Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Perkembangan Konsep Kematian

Ada beberapa hal yang perlu kita camkan ketika kita berusaha mengajarkan tentang kematian kepada anak:

  1. Objek yang memiliki kehidupan berbeda dengan sesuatu yang tidak hidup.
    Anak perlu memahami bahwa dirinya adalah hidup, dan bahwa dirinya yang hidup itu berbeda dengan benda yang tidak hidup. Yang cukup sulit di sini adalah bagaimana memberi penjelasan sehingga anak memahami bahwa gerakan tidak identik dengan kehidupan. Benda yang dapat digerakkan tidak sama dengan mahluk hidup yang bergerak. Jadi, mainan dapat bergerak bukan karena mainan itu mempunyai kehidupan. Kita dapat membantu anak memahami bahwa mahluk hidup itu bernafas, perlu makan dan minum, dan jantungnya berdegub untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Kematian berarti berhentinya nafas, terhentinya kerja jantung, serta berhentinya semua aktivitas. Orang yang mati tidak dapat melakukan apapun juga.

  2. Anak perlu mengetahui bahwa setiap orang pasti mati suatu saat nanti dan bahwa kematian tidak dapat dihindari.
    Jadi mereka sendiri pun akan mati satu saat nanti. Bila anak telah dapat memahami poin ini, kita baru dapat menjelaskan bahwa mati bagi manusia bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah suatu gerbang pintu menuju kehidupan atau kebinasaan yang kekal. Sebagai tambahan, konsep mengenai kekekalan baru mulai dapat dipahami oleh anak usia remaja. Jadi orangtua tidak perlu frustasi bila anak belum memahami semuaya sekaligus secara menyeluruh.

  3. Kita tidak dapat memastikan kapan kita akan mati.
    Mungkin saja dengan mengetahui bahwa tidak ada kepastian kapan kita mati merupakan hal menakutkan. Meskipun demikian hal ini perlu anak ketahui, supaya ia lebih siap dalam menghadapi kematian orang dekatnya atau dirinya sendiri nanti. Bagian yang sulit di sini adalah mejelaskan bahwa kematian berarti perpisahan. Meskipun demikian, kita yang sudah berada dalam Kristus akan kembali bertemu suatu saat nanti di surga.

  4. Kematian bersifat permanen sebagai akhir dari hidup yang sementara di dunia ini.
    Kesulitannya adalah kematian sering merupakan hal yang sangat menyakitkan secara emosional bagi orang yang sedang menghadapinya maupun mereka yang ditinggal mati oleh kerabat dekatnya. Rasa sakit membuat kita berusaha meromantisir atau membuat khayalan- khayalan menyenangkan akan kematian itu, namun secara potensial usaha ini dapat mengaburkan fakta mengenai kematian. Kisah mengenai anak yang mengirimkan surat kepada papanya yang meninggal merupakan salah satu bentuk usaha meromantisir kematian. Jadi, orangtua perlu lebih dahulu menerima secara rela akan kematiannya sendiri suatu ketika kelak. Dengan begitu orangtua baru dapat membagikan pengetahuannya secara nyaman dan tenang kepada anaknya.

Sumber
Judul Artikel: 
Majalah Eunike edisi 07/Triwulan IV

Komentar