Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Berfokus pada Tuhan
Edisi C3I: e-Konsel 075 - Kepribadian Konselor Kristen
Sekali lagi kita melihat perlunya memfokuskan diri pada kemuliaan Tuhan dalam memberikan pelayanan konseling. Tentu saja tragedi akan menimpa orang-orang yang setiap hari hidup untuk berusaha mendapatkan kepuasan, karena dengan upaya itu juga mereka akan kehilangan kepuasan tersebut!
Bilamana orang-orang yang sakit jiwanya ini datang pada kita untuk konseling, kita perlu mendorong mereka supaya menghormati dinamika paradoks spiritual Yesus; yaitu mengalihkan arah fokus mereka, agar jiwa mereka mendahulukan Tuhan sebelum hal-hal yang bersangkutan dengan mereka, dan sesudah itu mengatur cara-cara hidup mereka supaya konsisten dengan fokus tersebut. Sungguh disesalkan, banyak konseling masa kini yang bertujuan menguatkan fokus konseli pada diri sendiri. Menjungkirbalikkan eksegesis (penafsiran Alkitab) serta teologi untuk membenarkan strategi tersebut. Sekalipun demikian, dalam upaya seperti ini, nasihat yang diberikan semakin menyedihkan: selain jelas salah menurut Kitab Suci, juga membahayakan diri konseli.
Betapa jauh lebih bijaksana dan menghormati Tuhan apabila kita mau mengakui kuasa utusan Yesus dan kebenaran firman-Nya, serta membuktikan bahwa paradoks spiritual yang diberikan-Nya kepada kita mempunyai kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia.
"Mungkin di mata dunia, penyaliban diri dan pengudusan diri tampak sebagai suatu kebodohan serta kesia-siaan; karena kedua hal itu sama tidak berartinya seperti menanamkan benih jagung yang baik bagi seorang anak dan seorang bodoh. Namun, tidak demikian kehidupan seorang yang menemukan hal itu, yaitu dengan menaburkan benih Roh Kudus, ia akan menuai kehidupan kekal." [J.C. Ryle, Expository Thoughts on the Gospels: John (Greenwood, S.C.: Attic Press, 1965), 2:333.]
Ringkasnya, kerohanian seorang konselor alkitabiah harus serupa dengan yang diungkapkan oleh pemazmur Daud:
"Tinggikan diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi!" (Mazmur 57:5).
Jadi, tujuan utama seorang konselor seharusnya adalah mengusahakan supaya semangat yang sama ini berfungsi sebagai sikap pengendali dalam kehidupan konseli. Hanya hati orang yang mau mengalah pada hasrat yang disebutkan oleh pemazmur tadi yang akan dipenuhi oleh doa, "Tinggikan diri-Mu, ya Allah," maka orang tersebut akan mengenal kedamaian yang ingin sekali diberikan Tuhan kepada anak-anak-Nya.
Nyatanya, dunia moral menuntut saya menjalani hidup dengan cara-cara yang dapat memuliakan-Nya ketimbang untuk kemuliaan saya sendiri; bagaimanapun juga, Tuhan adalah Allah, dan saya bukan Tuhan! Akan tetapi, kebutuhan jiwa saya yang terdalam juga mencegah saya memuliakan Tuhan sebagai Allah, dengan tunduk pada semua standar-Nya serta mengikuti perintah-Nya; hanya dengan merasa lapar serta haus akan kebenaran saja, maka saya akan dipenuhi. Jadi, seperti kita telah diperingatkan Tozer:
"Di balik perkataan Tuhan tentang keunggulan terdapat logika, yaitu baik dunia maupun surga adalah tempat-Nya. Sementara kita mengambil tempat-Nya sepanjang hidup kita adalah di luar ikatan. Tidak ada sesuatu pun yang bakal atau dapat menerima kedamaian sebelum hati kita membuat keputusan besar, yaitu: memuliakan Tuhan di atas segala-galanya."
Sumber: | ||
Halaman | : | 210 - 212 |
Judul Artikel | : | Pengantar Konseling Alkitabiah -- Pedoman Dasar Prinsip dan Praktik Konseling |
Penulis Artikel | : | John F. MacArthur, Jr. dan Wayne A. Mack |
Penerbit | : | Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang, 2002 |
Situs | : | https://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/075/ |