Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Menolong Korban Perkosaan

Edisi C3I: e-Konsel 135 - Memulihkan Trauma Akibat Kekerasan

Korban perkosaan dikelompokkan menjadi tiga, tergantung respons korban terhadap perkosaan itu. Kebanyakan korban menunjukkan gejala trauma pada perkosaan. Gejala ini diawali dengan stres akut yang muncul segera setelah perkosaan itu terjadi. Mungkin ada ketakutan, kemarahan, kecemasan, "shock", menyalahkan diri sendiri, dan ketidakpercayaan, yang sering kali diekspresikan dengan berteriak, menangis tersedu-sedu, ketegangan/kegugupan, rasa muak, atau kegelisahan, tetapi kadang-kadang disembunyikan dalam ketenangan yang tampak dari luar. Dalam tahap ini, korban mungkin dipenuhi dengan perasaan diancam keselamatannya dan merasa bersalah karena tidak berusaha lebih keras. Beberapa wanita bahkan mempertanyakan kebenaran mitos yang mengatakan bahwa wanita diam-diam bisa menarik pemerkosa.

Dalam kasus seperti ini konseli mungkin akan peka terhadap seseorang yang mau mendengarkan, menerima, dan percaya kepadanya, khususnya jika dia telah mengalami ketidakpercayaan dan penolakan yang tidak terlihat dari keluarga, teman, polisi atau petugas medis. Konselor bisa memberi dorongan kepada konseli supaya mengekspresikan perasaannya, menolong korban mencari perawatan dan pertolongan medis yang tepat dan resmi/legal. Konselor juga dapat memberikan dukungan semangat ketika korban menghadapi kritikan, menolong korban dan teman-temannya mengenali mitos mengenai perkosaan, mendorong korban untuk membicarakan ketakutan akan keamanan masa depannya, dan meyakinkan korban bahwa ia akan terus memberikan dukungan khususnya ketika korban menghadapi masa-masa sulit di minggu-minggu berikutnya.

Dua atau tiga minggu setelah perkosaan, korban mulai mengalami mimpi buruk, ketakutan yang tidak masuk akal, dan kegelisahan. Sering kali ada keputusan untuk pindah tempat tinggal, mengganti nomor telepon, berada di dalam ruangan pada malam hari, atau lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman. Dalam tahap ini korban sedang berada dalam proses mengatur kembali hidupnya setelah mengalami peristiwa yang, bagi beberapa orang, sangat mengerikan. Korban yang seperti ini membutuhkan dukungan, kebebasan untuk mengekspresikan perasaannya, penerimaan, suatu kesempatan untuk berbicara dengan seseorang yang menganggapnya normal, dan bimbingan ketika ia membuat keputusan. Beberapa korban akan ingin membicarakan "Mengapa saya?" yang perlu diyakinkan lagi pada pemeliharaan Tuhan, kasih dan perhatian Tuhan yang terus diberikan kepadanya. Sering kali konselor akan terbantu jika konselor mengambil inisiatif untuk lebih dahulu menolong korban, daripada menunggu korban mencari konseling yang lebih tradisional. Jika memungkinkan, konselor juga akan terbantu jika memberikan konseling kepada keluarga atau pasangan korban. Orang-orang ini akan sangat membantu dalam memberikan semangat kepada korban, tetapi seperti yang telah kita lihat, sanak saudara sering kali memiliki perasaan mereka sendiri yang perlu diungkapkan, perilaku yang perlu diubah, dan konsep yang salah yang perlu diluruskan.

Respons umum yang kedua terhadap perkosaan adalah "reaksi menutup diri" (compound reaction). Korban yang sebelumnya bermasalah dalam hal fisik, psikis, maupun sosial kadang-kadang membentuk gejala yang lebih parah, misalnya depresi, perilaku psikotik atau keinginan bunuh diri, kelainan psikosomatik, menggunakan obat-obatan, minum yang berlebihan, atau perilaku seksual yang ditunjukkan kepada orang lain. Beberapa korban memerlukan penyerahan diri untuk ditolong melalui konseling yang lebih dalam lagi.

Respons ketiga terhadap perkosaan adalah "reaksi diam". Korban, termasuk beberapa di antaranya yang diperkosa pada waktu masih anak-anak atau remaja, tidak menceritakan perkosaan ini kepada siapa pun, tidak pernah membicarakan perasaan atau reaksinya dan mengalami beban psikologis yang berat. Dalam kehidupannya yang akan datang, korban ini bisa saja mengalami kecemasan, ketakutan pada pria, menghindari perilaku seksual, ketakutan yang tanpa alasan ketika sendirian atau bepergian sendiri, mimpi buruk dan kehilangan harga diri. Jika korban ini mengalami pelecehan seksual lagi, sering kali dia menghabiskan lebih banyak waktu konseling untuk membicarakan emosi yang dikendalikan tentang perkosaan yang pertama daripada keadaan mereka saat ini.

Penelitian terhadap korban perkosaan menunjukkan bahwa wanita biasanya dapat mengatur kembali hidupnya dan melindungi diri mereka sendiri dari peristiwa yang mengerikan. Hal ini bisa terjadi bila korban mendapatkan perawatan medis, pertolongan psikologis, dan tuntunan praktis yang mereka perlukan setelah perkosaan.

Penempatan wanita sebagai korban perkosaan atau kejahatan lainnya adalah penyimpangan rencana Tuhan yang menimbulkan kesengsaraan. Namun, tidak ada bukti yang menguatkan mitos bahwa pemerkosa pada umumnya adalah para pria yang sangat ingin menundukkan wanita. Beberapa pemerkosa adalah pria yang pada waktu itu berada dalam situasi di mana perkosaan memungkinkan untuk terjadi sehingga tindakan mereka adalah keputusan yang diambil pada saat itu juga. Sering kali pemerkosa itu adalah orang yang masih muda, sudah menikah, dan bekerja yang kehidupan keluarganya kacau, yang tidak berhasil menjalin hubungan dengan wanita, dan yang menyangkali bahwa mereka adalah orang-orang yang berbahaya. Di setiap kasus, pemerkosa membutuhkan dukungan konseling yang lebih mendalam. Mereka perlu mengenal pengampunan dari Allah, mengalami perubahan hidup yang dikerjakan oleh Allah, dan ikut serta dalam konseling bagi mereka yang berada dalam masalah-masalah yang mendorong mereka melakukan perkosaan. (t/Ratri)

Sumber
Halaman: 
303 -- 304
Judul Artikel: 
Christian Counseling: A Comprehensive Guide
Penerbit: 
Word Publishing, Dallas, 1988

Komentar