"A adalah ketua majelis gereja yang dikenal sebagai orang yang
sangat ramah, berwawasan luas, matang dalam sikap dan pandai sekali
berkhotbah. Mengapa dia bisa-bisanya melakukan perbuatan yang begitu
amoral dengan melakukan hubungan seksual di konsistori gereja,
dengan sekretaris gereja, seorang sederhana yang baru beberapa bulan
bekerja digerejanya? Apa dia orang tidak waras... atau apakah ini
terjadi karena dia belum dilahirkan-baru?"
Hal-hal sejenis ini mungkin pernah anda dengar, dan anda tidak tahu
harus bersikap bagaimana. Perut rasanya jadi mual. Perasaan seperti
menjadi baal (numb). Biasanya seluruh gereja heboh, dan selama
berminggu-minggu masalah ini akan terus dibicarakan dan menjadi buah
bibir. Semua orang seperti kehilangan pegangan. Rasanya Injil juga
sudah kehilangan kekuatannya. Tak ada lagi yang dapat dibanggakan
dengan keKristenan.
Memang sejak mula kehidupan dan kesaksian orang-orang percaya selalu
dicemari dengan berbagai dosa dan kelemahan. Daud yang begitu dekat
dengan Tuhan, juga adalah seorang pembunuh dan penjinah. Coba Anda
bayangkan, setelah dia melakukan perbuatan maksiat yang begitu
memalukan, dia kemudian merekayasa pembunuhan bagi uria, suami
Batsyeba yang dijinahinya. Sungguh mengherankan, Daud yang seperti
ini adalah juga seorang hamba Allah, penulis sebagian besar kitab
Mazmur, dan orang yang namanya secara khusus dipilih Allah sebagai
nenek moyang Mesias yang disebut "anak Daud" (Mat 21:9). Mengapa
demikian? Apakah Allah menetralisir dosa dengan begitu mudah, hanya
karena mereka yang melakukannya adalah orang percaya? Apa sebenarnya
di balik semuanya ini? Bagaimana sikap kristiani dalam menghadapi
realita seperti ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita
perlu memiliki pendekatan yang tepat dan objektif. Untuk itu kita
akan kembali ke kasus semula, kasus ketua majelis gereja yang telah
diuraikan diatas. Sebagai konselor, seperti Anda perlu
mempertimbangkan beberapa hal yang penting dibawah ini.
Mengapa kebutuhan seksuilnya menjadi begitu rupa, tak tertahankan
dan berani dilampiaskan dengan resiko yang begitu besar?
Kebutuhan seksuil memang merupakan salah satu kebutuhan primer
manusia dewasa dan normal. Meskipun demikian, tahap kegentingannya
masih berada dibawah kebutuhan primer yang lain, seperti kebutuhan
akan makanan dan minuman. Manusia yang normal dan dewasa dapat hidup
tanpa pemenuhan kebutuhan seksuilnya selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun (misalnya, pada saat menjalankan tugas keluar negeri
atau pada saat pasangannya sedang menderita sakit). Kebutuhan
seksuil bisa menjadi begitu besar dan drive-nya begitu kuat tak
tertahankan hanya pada pribadi-pribadi yang "bermasalah."
Eugene Kennedy (Sexual Counseling, 1977) menjelaskan betapa
seksualitas seringkali menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan primer "lain" yang tak terpenuhi, seperti kebutuhan akan
kasih, perhatian, kepedulian, penghargaan, teman berbicara, dan
bahkan pelampiasan kemarahan yang tak terpenuhi yang biasanya
menghasilkan kekosongan jiwa dan kegelisahan. Dalam kasus seperti
ini, maka seksualitas seringkali menjadi alternatif yang dapat
tersedia dengan mudah dan memberikan kepuasan secara instan. Dalam
hal ini seksualitas menggantikan pemenuhan kebutuhan primer
tersebut. Aneh, tetapi realitanya memang demikian. Kepuasan
seksualitas dapat menetralisir ketidak-puasan yang terjadi karena
tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer yang "lain". Pada saat
seorang mendapatkan kepuasan melalui tingkah-laku seksuil, untuk
sementara kebutuhan-kebutuhan primer yang "lain" tersebut
terlupakan. Jadi, tingkah-laku seksuil tidak selalu lahir dari
kebutuhan seksuil itu sendiri secara ansich. Tidak heran jikalau
dalam kehidupan pribadi-pribadi "yang bermasalah" seringkali
ditemukan kebiasaan yang cenderung kecanduan (addictive)
seksualitas, karena kebutuhan yang sesungguhnya tidak disadari.
Mungkin individu tersebut hanya menyadari keadaan jiwanya yang
gelisah dan kosong, lalu terdorong untuk mencari pemuasan seksuil.
Objeknya bisa apa saja atau siapa saja, pokoknya asal tuntutan
instink seksuil tersebut terpuaskan. Jadi, pelampiasan kebutuhan
seksuil tersebut seringkali tidak ada hubungannya dengan "kekurangan
pelayanan istri" dan sebagainya. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan
yang ada dalam alam bawah sadar (Unconsciousness). Kebutuhan
tersebut "independent" dari alasan-alasan yang masuk akal. Individu
tersebut tidak tahu mengapa pada saat-saat tertentu atau dalam
situasi tertentu dorongan seksuilnya muncul dan menunut
pemuasan.
Itulah yang terjadi dengan majelis gereja dalam kasus di atas. Tidak
masuk akal? Memang! Tetapi, itulah realita yang sudah
terjadi.
Konseling seperti apa yang dapat dilakukan untuk individu
tersebut?
Kebutuhan alam bawah sadar (unconsciousness), merupakan kebutuhan
yang terbentuk karena adanya kebutuhan-kebutuhan primer yang tidak
terpenuhi pada masa lalu yang kemudian ditekan (repressed).
"Repression" inilah yang menyebabkan kebutuhan tersebut tersimpan
dalam alam bawah sadar (unconsciousness), yang dapat muncul sewaktu-
waktu untuk mencari pemuasannya diluar kontrol individu yang
bersangkutan. Kadang-kadang wujudnya berupa mimpi dengan berbagai
simbol yang menyertainya, fantasi, atau bahkan hanya muncul dalam
bentuk kegelisahan (anxiety) dan dorongan (drive) untuk melakukan
hal-hal tertentu yang tak tertahankan. Setiap tingkah-laku yang tak
terkendali selalu ada dibawah pengaruh alam bawah sadar
(unconsciousness) yang ada dibelakangnya, berarti ada kebutuhan-
kebutuhan yang tak terpenuhi yang sedang menuntut pemenuhan.
Kebutuhan tersebut tak dikenal lagi (unknown), karena sudah terkubur
dalam alam bawah sadar (unconsciousness). Manifestasi dalam tingkah-
laku yang tak terkendali tersebut hanyalah simbol dari kebutuhan
itu. Konselor tak boleh berorientasi pada gejala luar saja
(fenomenological oriented) dan menafsirkan tingkah-laku tak
terkendali tersebut sebagai realita inti persoalannya. Oleh sebab
itu, tugas konselor adalah:
Menciptakan suasana percakapan yang kondusif (condusive
atmosphere) yang memberikan rasa aman dan kebebasan bagi klien untuk
berbicara," tetapi dengan kepekaan untuk menangkap "apa yang
sesungguhnya ia rasakan dan pikirkan."
Jangan ada semangat menghakimi (judgemental) dan mempersalahkan.
Coba refleksikan perasaannya saat itu, yaitu pada saat ia
berceritera tentang apa yang ia sudah perbuat. Sebagai contoh, klien
dalam kasus diatas. Coba dengarkan keluhannya dan tangkap
perasaannya dibelakang keluhan tersebut. Mungkin dia mengatakan
"sangat menyesal dan malu" tetapi bagaimana perasaan yang
sesungguhnya dibalik kata-kata tersebut? Bagaimana ia melihat dan
menafsirkan perbuatannya sendiri? Itulah yang terpenting, karena
siapa dia yang sesungguhnya adalah bagaimana ia melihat, merasakan,
dan menafsirkan perbuatannya dan bukan apa yang ia katakan.
Untuk menangkap keunikan perspektif, perasaan dan cara berfikirnya,
konselor harus merefleksikan dan mengklarifikasikan kata-kata yang
ia ucapkan. Misalnya ia mengatakan, "saya menyesal dan sangat malu
atas apa yang saya perbuat." Konselor dapat merefleksikan kata-kata
tersebut dan berkata, "maksud Anda, Anda sedih, kecewa dengan diri
sendiri, kehilangan gairah, atau malu, atau apa yang sebetulnya Anda
rasakan saat ini?" Ia mungkin menjawab, "Saya tak tahu bagaimana
saya dapat melanjutkan pelayanan ini, ...seluruh hidup saya rasanya
sudah hancur... saya tak punya masa depan lagi."
Nah melalui percakapan ini mulai tersingkap beberapa kemungkinan.
Pertama, mungkin baginya yang ia kuatirkan adalah "akibat" dari
perbuatannya dan bukan penyesalan atas perbuatan tersebut. kedua,
dengan yang pertama ini kemungkinan besar ia tidak merasa bersalah.
Ia hanya menyesal mengapa ia ketangkap basah. Ia mungkin membenci
kebodohan dirinya sendiri tetapi ia tidak sedih dan takut karena
telah "dengan sengaja" berani berdosa di hadapan Allah.
Realita yang tersingkap ini tidak dengan sendirinya memberikan
kepada konselor hak untuk menegur dan menghakiminya. Didalam hati,
konselor harus mulai bertanya "mengapa dia terjebak dalam kelemahan
ini? Siapa sebenarnya dia, dan apa yang dialaminya pada masa-masa
kecilnya?
Rela mengikuti klien masuk kedalam kehidupan klien yang
sesungguhnya.
Pada fase ini, konselor sangat membutuhkan kamampuan dan kepekaan
untuk mendengar (listening) dengan batin, merasakan apa yang
dirasakan klien (empathy), mengerti yang terjadi dalam kehidupan
jiwanya (understanding), dan menerima klien sebagaimana ia ada
(acceptance). Konselor tidak memotong, menilai ataupun memberikan
penghakiman sama-sekali atas ceritera klien, meskipun mungkin ada
kesalahan yang telah ia lakukan. Dengan sikap yang tidak menghakimi
(non-judgemental) itu, klien akan merasa aman dan benar-benar
dimengerti, sehingga ia akan berceritera sebanyak-banyaknya.
Mungkin klien akan menceriterakan tentang pengalamannya dengan kedua
orang tuanya yang keras, tidak memperlakukannya sebagai satu
pribadi, tidak adil (fair), dan hanya memberi tuntutan yang tak
dapat dipenuhi. Akibatnya, sejak kecil rasa percaya (trust) pada
orang lain sudah hilang, sehingga ia terbiasa menekan perasaan (dan
keinginannya), dan hidup dengan memakai hukumya sendiri. Baginya,
hukum dan aturan yang diberikan orang tua dan masyarakat hanya
mempersulit dan menekan hidupnya. Oleh sebab itu jikalau ia ingin
mendapat apa yang ia kehendaki, ia harus memakai caranya sendiri.
Apa yang ia takuti hanyalah hukuman jikalau ia ketahuan. jikalau ia
menyesal, ia menyesal karena ia tertangkap dan "mungkin akan
mendapat hukuman."Ia tidak merasa menyesal atas apa yang ia
lakukan.
Mungkin klien menceriterakan bahwa di luar pengetahuan orang tuanya,
sejak kecil ia sudah biasa mencuri, berbohong bahkan kemudian pada
masa remaja melakukan perzinahan dalam berbagai bentuknya. Jiwanya
gelisah terus, dan ia tidak tahu begaimana melupakannya kecuali
melalui kepuasan seksuil.
Menemukan "encoding strategi" dari klien.
Setelah konselor menemukan pola kejiwaan dari klien, konselor harus
menemukan "encoding startegi" yang memang secara khusus milik klien.
Artinya, konselor harus menemukan (melalui kelanjutan percakapan
dengan klien) apa sebenarnya yang penting dan peka bagi klien, yang
bisa membuat ia menurut dan mengubah konsep dan cara berfikirnya
yang merugikan itu.
Setiap individu mempunyai "encoding strategi"nya sendiri-sendiri.
Mungkin bagi si A "Alasan yang rasionil" (sehingga kalau dia betul-
betul memahami apa yan terjadi dalam jiwanya, ia akan sadar dan
berupaya untuk mengubah); bagi si B mungkin "pribadi tertentu
misalnya ibunya" (kalau ibunya yang berbicara ia akan menurut);
sedangkan bagi si C mungkin "kondisi kritis" (kalau istri dan anak-
anaknya tak mau lagi serumah dengan dia kecuali dia bertobat, maka
ia akan bertobat), atau mungkin juga berbagai alasan yang
lain.
Psikoterapi
Kasus alam bawah sadar (unconsciousness) merupakan kasus yang sangat
sulit untuk ditolong. Jikalau Anda adalah kaum awam, sebenarnya
tidak bertanggung-jawab untuk menangani kasus-kasus seperti ini.
Jadi, setelah anda melakukan semaksimal mungkin, Anda harus
mengalihkan tanggung-jawab Anda atas klien tersebut kepada seorang
psikoterapis untuk ditangani secara profesional. Biasanya seorang
psikoanalist cocok untuk manangani kasus-kasus seperti ini.