Menanamkan Rasa Tanggung Jawab pada Anak

Edisi C3I: e-Konsel 146 - Memahami Remaja

Tugas orang tua tidak hanya membesarkan dan mencukupi kebutuhan anak-anak mereka saja. Orang tua juga harus bisa mendidik anak-anak mereka untuk memiliki rasa tanggung jawab. Dengan demikian, ketika anak-anak itu dewasa, mereka dapat membawa diri dengan baik. Dalam tanya-jawab dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi Ph.D. berikut ini diuraikan bagaimana orang tua bisa melaksanakan tugas tersebut. Silakan simak!

MENANAMKAN RASA TANGGUNG JAWAB PADA ANAK
T : Apakah tanggung jawab tidak dengan sendirinya ada dalam diri
setiap anak atau setiap orang?
J : Kenyataannya memang tidak. Anak-anak itu sebetulnya lahir tanpa
memunyai kesadaran akan tanggung jawabnya. Jadi, tugas orang
tualah menumbuhkan rasa tanggung jawab itu. Anak-anak memang
dilahirkan untuk bergantung pada orang tuanya, dan dalam
kebergantungan itu, anak-anak mengharapkan orang tua melakukan
semuanya bagi si anak. Dalam fase ini, si anak memang belum
mampu untuk mengerjakan semuanya sendiri. Namun perlahan-lahan,
orang tua harus melatih atau menanamkan rasa tanggung jawab pada
si anak sehingga pada akhirnya si anak akan melepaskan diri dari
orang tua dan mulai melakukan apa yang harus ia lakukan bagi
dirinya sendiri.
T : Sejak kapan sebenarnya orang tua sudah mulai bisa menanamkan
rasa tanggung jawab pada anak dan dalam bentuk apa?
J : Sebetulnya, tidak ada patokan usia yang baku. Namun pada
intinya, kita mulai menanamkan rasa tanggung jawab itu pada anak
sedini mungkin. Usia sedini mungkin ini sudah tentu adalah usia
di mana anak mulai dapat berinteraksi dengan orang tua,
mendengarkan atau menerima instruksi dari orang tua, dan dapat
mengomunikasikan dirinya pada orang tua. Ini adalah sesuatu yang
penting sekali untuk dimiliki oleh si anak.
T : Dalam bentuk apa, orang tua bisa melatih tanggung jawab pada
anak?
J : Misalkan kita ingin menanamkan tanggung jawab agar si anak itu
mengurus dirinya; ini adalah hal yang sederhana. Salah satu hal
yang penting dalam pertumbuhan seorang anak adalah si anak
memiliki kemampuan atau merawat dirinya secara jasmani.
Misalnya, menggosok gigi; otomatis kita harus mengajar anak
untuk menggosok giginya. Namun setelah menjadi kebiasaan,
kegiatan ini mulai harus diingatkan kepada si anak sehingga pada
akhirnya ialah yang akan memikul tanggung jawab untuk menggosok
giginya. Pada waktu usianya meningkat, misalnya 8, 10 tahun,
orang tua mulai menanamkan tanggung jawab tidak saja merawat
tubuh, tapi juga barang-barang kepunyaan si anak itu. Anak
diajarkan untuk membereskan tempat tidurnya, menaruh sepatunya
di tempat yang seharusnya, meletakkan piring di dapur, dan
sebagainya. Ini berkembang ke usia dewasa sebab kalau anak-anak
sudah menginjak usia remaja, kita juga akan menanamkan tanggung
jawab untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan
emosionalnya dan sebagainya.
T : Kesulitan orang tua adalah tidak memunyai semacam kurikulum atau
tingkatan-tingkatan sampai di mana mengajarkan tanggung jawab
kepada anak.
J : Betul. Memang betapa indahnya kalau kita memunyai pedoman.
Namun secara garis besar atau prinsip umumnya, kita ini
melimpahkan tanggung jawab pada si anak dalam hal-hal yang
bersifat alamiah atau natural atau bersifat sehari-hari. Tuhan
akan menumbuhkan pengetahuan itu dalam diri kita, bahwa ada
hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Sebagai orang
tua yang memerhatikan anak, dengan sendirinya kita mulai
memiliki kesadaran tersebut.
T : Kalau seorang anak dalam tingkat usianya itu bertanggung jawab,
apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya?
J : Waktu ia mulai memikul tanggung jawab, yang akan terjadi adalah
ia akan lebih bisa memercayai kelebihannya. Sebab akan ada
banyak hal yang mampu ia lakukan, hal-hal kecil yang tadinya
ia pikir tidak berguna, tapi waktu ia mulai lakukan,
sesungguhnya itu akan menumbuhkan rasa keyakinan dirinya. Dengan
kata lain, hal-hal kecil seperti itu akan menjadi suatu proyek
yang sekarang dikuasai oleh si anak, ia mengerti bagaimana
melakukan tugas-tugas kecil seperti itu. Ini berdampak bagi
kepercayaan diri si anak itu.
T : Di samping keyakinan diri, adakah hal lain yang timbul dalam
diri si anak?
J : Yang lainnya lagi adalah kita menyadari bahwa pada akhirnya
anak-anak itu harus bekerja, ia tidak akan dianggap sebagai
manusia yang berharga kalau ia sama sekali tidak bekerja.
Pekerjaan memunyai satu substansi, satu akar, yakni tanggung
jawab. Jadi, orang tua perlu mengajarkan anak-anak bertanggung
jawab agar nanti si anak menjadi seorang pekerja yang baik. Ini
kita siapkan, pertama dari melakukan sesuatu karena menyadari
kegunaannya, kedua melakukan sesuatu karena memang diwajibkan.
Kedua-duanya harus berimbang dan dimiliki oleh si anak. Ini dua
hal yang menjadi bahan yang sangat penting untuk kesuksesannya
dalam pekerjaannya pada masa mendatang.
T : Kadang-kadang di dalam satu keluarga yang anaknya cukup banyak
atau kondisi perekonomiannya kurang, biasanya anak yang sulung
mendapatkan beban yang rasanya terlalu berat. Misalnya,
menggendong adiknya di mana ia sendiri masih kecil, atau bahkan
malah bekerja. Apakah dampaknya pada diri anak itu?
J : Anak-anak yang terlalu kecil untuk memikul tanggung jawab yang
sebesar itu akhirnya akan kehilangan masa kecilnya. Artinya,
mereka yang seharusnya hidup pada tahap usianya terpaksa
dikarbitkan untuk hidup di luar usianya. Hal-hal yang seharusnya
ia dapatkan di usia itu, misalnya bergantung pada orang, bermain
dengan teman-teman sebayanya, akan hilang sebab tugas yang harus
ia lakukan adalah membantu orang tuanya itu.
T : Kalau kita memberikan tanggung jawab itu sedini mungkin, apakah
tidak ada pengaruh dengan hubungannya atau interaksi dengan
sesamanya, khususnya teman-teman sebayanya?
J : Kalau kita memberikan tugas yang berlebihan pasti mengganggu.
Secara prinsip, kita harus selalu mengingat bahwa anak-anak itu
memerlukan waktu bermain jauh lebih banyak daripada hal-hal yang
berhubungan dengan tanggung jawabnya. Semakin kecil, semakin
banyak waktu bermain yang ia butuhkan, dan waktu untuk
bertanggung jawab itu sebetulnya masih sangat kecil sekali, jadi
jangan sampai kita salah prioritas. Anak usia 4, 5 tahun, kita
wajibkan ia untuk mengepel, menyapu, dan sebagainya, dan ia
akan kehilangan waktu bermainnya, sedangkan itu adalah
bagian yang sangat penting dalam pertumbuhannya.
T : Apakah teman-temannya itu tidak bisa memengaruhi rasa tanggung
jawab anak?
J : Teman-teman sebetulnya bisa memengaruhi tanggung jawabnya.
Dalam pengertian, teman-teman bermainnya akan mengajaknya
melakukan sesuatu untuk mengerjakan sesuatu pula. Dalam
kesempatan seperti itu, si anak juga berkesempatan untuk
mengembangkan tanggung jawabnya, misalnya temannya berkata,
"E ..., besok jangan lupa ya, membawa gundu atau kelereng." Ia
besok akan membawa kelereng. Hal yang berkaitan dengan teman
seperti itu juga akan bisa menumbuhkan tanggung jawab. Tapi
biasanya memang tanggung jawab yang menyenangkan, sedangkan kita
juga mau menanamkan tanggung jawab yang multidimensional yang
bukan saja menyenangkan, melainkan juga hal-hal yang tidak
terlalu menyenangkan.
T : Kalau anak itu menghadapi dua hal pilihan untuk tanggung jawab,
di satu sisi ia sudah berjanji kepada temannya, tapi pada sisi
yang lain, orang tuanya memberikan tanggung jawab. Bukankah ini
bisa jadi membingungkan? Mana yang harus ia prioritaskan?
J : Kalau memang si anak itu sudah berkata pada orang tuanya: "Bu,
Pak, saya besok sudah berjanji untuk bermain sepak bola setelah
sekolah," orang tua memang harus menimbang apakah sedemikian
perlunya si anak membatalkan janji untuk bermain sepak bola itu.
Kalau orang tua berpikir tugas ini bisa ditangguhkan, silakan
tangguhkan, biarkan si anak main sepak bola dulu, setelah itu
baru katakan, "Saya minta engkau membantu saya setelah sepak
bola."
T : Berkaitan dengan tanggung jawab ini, apa firman Tuhan yang bisa
dijadikan pedoman, khususnya untuk orang tua?
J : Amsal 12:11, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan
makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia tidak berakal
budi." Salah satu ciri orang yang bertanggung jawab adalah ia
akan lebih realistis, anak-anak yang dilatih sejak kecil untuk
belajar bertanggung jawab menjadi anak-anak yang mengerti
realitas kehidupan. Justru anak-anak yang tidak mengerti
tanggung jawab, mengertinya hanya menuntut orang untuk melakukan
semua baginya akan seperti dikatakan di Alkitab tadi, "mengejar
barang yang sia-sia" atau mengejar barang yang tidak ada. Jadi
sekali lagi, firman Tuhan juga mengajarkan anak-anak Tuhan untuk
bertanggung jawab atas dirinya, atas kebutuhannya. Ia perlu
makan, ia perlu bekerja dengan cara mengerjakan tanahnya.
T : Apakah orang lain bisa tahu bahwa seseorang itu memang punya
tanggung jawab atau tidak?
J : Salah satu hal yang akan bisa kita lihat adalah anak-anak yang
bertanggung jawab berani mengakui perbuatannya; itu salah satu
ciri atau tolok ukur yang penting sekali. Anak-anak yang
seolah-olah rajin, banyak bekerja, dan sebagainya, tapi belum
berani mengakui apa yang telah ia kerjakan, belumlah memiliki
kedewasaan. Jadi, janganlah kita terkecoh oleh kerajinan. Anak
yang bertanggung jawab tahu apa kaitannya dengan dirinya
sehingga waktu ada sesuatu terjadi atau melakukan hal yang
keliru atau salah, ia berani berkata, "Saya yang salah."
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
TELAGA - Kaset T054A
Penerbit: 
--