Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kunci Masalah Kode Etik dalam Konseling Kristen

Edisi C3I: e-Konsel 184 - Menjaga Kerahasiaan dalam Konseling

Tulisan ini dapat diterapkan di setiap aspek kehidupan kita, termasuk panggilan kita untuk menjadi konselor Kristen. Kita diingatkan untuk berhati-hati dalam berjalan (bijaksana dan saksama) di hadapan Tuhan dan manusia. Kita diatur oleh hukum-hukum dan kode-kode etik. Dalam dunia kerja, tuntunan kebijakan perilaku ini tersedia dalam bentuk kode-kode etik. Bila hukum mengatur standar minimum yang dapat diterima/ditoleransi oleh masyarakat; kode-kode etik memberikan aturan-aturan yang harus dipatuhi. Konselor Kristen diharapkan taat pada kode etik profesi mereka. Masalah-masalah etik muncul di berbagai area konseling; namun, ada dua area yang paling banyak memunculkan komplain, yaitu masalah kerahasiaan dan hubungan rangkap.

KERAHASIAAN

Kerahasiaan adalah suatu konsep etik, sederhananya hal ini berarti konselor tidak akan membeberkan apa yang disampaikan konselinya selama proses konseling. Kerahasiaan adalah hal yang penting karena hal ini menumbuhkan kepercayaan -- yang merupakan fondasi hubungan terapi. Konselor Kristen menjaga kerahasiaan klien sepenuhnya sesuai dengan hukum, kode etik profesional, dan aturan gereja atau organisasi. Organisasi konseling di Amerika, ACA (American Counseling Association) menyatakan bahwa klien "memiliki hak untuk mengharapkan kerahasiaan dan mendapat penjelasan mengenai batasan-batasannya ...."

Hak Istimewa dan Privasi

Dua hak istimewa, komunikasi dan privasi, merupakan dua konsep yang saling berkaitan. Hak istimewa merupakan suatu konsep sah yang melindungi klien dari konselor yang dipaksa menyingkap sebuah rahasia. Hak istimewa berbeda dengan kerahasiaan dalam penyingkapan rahasia yang biasanya dilakukan secara paksa. "Dengan kata lain, kerahasiaan mengikat konselor untuk tidak menyebarkan informasi tentang klien meskipun konselor merasa harus melakukannya, dan hak istimewa melindungi informasi klien dari tekanan pengungkapan rahasia yang tidak benar oleh otoritas resmi." Melindungi komunikasi rahasia harus menjadi respons pertama konselor saat dihadapkan pada permintaan akan komunikasi dan catatan klien oleh hukum atau pengadilan. Privasi berarti hak pokok seseorang untuk memutuskan waktu, tempat, cara, dan banyaknya informasi yang ingin diungkapkan. Konselor menghormati hak privasi klien dan menghindari pengungkapan informasi yang tidak resmi dan tidak beralasan.

Hak atas Privasi

Informasi yang diberikan oleh klien tidak boleh disebarluaskan, baik secara oral maupun tulisan, tanpa persetujuan formal. Perahasiaan ini termasuk fakta bahwa klien sedang terlibat dalam konseling. Larangan-larangan ini menimbulkan batasan yang spesifik terhadap pengungkapan informasi seperti dalam ilustrasi berikut ini.

Seorang konselor sedang menangani seorang wanita yang mengalami masalah dalam pernikahannya; suami wanita ini juga terlibat dalam konseling dengan konselor lain. Suami ini memutuskan untuk bercerai dan ingin istrinya memberikan izin kepadanya untuk mendapatkan catatan konselingnya supaya bisa memperlancar usaha-usaha dalam menyelesaikan masalah pernikahan mereka. Si istri ini memiliki hak untuk: 1) menolak, 2) sangat setuju, atau 3) memperjelas apa, kapan, dan kepada siapa informasi itu bisa diberikan. Informasi itu bisa saja hanya berupa fakta bahwa dia sedang terlibat dalam konseling atau informasi-informasi yang ia pilih untuk diungkapkan.

Klien (si istri) memiliki "hak" untuk setuju memberikan informasi. Namun, "pengadilan" (bukan pengacaranya) bisa menghendaki pengungkapan informasi. Dalam hal ini, konselor bisa meminta pengadilan untuk memberikan "hak istimewa komunikasi" yang mungkin akan diberikan bila wilayah tersebut memiliki undang-undang yang mengatur masalah tersebut. Penting bagi konselor untuk mengetahui undang-undang atas hak istimewa komunikasi di wilayahnya. Ketika pengadilan meminta informasi rahasia tanpa izin klien, maka konselor meminta pengadilan bahwa pengungkapan itu tidak dimungkinkan terjadi karena berpotensi membahayakan konseli atau hubungan konseling.

Pengecualian dan Batasan Terhadap Kerahasiaan

Berkenaan dengan kerahasiaan, meski klien memiliki hak untuk tidak mengungkapkan informasi rahasia dan privasinya akan dihormati, ada beberapa batasan terhadap jaminan kerahasiaan sepenuhnya.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, bila pengadilan meminta konselor untuk memberikan informasi, konselor harus patuh atau mendapatkan hukuman, bahkan pengurungan. Juga, bila klien menyerahkan hak privasi (atau aspek privasi apapun), konselor harus setuju (catatan: menandatangani formulir jaminan yang memberikan persetujuan untuk memberikan informasi secara spesifik). Ingatlah bahwa hak yang diberikan klien kepada konselor tidak berarti memberikan kuasa penuh kepada konselor untuk memberikan informasi apa saja. Beberapa pengecualian dilakukan bila, dalam pandangan konselor, pemberian informasi ini akan membahayakan klien. Ini merupakan pengecualian khusus dan jarang dilakukan. Konselor memiliki tugas untuk membantu klien menentukan informasi apa yang akan diberikan. Bila keadaan mengharuskan pengungkapan informasi rahasia, hanya informasi yang penting saja yang bisa diberikan. Sedapat mungkin, klien diberitahu terlebih dahulu sebelum informasi yang dirahasiakan tersebut disampaikan kepada orang lain. Menurut kode etik ACA, konselor Kristen hanya memberikan informasi yang klien sudah izinkan secara tertulis bila informasi itu diminta oleh perintah resmi atau etikal. Konselor harus membatasi pemberian informasi hanya untuk orang-orang tertentu yang memiliki hubungan profesional langsung dalam masalah yang bersangkutan.

Pemberian Informasi Rahasia Klien

Dalam kerangka resmi tentang kerahasiaan, hak istimewa, dan hak pribadi, konselor memiliki hak untuk melanggar kerahasiaan bila ada penyalahgunaan perkara yang dilakukan klien terhadap konselor. Agar dapat cukup membela diri, konselor memiliki hak atas semua materi yang berkaitan.

Laporan Perintah (Mandatory Reporting)

Laporan perintah merupakan konsep resmi pengungkapan informasi (pelanggaran kerahasiaan) ketika pelanggaran tertentu diduga oleh konselor atau diketahui oleh konselor. Pelanggaran itu termasuk pelecehan dan pengabaian terhadap anak, pelecehan atau pengabaian terhadap orang tua, dan pelecehan terhadap orang dewasa "yang lemah" (sakit mental, cacat fisik, dan/atau cacat mental). "Badan pembuat undang-undang telah memutuskan bahwa melindungi mereka yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri dari pelecehan jauh lebih penting dari kewajiban menjaga rahasia." Sekali lagi, adalah kewajiban konselor untuk mengetahui undang-undang di wilayahnya dan prosedur pelaporan. Persyaratan umum bahwa konselor harus menjaga kerahasiaan informasi tidak berlaku bila pengungkapan informasi diperlukan untuk mencegah bahaya yang sudah jelas dan akan menimpa klien atau orang lain atau ketika hukum resmi menuntut agar informasi rahasia itu diungkapkan. Konselor kristen menerima batasan-batasan kerahasiaan ketika hidup seseorang dalam bahaya atau dilecehkan. Kita akan mengambil tindakan yang benar, termasuk memberikan informasi yang dirahasiakan tersebut seperlunya, untuk melindungi hidup klien yang mengancam untuk bunuh diri, membunuh, dan/atau melecehkan anak-anak, orang tua, atau orang yang tergantung pada orang lain. Contoh: Selama sesi konseling, seorang anak berusia 13 tahun mengungkapkan keterlibatannya secara seksual dengan seorang tetangganya, pria berusia 21 tahun. Di bawah aturan resmi, kasus ini harus segera dilaporkan kepada pejabat yang berwenang, supaya anak ini mendapat perlindungan dan/atau penyelenggaraan hukum.

Klien yang membahayakan dirinya sendiri atau orang lain mendapatkan batasan kerahasiaan lain. Salah satu kasus di pengadilan California (Tarasoff vs. Pengawas University of California, 1974) menimbulkan berbagai pernyataan yang menyerukan "tugas untuk memeringatkan" para profesional kesehatan mental. Dalam kasus Tarasoff, seorang psikolog di pusat kesehatan universitas menemui seorang mahasiswa. Mahasiswa itu mengatakan kepada psikolog tersebut bahwa dia ingin membunuh seorang wanita muda yang bernama Tatiana Tarasoff, seorang mahasiswi yang telah menolak cintanya. Anak muda itu benar-benar melakukannya; dia membunuh Tatiana beberapa waktu kemudian. Orang tua gadis itu menyatakan bahwa seharusnya ada kewajiban untuk memberitahu ancaman tersebut kepada korban atau orang tua korban. Tindakan untuk melindungi orang ketiga dari kekerasan klien mungkin memerlukan pengungkapan rahasia kepada orang yang menjadi sasaran, keluarganya atau teman-teman dekatnya, dan terhadap penyelenggara hukum.

Batasan-Batasan Lain dalam Hal Kerahasiaan

Meskipun banyak hal mengenai kerahasiaan adalah sah secara hukum, ada beberapa batasan yang perlu diklarifikasi. Pada sebagian besar pusat konseling, asisten memegang informasi rahasia. Informasi ini bisa dalam berbagai bentuk, misalnya memproses formulir asuransi; menjadwalkan atau membatalkan janji; menerima pesan lewat telepon, dan/atau memproses informasi yang akan diberikan. Dalam situasi yang berujung pada opname di rumah sakit, kerahasiaan secara khusus bisa dilanggar. Selain itu, kerahasiaan bisa dikompromikan ketika konselor berada di bawah pengawasan atau berkonsultasi secara profesional dengan konselor lain berkaitan dengan proses perawatan atau masalah-masalah etik. Konselor selalu bertanggung jawab melindungi identitas klien. Layaknya konselor, setiap profesional yang terlibat dalam suatu konseling juga terikat dengan aturan yang sama tentang kerahasiaan.

Kerahasiaan dan Konselor Kristen

Bagaimana aturan kerahasiaan dalam dunia konseling ini memengaruhi orang Kristen? Pertama dan terutama, konselor Kristen seharusnya menaati kode-kode etik profesi mereka. Meskipun ini sudah sangat jelas bagi para konselor yang memiliki izin profesional, sering kali para konselor awam (konselor yang melayani di gereja) masih mengalami kebingungan. Apa kewajiban konselor awam dalam memenuhi standar etik konseling? Ini tampaknya menjadi pertanyaan yang tidak masuk akal, tetapi bagi beberapa orang, ada suatu anggapan bahwa ini merupakan batasan-batasan yang dibuat oleh manusia dan mereka tidak harus mematuhi peraturan "manusia", hanya peraturan dari Tuhanlah yang harus dipatuhi. Dalam beberapa area kehidupan pribadi seseorang, hal ini mungkin menjadi masalah, tetapi dalam aturan konselor, hukum dan kode etik memberikan tuntunan untuk melindungi konseli. Dalam komunitas Kristen, kita berbagi dalaam suasana kekeluargaan dan tampaknya cenderung untuk mengungkapkan aspek pribadi dalam hidup kita. Salah satu contoh dari keterbukaan ini dapat dilihat dalam pokok-pokok doa yang dibagikan dengan cukup rinci sehingga kita dapat "berdoa dengan cerdas". Konselor Kristen harus berjaga-jaga terhadap godaan untuk menceritakan segala aspek "kisah" klien.

Contoh: Seorang konselor Kristen sedang makan siang dengan seorang temannya dan meminta temannya supaya mendoakan salah satu kliennya yang sedang mengalami perceraian yang menyakitkan. Konselor ini berhati-hati untuk tidak menyebutkan identitas "istri" yang telah dia ceritakan. Seorang wanita yang duduk di sebelah mereka mendengarkan "cerita" itu, mengetahui setiap rinci cerita, dan tahu bahwa orang yang sedang mereka bicarakan adalah saudara perempuannya. Dia memberitahukan peristiwa ini kepada saudaranya (klien) yang hancur karena dikhianati kepercayaannya. Belakangan ini muncul perbedaan dalam bidang hukum terhadap konselor pastoral, konselor awam, dan gereja. Penyebab utama hal ini adalah karena semakin banyak orang melakukan tindakan hukum untuk menyalurkan keluhan-keluhan mereka (hal ini juga benar terjadi pada orang-orang Kristen). Gereja tidak lagi bebas dari peraturan hukum. Dalam hukum peradilan, konselor diharapkan memberikan perawatan standar yang dapat diterima oleh dewan juri yang dianggotai teman-teman seprofesinya. Konselor awam harus dibekali dengan kode-kode etik yang cukup dan bekerja dalam panduan profesional mereka.

Hubungan Rangkap

Konselor memiliki tugas untuk memulihkan klien. Sedapat mungkin, konselor harus menghindari masuk dalam hubungan rangkap dengan klien. Hubungan rangkap pada dasarnya merupakan keterlibatan dalam lebih dari satu peran dengan klien yang sama. Sebagian besar kode etik profesional memeringatkan bahaya yang mungkin muncul dalam hubungan rangkap ini. Konselor sadar atas posisi mereka yang berpengaruh terhadap kliennya, dan mereka menghindari untuk memanfaatkan (mengeksploitasi) kepercayaan dan ketergantungan klien. Konselor harus selalu mengusahakan agar tidak terjadi hubungan rangkap dengan klien yang bisa merusak penilaian profesional atau meningkatkan risiko yang membahayakan klien.

Hubungan rangkap merusak batasan-batasan profesional atau pelayanan yang semestinya. Hubungan rangkap merupakan hubungan dua peran atau lebih dari satu sehingga dapat membahayakan hubungan konseling. Misalnya konseling yang disertai dengan hubungan pribadi, persaudaraan, bisnis, keuangan, atau seksual dan romantis. Konselor Kristen tidak boleh memberikan konseling kepada anggota gereja yang memiliki hubungan pribadi, bisnis, atau pelayanan bersama. Hubungan rangkap dengan anggota gereja lain yang menjadi klien kita cenderung menyusahkan dan sebaiknya dihindari.

Eksploitasi

Mengeksploitasi klien untuk kepentingan pribadi merupakan bahaya mendasar dari hubungan rangkap. Meskipun eksploitasi bisa terjadi dengan berbagai cara, ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan: kekuatan yang berbeda dan keintiman. Dalam konteks hubungan konseling disebut ketidakseimbangan kekuatan. Konseli mencari bantuan kepada konselor yang akhirnya menghasilkan kekuatan yang berbeda. Konselor yang menyalahgunakan kekuatan ini (atau penggunaan pengaruh yang tak semestinya) adalah konselor yang melanggar kode etik. Konselor harus waspada terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin terjadi dan menjaga tanggung jawab mereka terhadap klien. Ketika seorang konselor memasuki hubungan terapis dengan klien, konselor wajib memulihkan klien dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi mereka. Salah satu aspek dalam hubungan konseling yang membuka pintu eksploitasi adalah keintiman. Keintiman diartikan sebagai hubungan dekat yang ditandai dengan tukar pikiran dan perasaan secara eksklusif. Dalam hubungan terapis, klien memberikan informasi yang sebelumnya belum pernah diceritakan kepada siapa pun. Menceritakan masalah pribadi secara mendalam mendorong terjadinya proses pemulihan. Konselor mendengarkan dengan cermat dan tidak menghakimi klien. Klien memberikan respons dengan bebas dan kekaguman terhadap orang yang baik hati dan peduli ini. Bila konselor tidak memiliki batasan yang tegas, dia mudah jatuh dalam "kekaguman" klien.

Menjalin hubungan yang dinamis, maka tidaklah mengherankan bila hubungan seksual menjadi keluhan peringkat pertama bagi dewan komite dan perizinan. Bagaimana konselor menjaga batasan yang sehat dengan klien mereka? Tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan konselor; segala bentuk keterlibatan seksual selalu tidak beretika. Pembelaan yang terpenting adalah dengan membuat persetujuan, yang bisa menyatakan bahwa konselor tidak terlibat dalam hubungan sosial dengan klien. Bila konselor tertarik kepada kliennya, penting bagi konselor tersebut untuk mencari rekan kerja yang bisa dipercaya dan berpengalaman untuk mendampingi dia dalam menggali perasaan-perasaannya dan membuat pertanggungjawaban. Di beberapa kasus terapi pribadi mungkin diperlukan, tetapi dalam keadaan apapun konselor harus membereskan perasaannya. Konseling tidak pernah melibatkan seks. Bila konselor tidak bisa menyelesaikan perasaannya, diperlukan penghentian atau penyelesaian. Perawatan harus dilakukan untuk meyakinkan bahwa klien tidak perlu bertanggung jawab -- itu adalah masalah konselor.

Kesimpulan

Ini merupakan pandangan singkat mengenai kerahasiaan dan hubungan rangkap. Sangat disarankan agar konselor, baik itu konselor klinis, pastoral, atau awam, untuk terus memperbarui pemahaman mereka tentang kode-kode etik dan aturan-aturan resmi yang berkaitan dengan profesi mereka. Banyak bengkel kerja, seminar, dan artikel/buku yang membahas etika perilaku. Penting untuk diingat bahwa semua profesi kesehatan mental menentukan sejumlah pendidikan tertentu dalam bidang etik. Meskipun kita bertanggung jawab terhadap profesi kita dan kode-kode etiknya, tetapi tanggung jawab tertinggi kita adalah kepada Tuhan. Sebagai konselor kristen, kita harus meraih perilaku etik yang tertinggi.

Jacqueline Gatewood, Psy.D adalah asisten profesor di Regent University di Virginia Beach, Virginia. Dia ahli dalam etik, sistem keluarga, konseling sekolah, dukacita dan kehilangan, dan perceraian di usia senja. (t/Ratri)

Diterjemahkan dan disesuaikan dari:

Nama situs : ecounseling.com
Judul asli artikel : Key Ethical Issues In Christian Counseling
Penulis : Jacqueline Gatewood, Psy.D
Alamat URL : http://www.ecounseling.com/articles/623

Komentar