Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Tanda Awas Hidup Lajang
Ringkasan tanya jawab dengan Pdt. Paul Gunadi Ph.D berikut ini mengajak kita untuk melihat kehidupan seorang lajang dan pergumulan- pergumulan yang dihadapinya. Silakan menyimak, semoga menjadi berkat.
Tanya: Ada banyak faktor yang membuat seseorang itu hidup melajang, bagaimana kita menyikapinya?
Jawab: Yang mesti kita sadari adalah bahwa bagi sebagian dari mereka, hidup lajang bukanlah pilihan. Mereka tidak dengan sadar memilih untuk hidup lajang, tetapi ada sebagian yang memang dengan penuh kesadaran memilih hidup lajang. Cukup banyak di antara mereka yang HIDUP MELAJANG KARENA KEADAAN, alias karena itulah kondisi kehidupan yang harus mereka terima. Jadi, kata kuncinya adalah MENERIMA. Meskipun ada banyak faktor penyebabnya, tapi salah satu unsur terpenting adalah YANG BERBAHAGIA ADALAH ORANG YANG BISA MENERIMANYA. Kita mesti belajar menerima porsi yang Tuhan telah tetapkan bagi kita.
Tanya: Adakah perbedaan atau pengaruh dari dua pilihan (melajang karena pilihan dan karena keadaan) tersebut?
Jawab: Sudah tentu ada. Bagi yang memilih, tentu dia sudah memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan dan konsekuensinya, tapi bagi yang tidak pernah memilih akan mengalami kejutan-kejutan dan dituntut penyesuaian yang juga lebih berat. Kalau yang tadinya berdua dan sekarang harus hidup lajang, misalnya setelah perceraian atau kehilangan pasangan hidupnya, sudah tentu harus ada penyesuaian kembali. Kalau memang orang itu tidak pernah menikah sama sekali, namun sungguh-sungguh menginginkan bisa menikah, tentu ini lebih berat lagi karena hidup lajang memang sama sekali tidak pernah terpikirkan dan tidak pernah disambut dalam benaknya. Ada sebagian orang yang akhirnya meskipun hidup lajang, tetapi hidup dalam pengandaian, "andai saja saya menikah ..." atau hidup dalam antisipasi bahwa suatu hari kelak akan bertemu dengan seseorang dan menikah sehingga semua hal dalam kehidupannya itu diatur sedemikian rupa seakan-akan dalam rangka menanti seseorang. Kita jangan sampai seperti itu: hidup lajang, namun tidak sungguh-sungguh hidup sebagai seorang lajang. Hidupi kehidupan ini seperti seorang lajang sebab itulah porsi yang Tuhan berikan kepada kita sekarang.
Tanya: Firman Tuhan itu mengatakan "Tidak baik kalau orang itu sendirian", lalu "Berdua lebih baik dari pada sendirian", bagaimana itu?
Jawab: Ayat itu sebetulnya menegaskan bahwa Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial, bukan ayat yang merujuk langsung pada pernikahan sebab Tuhan sudah tahu di kemudian hari akan ada banyak anak-anak-Nya yang terpaksa hidup lajang. Pada ayat tersebut Tuhan lebih langsung membicarakan tentang kodrat kita sebagai manusia sosial, kita membutuhkan satu sama lain. Kita tidak bisa hidup sendirian.
Jawab: Harus kita akui masyarakat pada umumnya mempunyai dua standar yang berbeda terhadap pria dan wanita lajang. Omongan masyarakat yang kadang-kadang kita dengar untuk pria dan wanita yang melajang adalah kalau laki-laki itu "cerewet, terlalu memilih-milih", kalau wanita "tidak laku". Tapi intinya adalah dua-duanya komentar yang tidak positif, seakan-akan kehidupan lajang itu sesuatu yang sangat buruk, merupakan aib dan haruslah dipermalukan atau dirasakan sebagai sesuatu yang memalukan. Ini bukan konsep Tuhan. Paulus hidup lajang, kita tidak pernah tahu apakah Paulus pernah mempunyai seorang istri atau tidak. Contoh yang lainnya, Yohanes Pembaptis. Kita tidak pernah tahu apakah dia menikah, cuma memang dia meninggal pada usia muda, namun Tuhan pakai dia luar biasa. Jadi, jangan sampai kita termakan oleh omongan orang atau oleh tuntutan budaya yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Baik hidup lajang atau pun menikah adalah hidup yang Tuhan karuniakan dan porsikan untuk kita. Terimalah dan hiduplah secara optimal, baik sebagai orang yang menikah atau sebagai orang yang lajang.
Tanya: Apakah tidak ada gejolak dalam diri seseorang yang lajang ini?
Jawab: Betul sekali. Meskipun keluarganya memberikan dukungan, tapi kadang-kadang memang tuntutan itu muncul dari dalam diri sendiri, bahwa dia memang ingin menikah. Akhirnya, jalan pintaslah yang ditempuh, menyerah, kompromi, dan menikah. Seorang psikiater di sebuah rumah sakit jiwa berkomentar, "Bagi sebagian orang, relasi yang buruk lebih baik daripada tidak ada relasi sama sekali," alias lebih baik menikah dan mempunyai pernikahan yang buruk daripada tidak menikah sama sekali. Sebagian orang berprinsip seperti itu. Justru yang kita ingin tegaskan adalah DARIPADA MENIKAH DAN AKHIRNYA MENDERITA DALAM PERNIKAHAN YANG BURUK, LEBIH BAIK TIDAK MENIKAH. Kalau kita pernah menikah, apalagi mempunyai anak dan akhirnya bercerai karena pernikahan kita buruk, status kita tidak naik malahan kita menyusahkan lebih banyak orang, dan tentunya menyusahkan anak-anak kita yang harus hidup tanpa salah satu orang tuanya. Jadi, jangan menyerah. Lebih baik hidup lajang daripada menikah dan mengalami masa-masa yang buruk.
Tanya: Mengenai relasi yang falsafahnya tidak cocok untuk kita terima, apakah ada macam-macam relasi tertentu?
Jawab: Ada empat jenis relasi. PERTAMA, dilabelkan tidak baik dan tidak mengasihi, artinya kita sadari orang ini tidak baik, tidak cocok untuk kita, karakternya/perangainya pun buruk dan kita tidak mengasihi dia. Kita tidak perlu melanjutkan relasi ini.
Tipe KEDUA, kita bertemu dengan seseorang yang tidak cocok dengan kita, perangainya pun tidak baik, tapi kita terlanjur mengasihi dia. Atau kita tahu Tuhan melarang kita bersama dengan yang tidak seiman dengan kita, tapi kita terlanjur jatuh cinta dan mengasihi dia. Ini nantinya akan menimbulkan masalah di dalam pernikahan kita karena kita tahu orang ini sebetulnya tidak cocok dengan kita.
Tipe KETIGA disebut baik dan tidak mengasihi. Kita bertemu dengan seseorang yang baik sekali, mengasihi kita dan perangainya pun baik, tapi kita tidak mengasihinya. Kadang-kadang ada orang yang kompromi dan berkata, "Ya, sudahlah, tidak apa-apa." Jangan seperti itu sebab nanti dia harus bersandiwara terus-menerus dalam pernikahan. Suatu hari kelak, pernikahan seperti ini bisa goncang.
Yang ideal adalah yang KEEMPAT dan haruslah menjadi standar kita, yaitu kita bertemu dengan orang yang baik, perangai yang baik, cocok dengan kita, kita mengasihinya dan dia mengasihi kita. Inilah dasar pernikahan yang perlu kita perhatikan.
Tanya: Apakah keuntungan dan kerugian dari hidup melajang ini?
Jawab: Yang paling jelas adalah memberikan KEMERDEKAAN. Hidup lajang menyediakan kepada kita kebebasan, tidak ada tanggung jawab kepada siapa pun. Namun, kita juga harus menyadari ada hal-hal yang cukup mengganggu atau kerugiannya. Pertama, KESEPIAN. Orang lajang perlu pintar-pintar membangun relasi dengan teman-teman sejawat, teman-teman yang bisa saling menegur, menyapa, pergi bersama, saling mencurahkan hati, dan sebagainya. Kedua, HIDUP TERLALU BEBAS. Kita yang lajang, harus berjaga-jaga sebab hidup sebagai lajang itu hampa pertanggungjawaban, rentan terhadap dosa karena tidak ada yang mengawasi. Karena itu, kita mesti dekat dan takut akan Tuhan. Manusia tidak melihat, Tuhan melihat. Meskipun tidak ada pertanggungjawaban kepada pasangan atau anak, kita bertanggungjawab kepada Tuhan.
Tanya: Bagaimana dengan masa tua orang yang melajang ini?
Jawab: Sudah tentu dia harus mulai memikirkan kalau nanti sudah tua tinggal di mana, dengan siapa, siapa yang dekat dengannya. Sebaiknya tinggal tidak terlalu berjauhan dengan kakak atau adik atau temannya sehingga kalau ada apa-apa bisa saling menolong. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, sebagian orang lajang itu haus perhatian sehingga kadang-kadang mencari-cari perhatian dengan berlebihan. Ini harus dijaga supaya jangan sampai terjadi. Orang-orang yang lajang harus berani introspeksi dan mengoreksi diri, berjaga-jagalah jangan sampai karena haus perhatian menjerumuskan kita ke dalam masalah-masalah yang lebih besar.
Tanya: Firman Tuhan untuk menyimpulkannya?
Jawab: