Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Ma, Apakah Papa Layak Bertemu Tuhan Yesus?
Seperti kata pepatah, "Cinta itu BUTA" dan itulah yang aku alami. Karena cinta aku diusir dari rumah; orang tuaku tidak mengakuiku lagi sebagai anaknya! Itu semua karena aku "murtad"! Aku menjual imanku hanya karena seorang laki-laki yang saat ini menjadi suamiku!
Saat Bang Ramadan melamarku, dia berjanji bahwa aku mengikuti keyakinannya hanya pada saat Ijab Kabul, setelah itu aku bisa kembali menjadi orang Kristen. Aku percaya pada ucapannya, ya... cinta membuatku buta! Tapi apa yang terjadi, janji hanya tinggal janji, setelah kami menikah dengan keras dia melarangku untuk pergi ke gereja. Jangankan pergi ke gereja mendengar lagu rohani atau membaca Alkitab pun tidak diperbolehkan, belum lagi ibu mertuaku sering kali membandingku dengan menantu-menantunya yang lain. Aku dikatakan kafir karena aku beragama Kristen dan kondisi ini tidak hanya memengaruhi diriku tapi aku tahu Bang Ramadan juga tertekan dengan gesekan-gesekan dari keluarganya.
Sekali waktu aku kedapatan membaca Alkitab, tanpa berkata apa-apa dia mengambil Alkitab yang ada di tanganku dan membakarnya di depan mataku! Bahkan dia mengancam akan menceraikanku jika melihatku membaca Alkitab atau mendengar lagu rohani.
Dalam kondisi seperti ini aku butuh teman untuk mendengar keluh kesahku, tapi aku tidak punya siapa-siapa. Apa kata mama, papa dan adik-adikku kalau mereka tahu betapa tersiksanya aku.
Sering kali aku menangis jika mengingat kebodohan yang aku lakukan, saat berpacaran, Bang Ramadan begitu baik, pengertian dan sabar. Tak jarang dia mengantarkku ke gereja untuk mengikuti kegiatan di gereja, tidak hanya itu terkadang dia ikut masuk dan duduk di kursi paling belakang, karena itulah aku percaya saat dia melamarku dan berjanji setelah menikah kami berjalan sesuai keyakinan kami masing- masing.
Satu tahun setelah kami menikah, kami dititipi Tuhan seorang putri, namanya Siti Aminah. Sebenarnya aku tidak setuju nama yang di berikan untuk putriku, tapi kembali aku tak mampu merubah keputusan Bang Ramadan, apalagi nama itu pemberian ibu mertuaku.
Karir Bang Ramadan semakin hari semakin meningkat, selama 3 tahun pernikahan kami sudah berapa kali dia dipromosikan dan dikirim ke luar negeri. Rencananya, dalam waktu dekat perusahaan akan mengirimnya kembali ke Australia selama 2 minggu. Aku percaya ini bagian dari rencana Tuhan dalam hidupku, karena di saat suamiku selama dua minggu tidak di rumah, Tuhan menegurku untuk berbalik kepada-Nya setelah tiga tahun hidup dalam kebimbangan.
Walau sikap suamiku sering melukai hatiku, tapi baru ditinggal dua hari aku merasa kehilangan. Untuk menghilangkan rasa sepi aku dan Siti jalan ke Plaza, dia sangat senang melihat permainan yang ada di TimeZone.
Ketika di mall, kakiku berhenti tepat di sebuah toko munggil, toko itu dulu sering aku kunjungi bersama Mama, tapi itu sudah lama berlalu! Aku ingin sekali masuk ke toko itu tapi ada rasa bersalah, aku merasa tidak pantas masuk ke dalam Toko itu. Saat bingung, tiba- tiba aku mendengar bisikan di hatiku, "Masuklah anak-Ku, mengapa engkau ragu?" aku sangat yakin kalau Roh Kudus lah yang berbicara bagiku!
Setelah melihat kiri dan kanan, dan aku yakin tak ada orang yang aku kenal di sekitarku, perlahan-lahan aku masuk ke toko buku dan kaset rohani tersebut, walau pramuniaga menyambutku dengan ramah, aku merasa asing di dalam toko tersebut. Sesaat mataku tertuju pada sebuah Alkitab mungil, dengan ragu-ragu aku ambil dan mulai membukanya.
Aku tidak tahu apa yang membuatku nekat siang ini, aku membeli Alkitab tersebut dan beberapa buah CD lagu rohani. Aku sadar penuh, kalau suamiku tahu apa yang aku lakukan siang ini, dia pasti akan marah atau bahkan menceraikanku seperti ancamannya beberapa tahun lalu.
Setibanya di rumah, aku memasang CD lagu rohani yang baru aku beli; ada rasa damai di hatiku, ada suka cita yang memenuhi relung hatiku, sesuatu yang sudah lama hilang dalam hidupku. Untuk pertama kalinya setelah 4 tahun menikah, aku kembali memegang Alkitab. Aku gemetar dan tak kuasa menahan tangis, aku mulai membaca Alkitab baruku dan mencoba mengingat-ngingat ayat favoritku ketika masih aktif di gereja.
Mataku terhenti di ayat ini, tak kuasa aku menahan tangis, rasanya
terlalu lama aku melukai Tuhan Yesus.
Aku tidak ingin kehilangan suamiku dan putriku, jika aku berontak suamiku tidak hanya marah tapi akan menceraikannku dan mengambil anakku satu-satunya.
Kemarin malam Bang Ramadan telephone dan mengatakan kalau dia pulang lebih awal dari yang direncanakan, ternyata dalam waktu sepuluh hari dia bisa menyelesaikan tugas yang diberikan perusahaan padanya.
Satu sisi aku ingin kembali kepada Kristus, tapi satu sisi lagi aku takut kehilangan orang-orang yang aku cintai, dan seandainya aku di usir dari rumah, kemana aku harus berlindung karena sampai saat ini papa masih belum memaafkanku.
Akhirnya suamiku pun kembali ke Indonesia. Untuk menghindari pertengkaran, semua lagu-lagu rohani dan Alkitab yang baru aku beli terpaksa aku simpan di gudang, aku tidak mau untuk kedua kalinya suamiku membakar Firman Tuhan.
Satu minggu pertama setelah suamiku kembali ke tahan air, aku masih mencoba bertahan untuk tidak mengungkapkan keinginanku menagih janjinya yang tertunda, aku bebas menjalankan keyakinanku. Yang membuat aku bingung untuk melangkah, aku melihat dia berubah, menjadi lebih perhatian dan penyabar sekembalinya dari Australia.
Tapi semakin aku mencoba melawan hasratku untuk mengutarakan keinginanku, maka semakin besar tingkat stressku; aku gelisah! Gimana ngak stress... hampir tiap malam aku mimpi bertemu dengan seseorang yang mengingatkanku untuk berbalik kepada Kristus.
Satu bulan aku bergumul, aku berdoa dan berpuasa meminta kekuatan dari Tuhan, dan aku berpegang pada Firman Tuhan yang mengatakan, "Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.". Aku yakin dan percaya suatu saat Tuhan akan menjamah suamiku dan melunakkan hatinya.
Menjelang malam, sepulang dari kantor suamiku bilang dia mau bicara hal penting dan usahakan Siti bisa cepat tidur supaya tidak menggangu. Aku jadi ketakutan sendiri, pikirku apakah suamiku tahu saat dia pergi aku mendengarkan lagu rohani dan membaca Alkitab? atau jangan-jangan dia menemukan Alkitab atau CD rohani yang aku simpan di gudang?
Aku cukup kenal sifat Bang Ramadan, aku bisa membaca dari raut wajahnya kalau dia sedang ada masalah di kantor. Aku tahu kalau dia sedang marah tapi berusaha menahan diri. Sebenarnya Bang Ramadan adalah suami yang baik, kalaupun selama ini dia melarangku ikut ibadah di gereja itu karena tekanan dari keluarganya, karena adik- adiknya semuanya menikah dengan wanita yang berkerudung, dan sebagai anak lelaki tertua dia malu istrinya beda dengan istri adik-adiknya.
"Apakah mama bahagia menikah dengan papa?", ini pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Bang Ramadan setelah kami duduk di ruang tamu. Pertanyaan ini membuat aku bingung dan gugup, mengapa suamiku tiba- tiba memberiku pertanyaan seperti ini. Aku hanya mengangguk, aku harap anggukan sudah menjawab pertanyaannya dan pembicaraan selesai. "Apakah mama tidak dendam karena papa pernah membakar Alkitab dan lagu-lagu rohani di awal kita menikah dulu?", kembali Bang Ramadan bertanya padaku.
Aku pikir inilah kesempatan untuk bicara padanya, "Pa, kalau aku mau jujur aku kecewa saat dilarang mendengar lagu rohani, apalagi saat Alkitab yang aku baca dirampas dan dibakar di depan mataku, apalagi sebelum menikah kita sepakat untuk menjalankan keyakinan masing- masing` kan? Tapi aku sangat mengasihi papa dan Siti dan mama tahu kalau papa pun sangat mengasihi mama. Keadaan yang membuat papa bersikap kasar padaku, tekanan keluarga yang membuat papa mampu melukaiku, padahal aku tahu kalau papa sangat cinta pada mama."
Lidahku kelu, saat aku melihat suamiku bersimpuh, bahkan mencium kakiku! Ups... Bang Ramadan menangis!!! Bang Ramadan minta ampun karena melukai hatiku selama tiga tahun pernikahan kami. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku menangis, masih dengan tersedu- sedu dia berkata, "Saat aku di Australia, Ridho menelphoneku, Ridho berniat untuk menceraikan istrinya karena kedapatan selingkuh dengan rekanan bisnisnya. Terus terang Papa malu pada mama, selama ini papa selalu membanding-bandingkan mama dengan istri adik-adikku yang kelihatan saleh, tunduk pada suami, rajin sholat tapi ternyata kelakuan mereka tidak sesuai dengan apa yang kelihatan selama ini, belum lagi Ibu sering membandingkan mama dengan menantu-menantu yang lainnya! Dan ternyata tidak hanya istri Ridho yang bermasalah, minggu lalu istri Fadli juga di tangkap polisi karena ketahuan memakai Narkoba bersama teman-temannya."
(Ridho adik bungsu suamiku, dan istrinya adalah menantu kebanggaan Ibu mertuaku, dia tidak hanya cantik tapi juga kaya dan selalu pembawaannya lemah lembut dan bertutur kata sopan),
Setelah agak tenang dan mulai bisa mengendalikan emosi, Bang Ramadan mengambil sesuatu dari lemari dan memberikannya padaku. Mataku terbelalak, ternyata isi dari amplop itu adalah Alkitab yang aku simpan di gudang satu bulan yang lalu.
"Papa menemukan Alkitab ini, saat mencari barang bekas di gudang kita, mama jangan takut karena mulai saat ini mama bebas mendengar lagu rohani di rumah kita, membaca Alkitab atau kalaupun mama mau pergi ke gereja dengan Siti, papa tidak akan melarang." Ini rumah mama, jadi berbuatlah sekehendak mama, papa tidak akan melarang kalau apa yang mama lakukan membuat mama bahagia."
Aku tidak mampu berkata-kata, apa yang aku alami malam ini seperti mimpi! Seperti Firman Tuhan katakan, "Tuhanlah yang berperang bagi orang yang berharap dan berbalik pada-Nya."
Aku memeluk suamiku dan kami menangis bersama dan minta maaf karena selama ini kami ijinkan orang lain mengatur kehidupan rumah tangga kami, dan tanpa kami sadari semua itu melukai hati pasangan kami.
Untuk pertama kali setelah empat tahun membina rumah tangga, aku pergi ke gereja, tidak hanya aku yang semangat tapi putriku pun kelihatan suka cita, sepertinya dia tahu kalau mamanya sangat bahagia.
Yang membuatku heran Bang Ramadan yang rencananya mengantar kami ke gereja juga berpakaian sangat rapi, tapi aku tidak banyak tanya, jangan sampai pertanyaanku membuat dia berubah pikiran.
Saat aku hendak turun dari mobil, Bang Ramadan memegang tanganku, dengan tatapan penuh harap dia berkata, "Mama, apakah papa layak bertemu Tuhan Yesus?"