Dia Bukan Suami yang Baik, Dia Bukan Ayah yang Baik
Mon, 01/07/2002 - 00:00 — admin
Saya sering merasakan bahwa hidup ini tidak fair. Dulu saya
pacaran dengan laki-laki yang baik yang saya cintai tetapi berbeda
suku sehingga ayah saya memutuskan hubungan kami. Kemudian saya
diperkenalkan dengan orang pilihan ayah, yang menjadi suami saya
sekarang ini. Tahun-tahun pertama pernikahan kami sebetulnya cukup
baik. Sampai kami mempunyai dua orang anak laki-laki yang sekarang
sudah remaja semua, lalu suami saya nyeleweng. Memang dia mengatakan
tak akan menceraikan saya, tetapi kata-katanya sungguh menyakitkan.
Dia pernah mengatakan bahwa kami salah menikah, karena kami tidak
saling mencintai. Pada saat marah, seringkali dia mengatakan bahwa
perempuan yang dia selingkuhi sekarang ini adalah perempuan
dambaannya. Perempuan seperti itulah yang dia impikan untuk menjadi
isterinya.
Sudah bertahun-tahun kami tidak tidur sekamar. Hubungan seks kadang-
kadang masih ada tetapi jarang sekali. Sebagai laki-laki, dia masih
sering berinisiatif untuk intim tetapi saya tolak karena saya pikir
"ngapain gitu-gituan kalau tidak saling mencintai." Juga kedua anak
kami benci ayah mereka. Ngomongpun jarang sekali. Mereka tahu kalau
ayah mereka berselingkuh dengan perempuan lain.
Mendengar keluhan ini, pikiran saya sebagai konselor menerawang
kebeberapa keluarga dengan pengalaman yang mirip. Saya mulai
bertanya kepada diri sendiri, "apa yang sudah terjadi dalam keluarga
tersebut?" Hasilnya, saya membutuhkan klarifikasi atas beberapa
pertanyaan yang muncul tadi, yaitu:
Apa benar dia ayah yang tidak baik?
Benar dia sudah berselingkuh dengan perempuan lain, dan itu untuk
banyak pasangan merupakan merupakan hal yang fatal, siapa dia
sebenarnya? Apakah dia ayah yang tidak baik, atau ia menjadi tidak
baik dimata kedua anaknya karena istrinya telah menanamkan hal
negatif tersebut dalam jiwa anak-anak mereka?
Memang pengalaman dikhianati dan ditolak merupakan pengalaman yang
sangat menyakitkan. Tidak heran jikalau individu yang terkena,
cenderung mencari bantuan untuk mengurangi rasa sakitnya. Untuk itu,
seorang individu bisa memakai defence mechanism projection
(mengalihkan kesalahan pada orang lain) yang salah satu wujudnya
adalah mencari dukungan bahwa dirinya benar dan kesalahan semata-
mata ada pada suaminya.
Proses ini kemudian akan membentuk sistim dimana suami tersebut
dikeroyok dimusuhi dan diisolasikan. Nah dalam sistim yang baru ini
peran suami untuk berbuat baik sebagai ayah yang baik semakin sulit
untuk dilakukan. Akibatnya dalam sistim sudah terbentuk asumsi bahwa
suami tersebut adalah juga ayah yang tidak baik, menjadi semakin
kuat. Padahal belum tentu demikian. Mungkin ia suami yang pernah
jatuh, tetapi belum tentu ia suami yang tidak mencintai istrinya dan
belum tentu ia seorang ayah yang tidak baik. Mungkin yang terjadi
adalah, ia makin tidak mampu berperan sebagai suami yang baik dan
ayah yang baik sekarang.
Apakah ia suami yang tidak baik?
Celakanya setiap laki-laki yang jatuh dalam perselingkuhan (bukan
hanya perjinahan, karena perjinahan dimata Allah sudah terjadi pada
saat seorang berfantasi seksuil dengan orang lain - Mat. 5:27) sudah
dicap sebagai suami yang tidak mencintai istrinya dan suami yang
tidak baik. Padahal realitanya tidak selalu demikian. Memang ada
banyak laki-laki brengsek, tetapi tidak setiap laki-laki yang jatuh
dalam perjinahan adalah laki-laki brengsek. Daud hamba Allah yang
sangat dicintai Allah juga pernah jatuh (II Sam 11) bahkan Martin
Luther King. Jr yang jelas-jelas seorang hamba Tuhan yang sangat
berkharisma dan dipakai Tuhan juga berulang kali jatuh dalam
perjinahan.
Mungkin benar mereka adalah pribadi-pribadi yang addicted dalam
seks, yang sejak remaja telah membiasakan dirinya memenuhi kebutuhan
primer yang tak terpenuhi (unfulfilled primary needs, misalnya:
kebutuhan untuk dicintai, atau diterima sebagai satu pribadi yang
utuh, dsb) dengan seks. Tetapi mungkin juga tidak. Karena hidup
penuh dengan dinamika interaksi berbagai komponen kehidupan yang
kadang-kadang muncul tak terhindari dan tidak dapat dikuasai.
Misalnya, perubahan selera.
Nah, dalam konteks kasus di atas, konselor perlu mawas diri. Apa
benar suami adalah pribadi yang tidak baik? Apakah benar suami
tersebut tidak mencintai istrinya? Mungkin benar, tetapi mungkin
juga tidak, meskipun ia "pernah" mengatakan kata-kata di atas.
Interaksi dua pribadi selalu membawa muatan-muatan komponen
subjektifitas pribadi yang sudah terkondisi. Artinya, kalau suasana
hati/mood-nya lagi tidak OK saja, maksud baikpun sering
dikomunikasikan dengan cara yang tidak pas sehingga membawa muatan
berita lain yang semula tidak direncanakannya. Kemudian berita yang
"lain" tersebut ditangkap dan diresponi dengan negatif, sehingga
salah mengerti telah mendapat konfirmasinya. Sejak itu pengenalan
pribadi sudah berubah. Setiap kali berkomunikasi individu tersebut
tidak dapat lagi bersih prasangka. Lalu frekuensi konflik meningkat
dan gap antar mereka makin besar. Rasa cinta yang tadinya ada
sekarang semakin hilang bahkan lama kelamaan lenyap.
Di samping itu banyak wanita yang tidak menyadari akan keunikan
naturnya. Sebagai wanita, rasa cinta seringkali menyatu dengan
kebutuhan dan pemenuhan emosi. Jadi, kalau kebutuhan dan pemenuhan
emosi sudah dapat diperoleh melalui sarana lain misal: disalurkan
pada anak-anak seringkali kebutuhan untuk mencintai suami berkurang.
Banyak diantara mereka mengatakan "mencintai suaminya," padahal
mereka tidak mempunyai keinginan dan kebutuhan untuk mendekat,
meraba, memeluk, mencium, bercanda, dan menikmati kebersamaan dengan
suaminya. Mereka terjebak dalam sistim kehidupan buruk yang "tanpa
sengaja" telah diciptakannya sendiri. Bahkan banyak diantara mereka
telah membuktikan cinta dengan cara yang keliru misal: memberi
sesuai dengan kemauannya sendiri yaitu masak, menjaga anak,
menyediakan makanan, vitamin, juice buah-buahan, membersihkan dan
mengatur rumah tangga seolah-olah itu adalah cinta, padahal apa yang
suaminya inginkan, misalnya seks, jarang sekali mereka berikan.
Sampai setiap kali ada kebutuhan seks si suami sampai mengemis-
ngemis dengan resiko ditolak. Wanita-wanita ini mengaku mencintai
suaminya, padahal tidak. Mereka adalah wanita-wanita egoistik yang
tidak berbakti kepada Allah (I Kor 7:4-5) dan tidak mencintai
suaminya. Mereka adalah wanita-wanita yang berkanjang dalam dosa
"yang tidak disadari" (Mzm 19:13).
Kapan si suami berubah? Tahun-tahun pertama pernikahan mereka cukup
baik, mengapa berubah? Sebagai konselor kita perlu melatih kepekaan
terhadap realita kehidupan ini. Sehingga keluhan-keluhan subjektif
klien tidak menjebak konselor dalam empati yang menyesatkan.
Konselor perlu selalu mawas diri bahwa keluhan klien apapun juga,
hanyalah fenomena dari realita persoalan yang sesungguhnya yang ada
dibelakangnya. Seringkali persoalan klien bukan persoalan yang
diceritakan (suami berselingkuh) tetapi bagaimana ia melihat,
menafsir, dan bereaksi terhadap perselingkuhan itu. Dari sana akan
nampak siapa sebenarnya diri si klien. Kalau marah, mengapa ia
marah? Kalau panik mengapa ia panik? Apa yang sebenarnya yang ia
inginkan? Apa benar yang ia inginkan adalah kembalinya suaminya
kepadanya? Kembali dalam bentuk apa? Apakah akan mengulang sistim
hidup "buruk" seperti yang sudah-sudah? Pernikahan seperti apa yang
ia inginkan, dan apakah ia siap berperan sebagai istri yang benar-
benar mencintai suami dan membahagiakan dia?
Apakah ia benar-benar ingin hidup bahagia dengan suaminya?
Banyak wanita, dengan kasus seperti diatas, yang sebenarnya tidak
mempunyai definisi dan pengertian tentang kebahagiaan rumah tangga.
Seringkali keinginannya (supaya suaminya kembali) hanya lahir dari
motivasi yang keliru yaitu semata-mata cuma ingin "dibebaskan dari
persoalan yang mengganggu" saja. Mereka bahkan tidak mengerti, apa
"hal terbaik" yang akan mereka lakukan setelah suaminya kembali.
Kemungkinan besar, ketakutannya kehilangan suami bukan oleh karena
cintanya pada suami, tetapi karena alasan-alasan lain seperti
misalnya, jaminan finansial, status sosial, rasa berdosa,
hubungannya dengan orang tua, kerabat, dan teman-teman di gereja,
dan sebagainya. Bagi mereka yang tidak mencintai suami, sebenarnya
tidak mempunyai kerinduan untuk hidup bahagia dengan
suaminya.
Pengalaman hidup bersama suami, yang membekas dalam "berbagai luka
batin" biasanya telah menghapus kenangan-kenangan manis yang
"pernah" dialami pada tahun-tahun pertama pernikahannya. Melalui
pengalaman bersama yang saling melukai, laki-laki yang dikenalnya
selama ini sebagai suami sudah menjadi pribadi asing yang kehadiran
dan kedekatannya tidak dinikmati lagi. Konselor harus waspada,
mungkin posisi seperti itulah yang sedang dialami oleh wanita dalam
kasus di atas. Sehingga konseling yang efektif adalah: (a) menolong
klien menemukan dan menyadari dirinya, yaitu apa yang telah dan
sedang terjadi dalam dirinya. Kemudian, (b) berdasarkan imannya
menolong dia belajar mematuhi apa yang menjadi kebenaran firman
Tuhan. Misalnya, belajar membuktikan diri dapat mencintai dengan
cinta yang sehat yang dapat membangun dan dinikmati suaminya.
Disamping belajar menolong kedua anaknya untuk menghormati dan
mengasihi ayah mereka.