Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Keluarga yang Takut akan Allah
(Pengkotbah 8:12)
Pengalaman Yusuf tergolong sangat luar biasa. Ia dijual kakak-kakak kandungnya sendiri. Setelah itu Yusuf harus bekerja keras sebagai budak yang tidak dihargai orang di negeri asing yang jauh dari sanak keluarga. Kita sulit membayangkan bagaimana perasaan kesepian dan perasaan tertolak yang dialami Yusuf. Tatkala nasibnya sedikit membaik karena ia memperoleh kepercayaan tuannya, Potifar, ia harus mengalami tekanan karena godaan istri Potifar.
Alkitab mengisahkan bahwa istri Potifar membujuk Yusuf dari hari ke hari untuk tidur bersamanya, tetapi Yusuf tidak jatuh. Penolakan tegas Yusuf terhadap dosa didasarkan pada prinsip yang dinyatakannya secara indah; "Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?" (Kejadian 39:9b)
Sebenarnya banyak sekali alasan yang pantas dikemukakan Yusuf untuk tidur dengan istri Potifar. Bukankah Yusuf adalah budak dan wajib memenuhi semua keinginan tuan dan istri tuannya? Lagi pula bukan Yusuf yang memulainya. Istri Potifarlah yang merayu Yusuf dan hal itu berlangsung lama. Bila saja Yusuf bersedia melakukan apa yang diinginkan istri tuannya itu, kenaikan jenjang karir sudah menanti. Bukankah Allah (tampaknya) tidak melindungi Yusuf sehingga wajar sekali bila Yusuf meniti karir dengan caranya sendiri. Bukankah tidak akan ada seorang pun yang tahu perbuatan mereka? Tetapi Yusuf tidak melakukan dosa karena ia takut akan Allah.
Ayub adalah tokoh lain yang kesalehan dan rasa takut akan Allahnya dipuji, bukan oleh orang lain, melainkan oleh Allah sendiri di hadapan Iblis (Ayub 2:3). Ia mempunyai anak-anak yang rukun dan yang dipimpinnya untuk takut pada Allah. Dalam hidup ibadahnya, ia tidak lupa menyertakan anak-anaknya dengan mendoakan mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.
Apa ganjaran bagi orang yang takut akan Allah? Yusuf harus masuk penjara tanpa diadili dan tanpa mengetahui kapan ia dibebaskan. Ayub harus mengalami musibah beruntun dan kehilangan semua yang dimilikinya, termasuk kesehatannya. Terakhir, bahkan istrinya sendiri memberi Ayub tekanan psikologis yang dahsyat dengan mengatakan; "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" (Ayub 2:9). Di manakah kebahagiaan yang dikatakan oleh Pengkotbah sebagaimana yang dikutip pada awal tulisan ini?
Bila kita amati keseluruhan kisah Ayub dan Yusuf, kita akan tahu bahwa kebahagiaan itu tidak terletak pada kekayaan atau keberuntungan yang kita peroleh sebagai ‘balas jasa’ Allah atas ketaatan dan kesalehan kita. Ayub dan Yusuf mengalami serangkaian ketidakberuntungan justru karena kesalehan mereka. Kebahagiaan tidak identik pula dengan absennya penderitaan pada diri kita atau dalam keluarga kita. Sebaliknya, kebahagiaan kita alami karena kita hidup dalam kekudusan. Dalam kisah Ayub dan Yusuf, kita memang membaca mengenai limpahan kasih Allah bagi diri mereka berupa kekayaan dan kemuliaan setelah mereka mengalami sejumlah penderitaan. Tetapi banyak kali kekayaan dan kemuliaan yang sesungguhnya baru akan dialami orang percaya setelah kematian tubuh ini, sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan para Rasul Yesus Kristus.
Ada kesan bahwa takut akan Allah memberikan beban berat dan mengekang hidup kita. Kesan itu sesungguhnya kurang tepat, karena takut akan Allah dalam pengertian yang benar justru memberi kita suka cita dan kebebasan. Pemazmur menyatakan; "Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya." (Mazmur 19:8). Justru ketika kita melanggar titah Tuhan, kita mengalami rasa takut yang membelenggu, rasa bersalah yang sulit diatasi, dan yang menimbulkan duka cita. Sama seperti Adam dan Hawa yang merasa takut dan malu, sehingga harus menyembunyikan diri dari hadirat Allah.
Takut akan Allah berarti menaati hukum dan perintahNya. Tentu ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar. Namun penderitaan karena taat akan perintah Tuhan hanya bersifat sementara dan sangat tidak berarti bila dibandingkan dengan sukacita kekal yang akan kita nikmati. Yesus berfirman; "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Matius 11:28-30). Kuk dan beban yang berasal dari Tuhan itu enak dan ringan, apalagi dibandingkan dengan penderitaan bila kita harus menanggung beban dosa.
Keluarga yang takut akan Allah adalah keluarga yang mengarahkan seluruh anggotanya untuk menaati perintah Tuhan. Keluarga demikian memiliki persekutuan dengan Allah tiap hari, pemahaman yang benar tentang apa yang disukai dan tidak disukai Allah, dan kehidupan keluarga yang kudus. Keluarga tidak terutama memikirkan bagaimana memperoleh uang lebih banyak, melainkan bagaimana dapat memberi lebih banyak. Prestasi dan ketenaran tidak lagi menjadi topik utama pembicaraan, sebaliknya keluarga yang takut akan Allah lebih banyak memperhatikan dan mengasah sikap, perilaku, dan karakter yang baik.
Orangtua yang takut akan Allah tidak menggunakan nama Allah untuk menakuti anak-anaknya, melainkan memimpin anaknya untuk memahami Allah melalui wahyu Allah dalam Alkitab. Anak perlu mengenal apa yang disukai atau tidak disukai Tuhan. Dengan demikian, anak akan mengetahui bahwa ketaatan kita kepada Allah bukan didasarkan atas rasa takut karena Allah senang menghukum kita bila kita melanggar perintahNya. Sebaliknya, Allah memberikan perintah atas dasar kasih dan agar kita memperoleh damai sejahtera. Ketika kita berdosa, Allah bahkan telah menyediakan jalan pendamaian melalui karya Yesus di kayu salib. Karena itulah, yang terutama dalam hukum Taurat bukanlah menaati huruf-huruf yang tertera pada hukum itu. Hukum yang terutama adalah kasih kepada Allah dan hukum yang kedua yang sama dengan itu adalah kasih kepada sesama manusia (Matius 22:37-40). Demikian pula orangtua perlu memperkenalkan hukum Allah dalam peraturan keluarga bukan dengan tujuan utama agar anak dapat dihukum, melainkan supaya suatu ketika nanti ia dapat mengenal Allah yang adil itu, yang sekaligus juga maha pengasih.
Takut akan Allah menjadikan kita manusia yang bermoral tinggi. Keluarga yang takut akan Allah tidak saja terhindar dari keruntuhan, namun dapat menjadi berkat bagi banyak orang.
 
 
Heman Elia, M.Psi.