Pengampunan adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Pengampunan membebaskan, menyembuhkan manusia dari segala macam perasaan yang merugikan, seperti marah, kecewa, benci, dendam, sakit hati dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Di samping itu, realitanya pengampunan merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Ada proses yang harus dijalani untuk seseorang bisa mengampuni atau menerima pengampunan dengan benar.
Ada beberapa pandangan umum yang salah mengenai pengampunan. Pandangan umum yang pertama ialah "mengampuni berarti melupakan" seolah-olah kita harus "forgive and forget." Melupakan disamakan dengan mengampuni. Pandangan ini seringkali mengaburkan arti dari pengampunan itu sendiri, karena mengampuni sebenarnya terjadi ketika seseorang secara sadar mengampuni kesalahan orang lain yang dilakukan terhadap dirinya. Ia mengampuni bukan karena sudah lupa akan apa yang terjadi, tetapi karena secara sadar berusaha mengampuni kesalahan yang sudah dilakukan. Pengampunan tidak menghapus fakta bahwa sesuatu yang menyakitkan pernah terjadi di masa lalu. Pengampunan tidak menghilangkan bekas luka/sakit hati yang dialami, tetapi pengampunan menyembuhkan luka tersebut. Pengampunan berhubungan dengan "healed memory" (memori yang disembuhkan), bukan "deleted memory" (memori yang dibuang). Melalui pengampunan, luka lama yang tidak bisa dibuang/dihilangkan itu mengalami proses penyembuhan.
Pandangan umum yang kedua ialah "mengampuni berarti kita tidak boleh marah atau menunjukkan emosi yang kuat." Emosi kuat yang berhubungan dengan kenangan lama merupakan tanda bahwa kita belum mengampuni. Dengan kata lain, kita harus "free of anger"/bebas dari perasaan marah. Pandangan ini juga tidak sepenuhnya benar, karena tidak hadirnya emosi yang kuat tidak menjamin bahwa kita sudah membereskan masalah dan sudah mengampuni. Ada individu-individu tertentu yang cenderung untuk menyimpan perasaannya dan tidak menunjukkan emosinya, tetapi hal ini tidak berarti bahwa ia telah mengampuni. Jadi, hadir atau tidak hadirnya emosi yang kuat memang tidak bisa dijadikan ukuran apakah seseorang sudah mengampuni atau belum.
Pandangan umum yang ketiga ialah "mengampuni berarti kita hidup "damai" dan tidak lagi konflik dengan orang tersebut." Artinya, hindari konflik, tidak boleh membela diri, tidak boleh mengkonfrontasi kesalahan. Mengampuni seringkali diartikan dengan menerima kesalahan orang, tanpa membicarakannya secara terbuka. Membicarakan secara terbuka sering diidentikkan dengan memicu konflik. Hal ini tentunya akan membuat masalah terpendam, dan tidak terselesaikan.
Sebagai contoh, seorang suami yang selingkuh misalnya, menuntut istrinya untuk diam dan tidak membahas masalah perselingkuhannya. Bahkan ia juga menolak untuk pergi ke konselor dan mencari pertolongan. Ia berpikir bahwa masalahnya sudah selesai dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Jika si istri mau membicarakan atau mengonfrontasi masalah perselingkuhannya, suami akan sangat marah dan merasa bahwa ia toh sudah kembali kenapa belum memaafkannya. Padahal justru dengan hanya diam saja, dan masalah tidak dibahas, si suami tidak pernah menyadari akar kejatuhannya dan bagaimana cara mengatasinya.
Beberapa pandangan yang salah ini seringkali juga membuat seseorang mengalami masalah di dalam mengampuni. Pengampunan tidak sama dengan melupakan, tidak sama dengan tidak marah, dan tidak sama dengan diam-tidak konflik. Jadi apa sebenarnya pengampunan itu?
Pengampunan memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, tetapi setiap kita bertanggung jawab kepada Tuhan atas hidup kita masing-masing. Adalah omong kosong jika kita menyatakan diri kita sebagai orang Kristen, tetapi menyimpan sejumlah kebencian di dalam hati. Pengampunan membuka kemungkinan bagi kita untuk hidup tidak menyimpan dendam/kebencian.
Links:
[1] https://c3i.sabda.org/kategori_bahan_c3i/parakaleo
[2] https://c3i.sabda.org/jenis_bahan_c3i/artikel
[3] https://c3i.sabda.org/fokus_c3i/fokus_c3i_september_2014_mengampuni_di_tengah_kepahitan