Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Pentingnya Suatu Kunjungan Pastoral
Pada beberapa gereja, pelayanan kunjungan pastoral sering kali tidak berkelanjutan meskipun sebenarnya banyak cara untuk mempertahankan keefektifannya.
Pada beberapa gereja, hanya kelompok-kelompok tertentu, seperti anggota-anggota baru yang menerima kunjungan pastoral. Gereja- gereja besar sering mengangkat pendeta, atau suatu tim pelayanan biasa, yang khusus untuk menangani kunjungan keluarga bagi semua anggota jemaat secara teratur. Apa pun cara yang Anda gunakan, ada beberapa gagasan khusus yang perlu diingat untuk menciptakan suatu pelayanan kunjungan pastoral yang mengena pada sasaran.
Kunjungan pastoral keluarga telah menjadi suatu pelayanan yang mulia. Dalam banyak hal, bentuk pelayanan ini tidak berkembang. Seseorang membayangkan sebagai sosok hamba Tuhan yang ramah, berambut gelap, dengan Alkitab terdekap erat di dada, sedang mengetuk rumah seorang warga yang setia. Sapaannya yang lembut disambut oleh wajah seorang ibu yang tengah menggendong bayi pada lengan yang satu, dan lengan yang lain merangkul penuh sayang bocah tiga tahunan yang menggayuti kakinya. "Oh Pak Pendeta, senang sekali Anda berkunjung! Silakan masuk; saya baru saja mengangkat kue dari oven. Pasti Anda suka mencicipinya." Ketika baru lulus dari seminari, gambaran semacam ini melintas di kepala saya saat saya mengetuk pintu salah satu keluarga anggota gereja kami.
Sesungguhnya, kunjungan pastoral biasa, yang ditandai dengan percakapan santai dan mungkin suatu doa penutup, merupakan gejala yang mulai menghilang. Baik hamba Tuhan maupun jemaat sama-sama sibuk dewasa ini. Dalam banyak hal, berkurangnya kunjungan pastoral justru dianggap menggembirakan. Kerap kali kunjungan dilakukan tanpa rasa kewajiban. Kebanyakan yang berlangsung hanya sendau gurau ringan yang dirasa cukup bila kedua pihak, yang berkunjung dan yang dikunjungi, merasa "enak". Percakapan tidak berkembang lebih mendalam lagi.
Tapi bagaimanapun kunjungan pastoral tradisional masih memberikan pelayanan. Adanya pelayanan keluarga itu semata-mata untuk menunjukkan, bahwa gereja menaruh perhatian-perhatian secukupnya untuk meluangkan waktu dan berkunjung ke rumah. Bagi orang jompo dan orang sakit khususnya, pelayanan kunjungan ini sangatlah berarti. Kunjungan itu memperlihatkan bahwa mereka berharga. Mereka tetap terhitung meskipun tidak dapat hadir dalam kebaktian atau kegiatan jemaat lainnya. Kunjungan pastoral sering menjadi sarana bagi anggota jemaat untuk mengungkapkan ketakutan, sukacita, dan masalah mereka, baik yang bersifat pribadi maupun rohani. Meskipun bukan suatu konseling formal, kunjungan tersebut sering memberikan nasihat yang membantu.
Kehidupan keluarga saat ini tentu saja berbeda dengan keadaan 25 tahun lalu. Baik pria maupun wanita banyak yang bekerja di luar rumah. Keluarga pecah oleh perceraian, dan sering ingin diperbaiki, entah akhirnya menjadi lebih baik atau lebih buruk, dengan menikah lagi. Anak-anak hidup dengan orangtua tunggal atau orangtua tiri. Bahkan yang dinamakan keluarga inti pun jarang di rumah bersama- sama. Kegiatan yang banyak dan beragam membuat tiap anggota keluarga sibuk oleh urusan mereka sendiri.
Dalam keadaan semacam ini, bagaimana pelayanan kunjungan pastoral dapat tetap berjalan? Saya beranggapan bahwa pelayanan ini perlu memperoleh perhatian yang lebih seksama dibandingkan dengan masa- masa yang dahulu.
Dalam lingkup konseling, hamba Tuhan memiliki kelebihan dibandingkan seorang konselor keluarga karena mereka lebih mudah diterima oleh keluarga. Dalam lingkungan keluarga, tiap anggota akan tampil sewajarnya daripada bila berada di ruangan seorang konselor.
Saya akan memberikan gambaran. Dalam kunjungan pada keluarga yang tengah mengalami musibah, saya melihat dari dekat sumber persoalan yang menimbulkan keadaan tidak sehat itu. Sang ayah mulai bercerita kepada saya tentang pengalaman keagamaannya dahulu dengan bahasa yang emosional dan sangat agamawi. Dia pernah menghadiri suatu "kebaktian Roh Kudus" dan sangat berapi-api karenanya. Melalui gerak gerik atau kadang seruan langsung istrinya, saya dapat merasakan, bahwa istrinya sangat tidak senang dengan apa yang ia katakan. Sebelumnya, saya sempat bercakap-cakap dengan istrinya itu, ia sangat meragukan keberadaan Allah. Saya yakin, perkataan suaminya sangat mengganggu dan mempermalukan dia. Namun sang suami tidak juga tanggap terhadap rasa tidak sejahtera istrinya. Bahkan ketika istrinya tidak tahan lagi dan beranjak meninggalkan ruangan, ia tetap tidak mempedulikan bagaimana perasaan istrinya. Meskipun waktu itu saya merasa tidak pada tempatnya untuk bertindak sebagai terapis, kehadiran saya telah memberikan wawasan terhadap konflik yang ada. Wawasan tersebut membantu saya dalam berhubungan dengan keluarga lain pada masa selanjutnya.
Kunjungan pastoral secara positif mencakup konseling atau paling tidak pemahaman akan hubungan dalam keluarga. Namun, menurut saya, fungsi utama kunjungan pastoral dalam pertumbuhan rohani adalah membantu orang atau orang-orang dalam keluarga untuk menyelami pengalaman hidup mereka, dan selanjutnya mengaitkan pengalaman itu dengan iman mereka. Hal itu akan tercapai bila ada kesediaan baik pada pihak hamba Tuhan maupun anggota jemaat untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh "sisi dalam" dari pengalaman hidup mereka. Kesediaan untuk membagikan perasaan yang terluka, rasa malu, dan juga sukacita akan mengungkapkan sisi dalam itu. Untuk itu, hamba Tuhan perlu peka memperhatikan isyarat-isyarat baik lisan maupun gerakan yang menunjukkan kesediaan seorang jemaat untuk membicarakan suatu hal yang lebih penting daripada cuaca atau skor pertandingan bola. Dapat pula hamba Tuhan bertanya dengan lemah lembut namun bersungguh-sungguh untuk mengetahui kehidupan dan iman anggota jemaat itu.
Dari pengalaman dan percakapan dengan sesama hamba Tuhan, saya belajar bahwa kunjungan pastoral sebenarnya dapat menjadi suatu pelayanan yang berpengaruh. Kebanyakan rekan saya merasakan kekecewaan yang sama berhubung dengan kedangkalan pelayanan kunjungan pastoral yang rutin. Seseorang menyatakan, bahwa kunjungan terasa berarti ketika ia berbicara dengan remaja dan orangtua mereka untuk persiapan pembaptisan. Yang lain mengatakan, bahwa ia melaluinya dengan baik ketika mengunjungi mereka yang tengah menunggu saat penyerahan anak mereka. Kami menyimpulkan, bahwa kunjungan dengan tujuan yang ditetapkan secara jelas akan lebih berhasil daripada kunjungan yang hanya membuat anggota jemaat bingung: "Apa artinya kunjungan ini?"
Dengan pola pikir demikian, saya ingin menyarankan suatu cara yang biasa saya gunakan dalam kunjungan pastoral. Pertama kali, saya memikirkan tujuan program kunjungan saya. Apa sesungguhnya yang saya harapkan, bagi orang yang saya kunjungi? Untuk lebih menegaskan, saya menuliskannya: "Agar orang-orang dapat mencapai kedalaman hubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan diri mereka sendiri." Selanjutnya, saya mengembangkan rencana kunjungan, yang saya jalankan untuk mencapai hasil yang baik.
Mula-mula saya mengirimkan surat berikut ini kepada keluarga atau orang yang hendak saya kunjungi.
"John dan Sue yang terkasih, Salah satu cara orang Kristen untuk bertumbuh secara rohani adalah dengan saling membagikan pengharapan, kesukaran-kesukaran mereka, dan pengalaman iman mereka. Saya menganggap kesempatan untuk saling membagikan hal itu dengan orang-orang dalam jemaat kita merupakan keuntungan dan upah bagi pelayanan saya sebagai hamba Tuhan. Saya mempunyai rencana mengunjungi setiap keluarga dalam jemaat kita. Untuk mempersiapkan apa yang akan kita bicarakan dalam kunjungan nanti, silakan Anda memikirkan hal-hal berikut ini:
-
Apa keberhasilan atau kegagalan pribadi atau kejadian penting lainnya yang Anda alami baru-baru ini?
-
Bagaimana Anda mengatasi kejadian itu dan/atau bagaimana Anda merayakannya?
-
Bagaimana peranan pengalaman iman dalam kehidupan Anda?
Pertanyaan di atas bukan ujian yang harus Anda jawab dengan segera. Pertanyaan itu hanyalah sarana untuk mempersiapkan kunjungan saya. Dalam pertemuan kita nanti, saya ingin sekali berbicara dengan Anda tentang hal-hal lain yang menarik minat Anda. Sekretaris gereja akan menelpon Anda untuk menentukan waktu kunjungan yang tepat. Salam dalam Kristus."
Begitu tiba di rumah keluarga itu, saya segera menyinggung surat tersebut dan mempersilakan mereka menanggapinya dengan cara mereka. Saya menegaskan, tidak ada jawaban yang "tepat". Bila perbincangan beralih pada hal-hal lain, tidak perlu cemas. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya hanya sarana untuk membantu kita membicarakan hal- hal yang ingin kita bicarakan.
Melalui kunjungan semacam itu, saya menemukan, bahwa kita dapat mencapai taraf percakapan yang lebih dalam daripada yang biasa kita capai dalam kunjungan pastoral yang sambil lalu dan sekedar singgah. Dengan mengarah langsung pada pertanyaan-pertanyaan itu, kita dapat membicarakan masalah-masalah yang jarang diungkapkan pada rekan kerja, tetangga, atau bahkan teman dekat. Sering kali kunjungan itu meneguhkan ikatan kemesraan yang diliputi kesucian. Bila perlu, saya menawarkan doa bersama untuk mengucap syukur kepada Allah yang telah membuat kami saling membagi pengalaman kehidupan selama pertemuan itu.
Tentu saja tidak setiap kunjungan berhasil dengan baik. Suatu ketika, orang yang saya kunjungi menyambut saya sambil memegangi surat itu. Ia mengatakan, bahwa ia dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan itu dengan mudah, dan dalam tiga puluh detik ia telah merampungkannya. Tugas sudah selesai, begitu pikirnya, saya kira. Sisa waktu kami gunakan untuk mempercakapkan penyebab inflasi dua digit dan kemungkinan cara mengatasinya!
Akan tetapi, sebagian besar kunjungan memberikan sesuatu yang berarti. Pernah saya mengunjungi sebuah keluarga yang berada, namun undur dari kehidupan jemaat. Saya menjumpai sang istri di rumah; dia memberitahu saya, suaminya menelepon dan memberitahukan bahwa atasannya memintanya kerja lembur. Sebelumnya hubungan saya dengan pasangan itu hanya berupa percakapan-percakapan kecil. Namun kali ini berbeda. "Begini, Mary, dalam surat saya untuk Anda, Anda pasti ingat, ada tiga pertanyaan yang menurut rencana akan kita bicarakan. Pertanyaan pertama berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan atau kejadian penting lainnya yang telah terjadi dalam kehidupan Anda."
Jawabannya sungguh mengejutkan saya. "Pertanyaan itu telah mengenai sasaran. Sebenarnya suami saya dan saya telah berpisah." Sisa waktu kunjungan itu kami gunakan untuk membicarakan penyebab dan akibat- akibat peristiwa yang memecah belah keluarga itu. Ia dengan sungguh- sungguh mengungkapkan kepahitannya atas kejadian itu. Ia mengakui, "Saya merasa telah kehilangan iman saya." Kami mulai membahas kemungkinan-kemungkinan untuk menghadapi perubahan dalam kehidupannya. Dengan mengukur kunjungan tersebut dengan tujuan yang saya rasakan semula menyadarkan saya, bahwa kunjungan yang berhasil tidak selalu berupa kunjungan yang membuat saya gembira. Kadang- kadang keberhasilan berarti "menangis bersama mereka yang menangis".
Ironisnya, kunjungan pada keluarga berikutnya memberikan suatu keberhasilan yang jauh berlainan. Dalam keluarga itu saya menikmati persahabatan pribadi, sebagaimana suatu hubungan kerja yang erat dalam kegiatan jemaat kami. Baik sang suami maupun istri merasa bebas meminta nasihat saya pada kesempatan itu. Saya diterima dengan hangat dan dengan mudah percakapan kami mengarah pada pokok persoalan, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dalam surat. Hal yang kami bicarakan adalah hubungan mereka sendiri. Tidak hanya pada saya atau melalui saya, namun mereka sering pula berbicara satu sama lain secara langsung dan secara terbuka mengungkapkan baik kekecewaan maupun kegembiraan mereka. Kejujuran, perhatian, keakraban dalam kunjungan itu termasuk salah satu hal yang paling berkesan dalam 11 tahun pelayanan saya sebagai hamba Tuhan. Saat akan pulang, saya menyatakan betapa berartinya mereka bagi saya. Mereka telah membantu saya bertumbuh sebagai seorang hamba Tuhan dan seorang manusia dengan kepedulian mereka terhadap saya dan kesediaan mereka menjadikan saya bagian kehidupan mereka.
Dalam kata-kata Henri Nouwen, kunjungan semacam itu membantu saya dan anggota jemaat untuk "mengenal pekerjaan Allah dalam diri kita sendiri". Meskipun Nouwen menggunakan frase tersebut untuk peranan hamba Tuhan, saya tahu benar, saya sendiri sering dilayani oleh kunjungan itu. Anugerah Allah bukan hanya mengalir dari hamba Tuhan kepada jemaat, melainkan juga dari jemaat kepada hamba Tuhan.
[Kenneth L. Gibble adalah pendeta pembantu pada Ridgeway Community Church of the Brethren di Harrisburg, Pennsylvania.]
Sumber :
Judul Buku | : | Kepemimpinan, Vol. 15/Th. IV |
Judul Asli | : | Mempersiapkan Jemaat untuk suatu Kunjungan Pastoral |
Penulis | : | Kenneth L. Gibble |
Penerbit | : | Yayasan ANDI, Yogyakarta, 1989 |
Halaman | : | 26 - 30 |