Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Mengapa Allah Menjadi Manusia?

Pada mulanya adalah Allah. Dan, sebagai Allah, Dia menciptakan.

Ciptaan Allah begitu mengagumkan. Dia menciptakan alam semesta dengan dimensi yang tidak terbatas, dikelilingi bintang-bintang dan galaksi. Ukurannya seimbang dengan kompleksitasnya yang luas, dalam tarian atom dan molekul yang rumit. Komposisi seni, warna, suara, dan keheningan menggambarkan kebesaran kuasa dan kasih-Nya.

Tapi Allah tidak hanya menginginkan dunia; Dia membuat kehidupan. Dia melihat dunia-Nya yang spesial -- bumi, dan memenuhinya dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang dari yang berukuran paling kecil hingga paling besar. Suatu kerajaan mahkluk hidup yang dapat bergerak, bernapas, dan berpikir, lengkap dengan berbagai jenis makhluk hidup liar. Ada juga pohon-pohon besar dan rindang yang bisa bertahan selama berabad-abad, yang dikerumuni serangga yang masa hidupnya hanya sehari.

Selanjutnya, Allah tidak hanya menginginkan kehidupan; Dia menginginkan persahabatan, oleh karenanya Dia menciptakan umat manusia. Inilah yang disebut mahakarya-Nya, manifestasi kehidupan yang menggambarkan Diri-Nya. Batu karang, pepohonan, langit, dan paus -- semuanya menakjubkan, tapi mereka bukan anak-anak-Nya. Laki-laki dan perempuan yang Dia ciptakan, merekalah yang akan menjadi keluarga dekat Allah meskipun mereka diciptakan dalam rupa manusia (darah dan daging). Ini merupakan suatu perpaduan yang luar biasa! Roh sempurna dan sejati -- Allah atas segala sesuatu, dan makhluk yang begitu kecil dan terbatas -- manusia.

Walaupun demikian, kasih Allah terhadap manusia terputus karena kejatuhan manusia dalam dosa. Kisah ini akan dibahas pada kesempatan yang lain. Yang jelas pada kenyataannya manusia memilih ketidaktaatan dan berpaling dari hadirat-Nya dengan rasa malu. Nama lain untuk ketidaktaatan adalah dosa, dan dosa menjadi penghalang besar antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Manusia mengenal Allah seperti paman jauh yang tidak pernah bertemu muka dengan muka.

Seorang manusia menyadari bahwa fakta hidup ini berbeda dari yang dipikirkan. Seorang pujangga memandang dunia ini indah dan menggambarkannya seperti ini:

"Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat." (Mazmur 8:3-5)

Jurang pemisah antara Sang Pencipta dan manusia yang begitu kecil dan tidak berdaya sangat besar. Namun, banyak orang tidak menghiraukan-Nya. Orang yang saleh dan taat berusaha sungguh-sungguh untuk menyenangkan-Nya, tapi orang yang keras kepala bersikukuh dengan ketidaktaatannya, dan apa saja yang dilakukannya selalu gagal.

Manusia tidak memiliki gambaran tentang kelemahan mereka. Mereka tahu mereka tersesat, dan mereka sangat membutuhkan Bapa. Namun pada saat yang paling berkesan pun, dengan segala kesalahan yang mereka lakukan, manusia sadar bahwa Bapa yang ada di tempat jauh sangat mengasihi mereka dengan kasih yang tidak berkesudahan. Pada saat yang sama mereka masih berputus asa karena keterpisahan itu. Allah itu kudus dan manusia berdosa. Bagaimana mereka bisa mencapai kesempurnaan yang melayakkan mereka? Mereka seumpama pungguk merindukan bulan.

Jika manusia saja merasa kekosongan ini begitu pahit, betapa besarnya rasa sakit yang dirasakan oleh Bapa? Sakitnya sama besar dengan kasih-Nya. Seperti halnya dengan orang tua, anak-anak adalah sukacita-Nya yang paling besar. Anak-anak sering gagal, bahkan mungkin setiap hari, namun kasih sayang orangtua pada mereka tidak pernah berhenti. Orangtua mengasihi masing-masing anak dengan sempurna, tidak terbatas, seolah-olah dia adalah anak tunggalnya.

Oleh karena itu, Bapa terus-menerus berusaha dan tidak pernah berhenti -- selama berabad-abad dan dari generasi ke generasi -- untuk menyelamatkan keluarga besar-Nya. Dia melakukannya dengan berbagai cara: melalui ciptaan-Nya yang mulia, anugerah-Nya yang besar yang diberikan-Nya kepada manusia, lewat kata-kata para nabi dan gembala. Dia mengutus hamba-hamba-Nya yang mengatakan hal yang sama dengan 10 cara yang sama: "Pulanglah, pulanglah! Kamu dikasihi sekarang dan selamanya."

Setiap masalah pasti ada solusinya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kembali manusia kepada Bapa. Bagaimana mungkin manusia fana yang bercacat cela bisa mengenal Roh yang suci. Pasti ada cara agar manusia bisa mengenal seperti apakah Allah itu, oleh karena itu, perhatikanlah seperti apa hidup ini. Tentu saja, cakupan masalah ini lebih besar dari kemampuan pemahaman mereka. Sebagai contoh, mereka belum memahami natur ilahi. Untuk bisa memahaminya mereka harus masuk pintu gerbang -- tapi dalam kemanusiaan mereka yang ternoda, mereka tidak bisa mencapainya.

Mereka bisa mencapai surga.

Surga tidak dapat masuk ke dalam tempat yang cemar, yakni dunia. Tapi ada cara lain: Allah sendiri yang bisa melakukannya. Dia sanggup menyatakan keilahian-Nya dalam darah dan daging dan datang ke bumi sebagai seorang manusia! Dia tinggal di antara kita sebagai seorang manusia dewasa yang berwibawa, sekaligus sebagai Allah seutuhnya pada saat yang sama. Dia sudah berulang kali mengutus nabi-nabi-Nya, kini Dia melakukan sesuatu yang jauh lebih besar. Dia meninggalkan Kerajaan Surga untuk masuk ke tengah-tengah manusia; Raja yang menyamar, Tuhan semesta alam dengan rupa seorang manusia, sang Pencipta di antara ciptaan-Nya.

Selanjutnya natur Allah menjadi jelas bagi manusia. Orang-orang biasa di bumi bisa melihat seperti apakah Allah itu. Mereka bisa melihat kasih dan kesetiaan-Nya yang sempurna, pengabdian diri-Nya yang tidak terbatas. Lebih-lebih mereka yang hatinya terluka, mudah putus asa, atau tidak berdaya. Mereka mengetahui beberapa hal tentang Dia. Dan dalam inkarnasi itu, mereka melihat contoh sempurna tentang kehidupan yang sesungguhnya.

Semuanya terjadi karena Allah dan manusia harus diperdamaikan. Oleh karena itu, Tuhan semesta alam datang ke dunia.

Dia masuk ke dunia melalui pintu yang disebut Betlehem, dan sejak itu dunia berubah.

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yohanes 1:14).

Pertanyaan Diskusi

  1. Seandainya Anda Allah, apakah Anda akan memilih cara yang sama untuk menjangkau manusia? Mengapa dan mengapa tidak?

  2. Cara apa yang Allah gunakan untuk menyatakan Diri-Nya kepada manusia sebelum Dia mengutus Anak-Nya?

Untuk studi lebih lanjut: Bagaimana manusia memiliki relasi dengan Tuhan semesta alam? Bacalah ayat-ayat ini untuk mengerti rencana Allah untuk Anda: Yohanes 3:16, Roma 3:23, Roma 6:23, dan Roma 10:9, 13. (t/Setya)

Diterjemahkan dari:

Sumber
Judul Artikel: 
Why Did God Become A Man?
Judul Buku: 
Why the Nativity?
Kota: 
Illinois
Tahun: 
2006

Komentar