Konselor yang ingin menolong konsele yang sedang mengalami kedukaan
yang mendalam (karena kehilangan orang yang dikasihi) harus ingat
bahwa tugas utamanya bukanlah menutupi rasa pedih yang dialami
konsele, tapi menolong konsele agar dapat jujur menghadapi perasaan
yang sesungguhnya.
Penelitian menunjukkan bahwa periode dua tahun merupakan waktu yang
wajar untuk seseorang mulai pulih dari kepedihannya. Namun masing-
masing individu mempunyai cara-cara yang unik dalam menghadapinya,
oleh karena itu hindarkan pemaksaan kepada konsele tentang apa yang
harus dilakukan untuk memulihkan kepedihannya itu. Agar proses
pemulihan dari kedukaan itu dapat berjalan secara alami, konselor
perlu mengingat tiga kebutuhan konsele berikut ini:
MENERIMA kenyataan kehilangan itu.
Banyak orang yang menderita dukacita yang sangat dalam mencoba
menyangkali kenyataan, misalnya berpura-pura menganggap bahwa
orang yang dikasihi itu masih hidup, atau menyimpan semua barang-
barang dari orang yang meninggal itu. Untuk itu berikan tantangan
yang lembut, perhatian serta dukungan, supaya secara bertahap
konsele dapat menghadapi kenyataan yang sebenarnya.
MENYESUAIKAN diri dengan kenyataan baru.
Setelah konsele menerima kenyataan baru, dia harus ditolong untuk
mulai menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan-perubahan
praktis dalam kehidupannya sehari-hari. Perasaan menerima ini akan
terus berkembang melalui proses alami jika konsele mau mengambil
inisiatif sendiri untuk menyesuaikan diri. Misalnya, seorang duda
yang dulu menggantungkan diri pada istrinya dalam membayar semua
tagihan harus menyadari bahwa hal itu sekarang menjadi tugasnya.
Seorang wanita yang dulu selalu minta nasehat pada almarhum
ayahnya, sekarang ia harus mencari penasehat yang lain.
Sebagai REINVESTASI di masa mendatang.
Tahap ini mungkin merupakan tahap paling sulit dalam proses
pemulihan kedukaan ini. Ketika konsele mulai menyesuaikan diri
dengan kenyataan baru, bahwa ia tidak lagi memiliki seseorang yang
dulu sangat berarti baginya, maka ia akan tergoda untuk segera
mengisi kekosongan ini, atau sebaliknya akan menghindarinya.
Konselor dapat menuntun konsele yang berada diantara kedua keadaan
tersebut dengan menolongnya me-reinvestasi secara bertahap dan
tidak terburu-buru dalam membuat keputusan-keputusan besar.
Dalam masa pemulihan dari kedukaan ini, akan sangat baik jika
konsele didorong untuk bisa bebas mengekspresikan kepedihannya
dengan cara-cara yang "sehat", misalnya menangis, membela diri, atau
bertanya. Dengan lembut yakinkan bahwa suatu kehidupan yang berarti
dan memuaskan dapat hadir sekali lagi dalam hidupnya.