Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Cinta Pada Pandangan Setengah Baya
Edisi C3I: e-Konsel 143 - Puber II
Akhirnya saya lulus juga! Kemarin istri saya baru saja memberikan sebuah kartu kepada saya yang melukiskan keadaan pernikahan kami belakangan ini. Dalam satu kata, ia merasa "bahagia". Saya juga!
Beberapa hari yang lalu, kami sempat membincangkan apakah sebenarnya yang membuat kami tetap mencintai satu sama lain setelah enam belas tahun menikah. Kesimpulan kami adalah ketekunan, yakni sikap pantang menyerah dan niat terus mencoba memperbaiki relasi kami.
Seperti pasangan nikah lainnya, kami pun pernah merasa kecewa satu sama lain, pernah merasa sedih akibat perbuatan masing-masing, bahkan pernah cukup sering marah karena ulah masing-masing, dan pernah menyesal mengapa memilih satu sama lain. Namun, kami tidak berhenti pada perasaan-perasaan itu saja; kami berjalan terus, berusaha menyelesaikan yang belum terselesaikan, dan mengoreksi perbuatan yang menimbulkan bencana.
Bak petani yang telah bersusah payah menabur, sekarang kami mulai menuai hasilnya. Pengertian kami terhadap satu sama lain makin bertambah sehingga kami lebih dapat "memadamkan api sebelum kebakaran". Kami pun makin menikmati kebersamaan kami sehingga keterpisahan sungguh menyengsarakan, baik itu keterpisahan geografis akibat jarak maupun keterpisahan emosional karena pertengkaran.
Suatu keadaan sebaik apa pun tidak akan terus bertahan dengan sendirinya. Demikian pula dengan pernikahan; kita harus terus menjaganya dengan hati-hati. Pernikahan ibarat gelas; kita dapat menggunakannya untuk minum sebanyak mungkin, namun dengan satu syarat: kita harus tetap memegangnya. Kenikmatan yang kita peroleh dari pernikahan harus disertai usaha untuk menjaganya. Perasaan harus dijaga, kebutuhan harus dipenuhi, pengertian harus diberikan, mulut harus dikekang, komunikasi harus dilancarkan. Semua ini adalah "tangan" yang memegang gelas; tanpa itu, "gelas pernikahan" kita niscaya jatuh dan pecah.
Jika Saudara bertanya, "Apa itu yang membedakan cinta pada masa berpacaran dan cinta pada masa sekarang pada usia kami yang separuh baya?" Saya akan menjawabnya seperti ini: pada masa berpacaran, saya mencintai istri saya karena dia menarik; sekarang saya "tergila-gila" padanya; sekarang jika dia tidak di samping saya, rasanya saya seperti orang "gila."
Waktu tidak memusnahkan cinta; waktu mentransformasi cinta. Berangkat dari rasa tertarik, berakhir dengan rasa sayang karena dia begitu berharga. Dimulai dengan tergila-gila, diakhiri dengan "seperti orang gila kalau harus hidup tanpanya". Yang menentukan adalah perjalanan di tengahnya, di antara titik berangkat dan titik akhir. Kalau kita berhenti berusaha dan menyerah, ujung akhirnya sudah pasti bukanlah rasa sayang karena dia berharga. Apabila kita tidak menjaga dan memegang gelas pernikahan kita, akhir perjalanan kita bukanlah keutuhan dan kenikmatan.
Amsal 16:31 mengingatkan kita, "Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran." Salah satu terjemahan bahasa Inggris lebih menekankan maknanya, yakni "... if it is found in the way of righteousness". Dengan kata lain, masa tua titik akhir atau ujung perjalanan pernikahan kita hanyalah akan bertransformasi menjadi mahkota yang indah bila kita menjalaninya dalam kebenaran. Teruslah berjalan, teruslah perbaiki, makin hari makin benar di bawah terang Kebenaran. Pada akhirnya, kita akan memetik buahnya yang manis dan mulia.
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Judul buletin | : | Parakaleo (Edisi Jan. -- Mar. 2001, Vol. VIII, No. 1) |
Penulis | : | Pdt. Paul Gunadi, Ph.D. |
Penerbit | : | Departemen Konseling STTRII |
Halaman | : | 3 -- 4 |
Artikel ini dapat pula Anda dapatkan di situs C3I dengan URL:
==> http://c3i.sabda.org/artikel/isi/?id=89&mulai=150