Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Alkitab Sebagai Dasar Konseling

Edisi C3I: e-Konsel 292 - Alkitab dan Bimbingan Konseling (BK)

Diringkas oleh: Sri Setyawati

Ada dua pemikiran yang keliru tentang pengajaran konseling yang umum. Pertama, pemikiran bahwa konseling itu seluruhnya pengajaran -- apabila seseorang memunyai suatu masalah, kita cukup mencari ayat-ayat Alkitab yang cocok dengan masalah tersebut, kemudian mengkhotbahi orang tersebut mengenai hal itu.

Kedua, konseling hanya mencakup sedikit pengajaran atau tidak sama sekali. Mereka yang berpegang pada pemikiran ini berpendapat bahwa setiap orang mengetahui semua jawaban bagi masalah mereka, dan bahwa konselor seharusnya cukup mengajukan berbagai pertanyaan, mendengarkan, dan memberikan dukungan kepada mereka. Dengan kata lain, mereka beranggapan bahwa apabila kita membangun hubungan yang kokoh dengan konseli, maka para konseli akan menemukan sendiri jalan keluar bagi permasalahan mereka, dan mengatasi masalah tanpa menyuruh kita memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan.

Akan tetapi, pendekatan konseling seperti ini tidak alkitabiah, sebab Kitab Suci menjelaskan bahwa pengajaran memegang peranan penting dalam pertumbuhan rohani setiap orang, dan bahwa pengajaran itu tidak dapat diabaikan dalam proses penyelesaian masalah. Maka, apabila kita bermaksud menolong sesama untuk berubah, kita harus terampil dalam pengajaran konseling alkitabiah, dan menjadikan pengajaran itu sebagai bagian penting dari konseling kita.

Mengingat pengajaran adalah bagian penting dari konseling alkitabiah, kita perlu mengetahui pengajaran macam apa yang diperlukan. Agar dapat menyenangkan Tuhan dan bermanfaat bagi para konseli, pengajaran kita harus memenuhi tiga persyaratan pokok, yaitu harus didasari oleh Alkitab, harus akurat secara alkitabiah, dan harus pantas menurut Alkitab. [e-Konsel edisi 292, secara khusus hanya akan membahas syarat yang pertama, yaitu pengajaran harus didasari oleh Alkitab, Red.]

Maksud dari pengajaran harus didasari oleh Alkitab adalah semua pengajaran yang kita tanamkan untuk menolong konseli dalam mencapai perubahan harus dimulai dari Alkitab. Pengajaran harus didasarkan pada Alkitab saja, dan jangan sekali-sekali hanya mengandalkan pemikiran atau pengamatan manusia. Mengapa? Sebab Alkitab itu praktis, komprehensif, patut dipercaya, dan benar-benar merupakan sumber kebenaran yang memadai, sementara pengetahuan manusia tidak mampu membahas semua masalah yang kita hadapi dalam hidup secara efektif.

a. Alkitab itu praktis. Alkitab bukan sekadar risalah teologis yang menguraikan secara rinci berbagai doktrin yang esoteris -- melainkan merupakan pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mazmur 119:105). Alkitab diberikan untuk mengajarkan cara menjalani hidup sehari-hari yang menyenangkan bagi Tuhan; selain itu, juga diberikan untuk menolong kita mengatasi berbagai masalah. "Alkitab adalah peta Tuhan untuk memimpin manusia, untuk menjaga manusia agar tidak tenggelam ke dasar laut, serta menunjukkan kepada manusia di mana tempat berlabuh, dan bagaimana mencapainya tanpa menabrak batu-batu karang dan berbagai penghalang." (Henry Ward Beecher)

b. Alkitab itu komprehensif. Kitab Suci seharusnya merupakan dasar dan materi pengajaran kita dalam konseling, karena bersangkutan dengan segala isu kehidupan yang perlu dipahami. Pengetahuan yang dibicarakan oleh Petrus (2 Petrus 1:3) terbatas pada realita-realita yang digambarkan dalam Kitab Suci; jadi ia bermaksud mengatakan bahwa segala yang perlu diketahui agar dapat berhasil dalam hidup terdapat dalam lembaran-lembaran firman Allah.

Kitab Suci memuat semua informasi yang perlu untuk "hidup dan kesalehan", dan pendalaman isinya akan mendatangkan pahala berupa pemahaman-pemahaman ke dalam pengalaman manusia yang paling rumit sekalipun. Namun demikian, yang sering terjadi dalam konseling, yaitu konselor berasumsi bahwa Alkitab tidak membicarakan masalah khusus konseli; oleh sebab itu, konselor terlalu dini meninggalkan firman Allah, dan berusaha mendapatkan masukan dari pemikiran-pemikiran manusia. Apabila konselor semacam ini mau memulai dengan berasumsi bahwa isi 2 Petrus 1:3 itu benar, tentu ia akan memandang masalah-masalah yang rumit sebagai suatu tantangan, agar ia memperdalam pemahamannya akan teologi dan bertumbuh dalam pengetahuannya tentang bagaimana hal tersebut cocok dengan situasi-situasi tertentu.

c. Alkitab itu patut dipercaya. Alasan ketiga dari pengajaran kita seharusnya hanya didasarkan pada Alkitab sebagai satu-satunya buku yang berhubungan dengan masalah-masalah praktis dalam hidup, dan dalam cara yang benar-benar dapat diandalkan dan patut dipercaya. Apabila kita mengajarkan para konseli menggunakan Alkitab, kita dapat mengetahui tanpa mempertanyakannya; apabila diterapkan, hal ini akan mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik. Tidak ada sumber informasi lain atau pemikiran lain yang dapat mengilhami keyakinan semacam itu.

Renungkan ayat-ayat ini:

"Hukum-hukum Tuhan itu benar, adil semuanya." (Mazmur 19:10)

"Untuk selama-lamanya, ya Tuhan, firman-Mu tetap teguh di surga." (Mazmur 119:89)

"Itulah sebabnya aku hidup jujur sesuai dengan segala titah-Mu." (Mazmur 119:128)

"Dasar firman-Mu adalah kebenaran dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya." (Mazmur 119:160)

Baik ayat-ayat ini maupun ayat-ayat serupa mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang dikatakan oleh Alkitab itu benar. Namun, ayat-ayat tersebut juga menghasilkan suatu epistemologi alkitabiah yang mencurigai semua pernyataan mengenai sifat manusia atau kebenaran rohani yang tidak diajarkan oleh Kitab Suci. Menurut epistemologi tersebut, sebagai manusia, kita tidak dapat menemukan kebenaran mutlak di luar penyataan khusus Tuhan. Suatu pengamatan atau pendapat yang dikembangkan tanpa mengacu pada firman Tuhan mungkin benar, tetapi kita tidak dapat memastikan bahwa pengamatan atau pendapat tersebut benar, sebab kita sendiri adalah makhluk yang terbatas dan jatuh dalam dosa. Mari kita pertimbangkan konsep ini lebih jauh.

1. Keterbatasan Manusia

Salah satu alasan mengapa kita tidak dapat mengetahui secara mutlak segala yang berada di luar penyataan khusus Tuhan adalah karena kita terbatas. Pengetahuan kita hanya sebatas yang dapat kita amati, dan sebatas itu pula yang dapat kita pahami. Di samping itu, karena kita tidak mengetahui segala sesuatu, maka kita tidak dapat mengetahui dengan pasti segala sesuatu mengenai isu-isu terpenting dalam hidup beserta maknanya, sebab kita mungkin akan selalu menemukan hal-hal baru yang membuktikan bahwa apa yang kita ketahui itu keliru.

Pemikiran ini digambarkan oleh sebuah kisah tentang empat orang buta yang sudah kita kenal. Mereka berjalan bersama-sama dan menubruk seekor gajah. Keempat-empatnya menubruk benda yang sama, namun keterbatasan pengamatan masing-masing membuat setiap orang buta berpendapat bahwa benda tersebut adalah benda yang berbeda. Kita juga dapat menarik kesimpulan yang keliru apabila kita hanya mengandalkan pengamatan serta pemikiran sendiri tanpa mengacu pada firman Tuhan; sebab seperti keempat orang buta tadi, kita hanya dapat memahami sebagian saja dari keseluruhannya. Sebaliknya, Tuhan adalah tidak terbatas dalam pengetahuan serta pemahaman-Nya (Yesaya 40:14; Yesaya 49:9-10).

Tuhan mengetahui akhir dari permulaan. Ia mengetahui masa lampau, masa sekarang, dan masa akan datang. Ia mengerti setiap bagian dari kita dan setiap bagian dari dunia kita secara sempurna. Dan Ia sudah senang mengungkapkan kebenaran-Nya kepada kita dalam firman-Nya. Itulah sebabnya, mengapa kita harus mengajari para konseli dari gudang kebenaran yang memadai itu, dan tidak pernah meninggalkannya demi gagasan-gagasan manusia yang amat sangat terbatas itu.

2. Jatuhnya Manusia

Manusia adalah makhluk-makhluk yang berdosa. Menurut Alkitab, pikiran kita sangat dipengaruhi oleh dosa, sehingga meskipun kita telah mengamati sesuatu secara cermat, kita cenderung salah menafsirkannya. Pikiran kita yang penuh dosa cenderung menyelewengkan kebenaran, dan satu-satunya cara supaya dapat berpikir dengan benar, yaitu membiarkan Roh Kudus memperbarui pikiran kita (Roma 1:18-32; 12:2; Efesus 4:23). Hal ini hanya dapat dicapai dengan belajar memandang kehidupan melalui lensa Kitab Suci.

Keterbatasan dan keberdosaan kita membuat kita tidak mampu memastikan kebenaran, kecuali bila Tuhan telah mengungkapkan-Nya kepada kita. Kita tidak memiliki standar yang dapat digunakan untuk menilai benar atau tidaknya sesuatu selain daripada firman Allah. Jadi, meski kita bisa yakin bahwa apa pun yang kita ambil dari firman Tuhan dan kita bagi para konseli itu benar, namun kita sebaiknya memunyai skeptisisme yang sehat bagi segala teori atau wawasan yang tidak dimulai dari Kitab Suci. Apabila tidak diajarkan oleh firman Tuhan, mungkin teori atau wawasan tersebut keliru.

d. Alkitab itu memadai. Pengajaran kita dalam konseling seharusnya hanya didasarkan pada Alkitab, karena "segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik." (2 Timotius 3:16-17) Kedua ayat tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa kita memiliki segala yang kita perlukan dalam firman Tuhan, yang menjadikan kita memadai atau lengkap. Kita tidak perlu menjadi lebih daripada memadai; selain itu, kita tidak dapat menambahkan apa pun pada soal kelengkapan. Seperti dituliskan oleh J. C. Ryle, "Orang yang memiliki Alkitab dan Roh Kudus di hatinya, memunyai segala sesuatu yang mutlak diperlukan untuk membuatnya bijaksana secara rohani... Ia memunyai mata air kebenaran yang terbuka di hadapannya, dan apa lagi yang dapat diinginkannya? Ya! Walau ia terkurung seorang diri dalam penjara, atau dibuang ke sebuah padang pasir, ... namun apabila ia memunyai Alkitab, berarti ia memunyai sebuah pedoman yang sempurna, dan tidak menginginkan yang lain."

Alkitab itu praktis, komprehensif, patut dipercaya, serta mencukupi. Jadikanlah keinginan untuk mempelajarinya dengan penuh semangat, merenungkannya dalam-dalam, serta menyampaikannya secara akurat sebagai tujuan Anda. Selain itu, jangan sekali-sekali meremehkannya dengan berasumsi bahwa Alkitab tidak membahas masalah tertentu; jangan sekali-sekali meninggalkannya demi "kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air" (Yeremia 2:13). Apabila kita setia mengikuti firman Tuhan, maka Ia juga akan setia kepada kita dengan menguatkan pelayanan kita, sehingga menghasilkan buah bagi kehidupan para konseli kita.

Diringkas dari:

Judul buku : Pengantar Konseling Alkitabiah: Pedoman Dasar Prinsip dan Praktik Konseling
Judul bab : Proses Konseling Alkitabiah
Judul asli artikel : Memberikan Pengajaran Melalui Konseling Alkitabiah
Penulis : Wayne A. Mack
Penerbit : Gandum Mas, Malang 2002
Halaman : 305 -- 311
Catatan : Anda dapat membaca artikel ini seutuhnya di

situs C3I

Komentar