Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Retrospeksi
"Keutuhan pribadi (integrated personality) merupakan tujuan utama dari setiap pendidikan, baik itu formal maupun informal. Dengan kehidupan yang utuh (integrated life) manusia dapat menghadapi kondisi hidup sesulit apapun. Paulus di tengah aniaya penjara, tetap dapat merasakan selfcontent (tidak merasa kekurangan apapun juga) dan bahkan merasakan sukacita surgawi (Filipi 4:4-13) karena kehidupannya yang utuh. Ia tidak lagi terjebak dalam jerat konflik batin yang berlarut-larut (Roma 7: 13-25) antara apa yang ia percayai dan apa yang ia rasakan atau alami, karena ia berhasil membangun keutuhan hidupnya. Meskipun demikian tidak berarti Paulus terbebas sama sekali dari pergumulan hidup. Pengalaman dengan stres oleh karena kehidupan yang memang stressful tetap ada, tetapi ia bukan lagi seorang pribadi yang tidak berdaya. la, bersama dengan hamba-hamba Tuhan yang lain (Habakuk 3:16-19, Ibrani 11) adalah pemenang-pemenang yang pantas menerima mahkota kebenaran (II Tim 4:8). Bagaimana dengan kita? Mungkin beberapa pokok pikiran di bawah ini dapat membekali mereka yang merindukan kehidupan yang utuh.
- Jangan menyangkali (denying) realita (yang mungkin stressful dan conflicting), tetapi hadapi dan selesaikan dengan baik. Paul Tournier, seorang dokter dan psikolog, pernah mengatakan bahwa, "there ia no life without repression. We can not boldly commit ourselves without repressing our fears ... in the adults life, there ia no laughter that does not hide secret tears, either unadmitted or unconscious, nor are there any tears behind which ia not some repressed enjoyment" (tak pernah ada kehidupan tan pa tekanan. Tak mungkin secara utuh kita dapat membuat suatu komitmen pada apapun juga tanpa ada kekuatiran di belakangnya ... Dalam kehidupan orang dewasa, tak pernah ada gelak-tawa tanpa menyembunyikan air mata, meskipun mungkin ini tak diakuinya. Begitu juga, tak mungkin ada cucuran air mata yang semata-mata bernilai dukacita. Pasti ada unsur-unsur "suka-cita" yang ditekan dan sengaja dilupakan). (Reflections, Phil: Westminster Press. 1976).
Hidup ini memang selalu menyediakan dua sisi, yang saling berlawanan, untuk diresponi. Pemenangnya adalah mereka yang tahu memberi respons yang tepat yang justru dapat mengintegrasikan kedua unsur yang berlawanan tersebut dalam batinnya. Makin dewasa seorang ia makin mampu menerima tanpa menyangkali realita yang sesungguhnya. Bahkan kasih dan kebencian pun dapat diintegrasikan dalam jiwa orang yang dewasa. Seperti yang Tournier, dalam buku yang sama, katakan bahwa, "hatred and love are two emotions very, very close to one another ... He who can not hate intensely cannot love deeply." (Kebencian dan kasih merupakan dua macam emosi yang sangat dekat satu dengan lainnya ... Orang yang tak pernah dapat membenci sesama dengan sungguh-sungguh; tak mungkin dapat mencintai sesama dengan sungguh-sungguh pula). Dalam kehidupan yang utuh, dinamika jiwa dengan intensitas yang tinggi, tidak lagi monopoli dosa dan kebencian, karena dapat disalurkan untuk kasih dan kebaikan.
Sumber konflik batin dalam jiwa yang tidak utuh (unintegrated life) selalu berorientasi pada hak. Semakin rendah level kematangan pribadi seorang, semakin tidak integrative jiwanya, dan semakin besar kebutuhannya untuk menuntut pemenuhan haknya. Memang setiap orang "berhak" untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan primernya. Tetapi dalam Kristus, pseudo right ini (karena hanya untuk memenuhi kebutuhan sementara) diganti dengan genuine right, yaitu hak yang sejati yang dianugerahkan Allah. Hak ini tidak lagi self-centered, karena hak ini adalah hak untuk mengikut teladan Kristus yang menyangkali diriNya. Untuk mematikan kuasa dosa, hanya ada satu jalan yaitu penyangkalan diri. Dengan prinsip yang sama Paulus berkata, "... apakah upahku? Upahku ialah . . . melayani tanpa upah (I Kor 9:18)." Dengan hak yang sejati inilah kita menjadi pemenangpemenang di tengah kehidupan yang stressful pada jaman ini.