Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Tahap Pembentukan Relasi
Edisi C3I: e-Konsel 113 - Membangun Hubungan dengan Konseli
Tahap awal konseling biasanya menjadi tahap paling sulit, baik bagi konselor maupun klien. Barangkali ini mengejutkan bagi sebagian orang. Tetapi demikianlah kenyataannya. Ketika itu, untuk pertama kalinya mereka saling bertemu dalam relasi yang dalam arti tertentu bisa dikatakan formal tetapi juga tidak formal; hangat, tapi juga jauh; dan bagi sejumlah orang, bersifat sementara dan tidak alamiah. Mereka harus mengusahakan suatu relasi yang dapat disepakati dan menciptakan suasana kondusif bagi mereka untuk menangani masalah- masalah. Kadang-kadang ini tidak mudah dan konseling mungkin saja gagal jika klien tidak dilibatkan secara tepat dalam kerja sama dengan konselor.
Di beberapa wilayah Asia, mencari suatu pertolongan psikologis dianggap sebagai hal yang relatif baru sehingga konseling terkadang dipandang dengan curiga. Klien tidak cukup tahu dan mungkin saja berusaha mendapatkan konseling tanpa mencari penjelasan sebelumnya. Mereka mungkin saja mengalaminya sebagai sebuah gagasan baru dan tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Di atas semuanya itu, jarang sekali orang pergi menemui seseorang yang belum dikenal untuk membeberkan masalah-masalah pribadi.
Kadang-kadang klien mungkin saja memikirkan konselor sebagai seseorang dari kalangan profesi medis atau serikat agama tertentu. Mereka sudah terbiasa mencari pertolongan dari orang-orang ini dan barangkali tidak mengerti peranan para konselor. Ketika mempertimbangkan hal ini, mungkin mereka mengajukan sejumlah pertanyaan tentang konselor, latar belakangnya, pengalaman kerjanya, dan kehidupan pribadinya. Ho (1987) dalam "Family Therapy with Ethnic Minorities" menyarankan agar konselor tidak merasa enggan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan klien agar mereka bisa percaya pada konselor dan hubungan klien-konselor pun dapat berjalan baik. Pokok ini penting untuk diingat sebab para konselor cenderung mengambil sikap budaya Barat, terlebih karena kebanyakkan kepustakaan dan model pelatihan berasal dari Barat. Mereka bisa saja lupa menyesuaikan konteks.
Pada tahap awal konseling ini, konselor harus fokus pada usaha membentuk relasi dengan klien. Ini mencakup usaha melibatkan klien pada suatu kerja sama untuk memulai proses konseling sehingga sasaran-sasaran konseling dapat tercapai. Apa pun nama yang kita berikan pada relasi kerja sama itu, sasarannya adalah agar konselor bisa masuk dalam kehidupan klien untuk membantu dan mengarahkannya pada solusi efektif atas masalah-masalahnya. Inilah tugas konselor dalam pertemuan pertama.
Pesan favorit Jay Haley bagi para stafnya sebelum mereka bertemu dengan klien adalah "Berusahalah mengenal klien dan usahakan agar ia menyukai Anda." Ia yakin, bila pertemuan pertama dapat berjalan lancar dan jika klien dapat merasa senang dengan konselor, intervensi lebih jauh lagi akan dapat dilakukan. Minuchin menyatakan bahwa seorang konselor harus mendapatkan hak untuk bisa masuk ke dalam kehidupan klien dan harus berusaha menarik klien untuk bisa bekerja sama pada tahap awal. Ini menuntut keluwesan sehingga dengan cepat dapat menyesuaikan diri dengan sosok dan situasi klien. Jika klien sedih, konselor harus bersedia bersikap ramah dan memberi perhatian. Jika klien terbiasa memperlihatkan sikap resmi, konselor mungkin perlu bersikap rileks dan tidak formal untuk meredakan ketegangan. Jika klien bersikap bermusuhan, sebaiknya konselor berbicara lembut dan memberi tahu klien, "Saya siap mendengarkan Anda dan bersedia bekerja sama dengan Anda untuk memecahkan masalah apa pun yang Anda hadapi."
Agar dapat bekerja sama secara efektif dengan klien, konselor harus memperlihatkan sikap bahwa ia tertarik pada masalah klien dan sedang berusaha bekerja sama dengan klien. Seperti yang ditekankan Haley, adalah penting bagi klien untuk merasakan kehadiran konselor di sisinya. Ini dapat diwujudkan dengan memperlihatkan minat mendalam kepada klien.
Orang datang tidak hanya datang untuk meminta pertolongan, tetapi juga untuk dikuatkan dalam sikap-sikap mereka dan agar muka mereka diselamatkan. Saya memperhatikan hal ini dan hampir dapat dipastikan bahwa saya akan berbicara dalam satu cara yang membuat mereka berpikir bahwa saya ada di sisi mereka (Haley, 1973).
Mempersatukan itu butuh waktu. Tidak seorang konselor pun boleh memburu-buru pasien untuk itu. Jika para klien dapat dilibatkan secara tepat, biasanya mereka akan menjadi lebih kooperatif.
-
Tahap Pertama
-
Kontak awal
-
Tahap sosial
-
Menata Pertemuan
-
Tahap Penggalian dan Pemahaman
Tahap pertama konseling dimulai dengan berbagai bentuk kontak awal yang dilakukan klien terhadap biro. Sejumlah klien datang begitu saja tanpa membuat perjanjian terlebih dulu sebab mereka mengandaikan bahwa konselor bisa dijumpai kapan pun mereka membutuhkan pertolongan. Jika biro Anda terbuka untuk menerima klien yang datang tanpa perjanjian terlebih dulu, tentunya ada langkah- langkah untuk menerima klien-klien ini, misalnya menjelaskan apa yang dilakukan biro itu dan memperkirakan jenis bantuan yang dibutuhkan.
Kebanyakan biro menerima klien melalui telepon untuk membuat janji pertemuan terlebih dulu. Kontak telepon ini harus ditangani secara tepat sehingga jauh sebelum pertemuan klien mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. Biasanya klien akan dimintai sejumlah keterangan. Baik juga jika mereka bisa menerangkan secara ringkas bagaimana mereka mengetahui pelayanan biro itu dan jenis bantuan yang diperlukan. Akan baik juga jika konselor pada tahap ini menanyakan orang-orang dekat lainnya yang mungkin mengetahui masalah yang dihadapi klien. Keluarga langsung, jalinan kekerabatan, dan orang-orang lain yang terlibat dapat diundang untuk menghadiri pertemuan pertama. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat ada klien yang mungkin tidak menghendaki seorang anggota keluarga lainnya atau siapa pun juga, tahu tentang kontaknya dengan konselor. Klien-klien tertentu bahkan tidak menghendaki anggota keluarga lain itu terlibat dalam cara apa pun juga.
Sangatlah penting bagi klien untuk mendapatkan informasi tentang biro tersebut dan barangkali juga biaya yang harus dibayar. Semakin banyak pusat konseling yang menarik bayaran dan hal ini harus dikatakan, mengingat praktik seperti ini sudah diterima secara umum. Yang paling penting di sini adalah berupaya sejauh mungkin untuk memberikan kesan bagi klien sehingga merasakan kontak telepon sebagai ungkapan selamat datang sehingga proses pembentukan relasi dapat dimulai dari tahap ini.
Karena kontak awal dengan biro tersebut belum tentu merupakan kontak dengan konselor, maka pertemuan pertama tentunya merupakan saat pertama di mana konselor dan klien saling berjumpa satu sama lain. Untuk alasan ini, konselor tidak boleh lupa untuk membuat klien merasa diterima dan senang. Haley (1987) menunjuk hal ini sebagai tahap sosial dari wawancara pertama. Ho (1987) mengingatkan bahwa keramahan hubungan antarpribadi, yang untuk sebagian besar merupakan gaya hidup orang Asia, tidak boleh diabaikan.
Konselor harus menyapa klien dan berusaha membuatnya senang. Sebaiknya klien dipersilakan untuk menentukan di mana ia ingin duduk. Setelah ia memilih tempat duduknya, barulah Anda duduk. Tindakan ini dimaksudkan untuk membuat klien merasa rileks dan diterima. Jika ada satu bahan yang dapat dibicarakan secara umum, mulailah dengan pokok pembicaraan tersebut. Mungkin kita bisa mulai dengan membicarakan masalah lalu lintas. Karena konselor diharapkan mengetahui latar belakang klien, pengetahuan konselor tersebut dapat juga dijadikan titik awal, misalnya saja tentang sekolahnya atau tempat kerjanya. Jika klien berminat pada satu permainan atau olah raga tertentu, bicaralah tentang hal tersebut. Pendeknya, usahakan membuat ikatan dengan klien.
Kemudian, topik percakapan dapat dialihkan pada tujuan klien dengan konseling tersebut. Cari tahu bagaimana ia mengetahui biro Anda dan apa yang sudah dikatakan orang padanya. Jika ternyata ia adalah klien rujukan, tanyakan siapa yang merujuknya dan mengapa. Berilah ia sedikit kesempatan untuk berbicara. Kadang-kadang klien mengandaikan konselor telah mengetahui latar belakangnya karena sudah ada kontak awal ketika membuat perjanjian pertemuan. Dalam kasus ini, konselor dapat segera menyinggung bahwa ia sudah tahu kebutuhan klien dan gembira dapat bertemu klien secara pribadi.
Jika konselor melihat lebih dari satu orang dalam pertemuan pertama itu, ia dapat memulai dengan salah seorang dari antara mereka yang kelihatan siap untuk berbicara, kemudian beralih pada yang lain. Sekali klien mulai berbicara, konselor harus membuat parafrase, memantulkan perasaan-perasaannya, menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, penajaman, dan peringkasan. Tujuannya adalah mempermudah klien untuk membuka diri dan menghayati apa yang sedang dibicarakan. Pertanyaan-pertanyaan tertutup harus dihindari dan dipakai hanya untuk memeriksa dengan tujuan memperjelas dan mencari informasi.
Jika seluruh anggota keluarga datang bersama-sama, konselor perlu mempermudah interaksi di antara para anggota keluarga itu. Memberi kesempatan pada setiap anggota untuk berbicara akan membantu keluarga tersebut untuk merasa dibutuhkan dalam pertemuan itu. Jika orang tua juga hadir, mereka harus diberi kesempatan bicara terlebih dulu. Ini wajar mengingat dalam kebudayaan Asia orang tua memandang diri mereka sebagai nakhoda keluarga dan mengenai hal ini kita perlu menghargainya. Apabila berhadapan dengan orang yang lebih tua, konselor yang berusia muda harus selalu memperlihatkan sikap penuh hormat dan rendah hati. Ia juga harus berbicara kepada mereka secara tepat dengan bahasa yang sungguh-sungguh mereka kenal. Jika berhadapan dengan pasangan suami-istri, setelah tahap sosial awal, konselor barangkali ingin berbicara dengan salah satu pihak yang memperlihatkan keengganan dalam mengungkapkan masalah yang membuat mereka melakukan konseling. Konselor harus selalu memimpin pertemuan tersebut. Ia tidak boleh membiarkan keluarga itu berdebat secara berkepanjangan. Sebaliknya, ia harus mengarahkan jalannya percakapan dan melakukan campur tangan kapan pun salah seorang terlihat menguasai pertemuan itu. Keterampilan yang harus selalu dipraktikkan adalah membuat ringkasan. Langkah ini adalah untuk memberi jeda dalam pertemuan itu, sehingga konselor akan dapat memberi kesempatan bicara pada pihak yang lain.
Amatlah penting bagi konselor untuk dapat menghadirkan struktur pertemuan dan proses konseling sebagai satu kesatuan. Ia dapat mulai dengan memperkenalkan dirinya sendiri secara singkat. Ini akan membantu klien mengenal si konselor, entah ia seorang dokter, rohaniawan atau pekerja sosial. Terkadang ada lebih dari satu staf hadir dalam pertemuan itu; mungkin ia adalah satu-satunya orang yang paling tahu tentang biro itu dan apa itu konseling. Konselor dapat merencanakan apa yang harus ia katakan. Kepada seorang anak yang diikutsertakan dalam konseling, saya biasanya menanyakan apa yang dikatakan padanya tentang diri saya. Sejumlah orang tua membawa anak-anak menemui saya dan mengatakan pada mereka bahwa mereka datang untuk mengunjungi "Paman Antoni", tanpa menjelaskan lebih jauh lagi. Saya biasanya mulai dari situ dan memberi kesempatan pada orang tua untuk menjelaskan apa yang dikerjakan "Paman Antoni" dan secara singkat menjelaskan mengapa mereka diajak untuk menemui saya.
Konselor dapat meneruskan pertemuan dengan menceritakan satu hal tentang biro itu dan apa saja pelayanan yang diberikan lalu membicarakan apa yang diharapkan klien dari pertemuan tersebut. Jelaskan bahwa langkah itu merupakan pertemuan konsultasi atau pertemuan penjajagan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dan bagaimana klien dapat dibantu.
Konselor juga harus memiliki kepekaan khusus jika ia tahu ada orang lain dalam pertemuan tersebut yang datang dengan perasaan terpaksa. Hal seperti ini biasanya terjadi dalam kasus konseling perkawinan di mana suami diminta untuk hadir di luar kehendaknya sendiri. Anak usia remaja juga bisa jadi dipaksa untuk hadir oleh orang tuanya yang yakin bahwa dialah "masalahnya".
Konselor harus bersikap lebih ramah dan lemah lembut kepada orang- orang yang terpaksa ini dan harus berbicara dengan baik. Kadang- kadang konselor juga perlu memberi tahu orang itu bahwa tidak apa- apa untuk tetap diam jika ia memang ingin begitu. Kadang-kadang setelah berbicara sedikit, saya akan memutuskan untuk berbicara dengan orang yang bersikap enggan tersebut secara pribadi, sekadar memberi perhatian khusus kepadanya. Saya akan mengungkapkan penghargaan saya atas kedatangannya kendati ia tidak bersedia. Dan saya akan memberi tahu dia bahwa saya merasa senang jika ia dapat menceritakan pada saya apa yang ia ketahui tentang masalah itu.
Lazimnya, pertemuan konseling di Barat berlangsung antara 45 menit sampai satu jam. Barangkali hal ini masih agak asing di Asia mengingat pembatasan waktu masih merupakan hal baru bagi klien. Konseling dalam suasana resmi masih relatif baru dan para konselor tidak dapat mengandaikan bahwa klien mengetahui kapan pertemuan tersebut harus berakhir. Konselor harus memberi tahu klien berapa lama pertemuan konseling itu akan berlangsung. Informasi ini dapat disampaikan ketika melakukan kontak telepon. Biasanya akan sangat baik jika membatasi waktu pertemuan yang tidak lebih dari satu setengah jam kecuali ada situasi-situasi gawat atau kecuali konselor mempunyai jadwal yang sangat longgar. Banyak juga orang yang menganggap bahwa beberapa hal dapat diselesaikan dalam waktu satu jam, meskipun pertemuan pertama mungkin membutuhkan lebih banyak waktu. Pada akhir pertemuan pertama, klien juga harus diberi tahu kapan pertemuan-pertemuan selanjutnya akan diadakan.
Berbicara tentang tahapan, konseling bergerak dari satu tahap ke tahap lainnya (Yeo, 1981). Setiap tahap mempunyai fokus tertentu, tetapi batasan setiap tahap tersebut tidak begitu tegas. Konseling merupakan satu situasi dinamis dan ketika konselor masuk dalam tahap pembentukan relasi, yang merupakan tahap awal dalam setiap konseling, ia juga sudah masuk dalam tahap penggalian dan pemahaman.
Tahap tengah dalam konseling ini merupakan bagian integral dari pertemuan pertama. Tahap ini merupakan bagian dari proses pembentukan relasi dan berkaitan dengan tahap pemecahan masalah. Pada tahap ini konselor masuk sedikit lebih jauh dalam dunia klien dengan penggunaan pertanyaan-pertanyaan dan pemusatan yang tepat. Dalam tahap ini ia mengarahkan klien untuk membicarakan masalah yang ia ajukan beserta dengan latar belakangnya. Sasarannya adalah membimbing klien untuk merumuskan masalahnya dan kemudian melanjutkannya dengan pemecahan masalah.
Harus jelas bahwa dalam tahap ini konselor harus mampu merumuskan masalah yang diajukan. Beberapa petunjuk dari Haley (1987) dapat kita simak. Pertama, ia menyarankan agar konselor tidak membuat tafsiran atau komentar apa pun yang membuat klien melihat masalahnya dari sudut pandang lain. Ia hanya dituntut untuk menerima apa yang dikatakan klien. Kedua, konselor tidak boleh memberi nasihat pada tahap ini, bahkan apabila ia diminta. Ketiga, ia harus memusatkan perhatiannya pada usaha mengumpulkan informasi dan pendapat- pendapat. Keempat, ia harus mengarahkan perhatiannya pada satu pokok penting dan tidak terpecah pada masalah-masalah lainnya.
Pada titik ini, pusat perhatian harus diarahkan pada masalah yang diajukan. Setiap penelaahan terhadap masa lampau dan masalah-masalah lainnya, betapa pun menariknya, atau kelihatan penting di mata konselor, haruslah dihindari. Demikian juga konselor tidak perlu menangani konflik-konflik perkawinan apabila seorang anak dihadirkan sebagai "problem" atau "pasien yang ditunjuk". Sejumlah terapis keluarga memang sering kali membuat dugaan bahwa anak yang memiliki problematika biasanya merupakan gejala sebuah perkawinan yang bermasalah, tetapi konselor tetap saja harus menangani masalah yang diajukan. Masalah perkawinan dapat ditangani kemudian dalam pertemuan-pertemuan lain, atau pada saat pasangan suami-istri tersebut sudah siap untuk itu.
Sumber diedit dari:
Judul buku | : | Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah |
Judul artikel | : | Tahap Pembentukan Relasi |
Penulis | : | Anthony Yeo |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004 |
Halaman | : | 139 - 148 |