesetiaannya.
Apakah pernikahan dengan individu seperti ini merupakan pernikahan yang sudah tidak dapat diharapkan lagi? Saya yakin, sebagai orang percaya, tidak seharusnya kita mengatakan demikian. Karena "... dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1Korintus 15:58)