Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Bahaya Puber Kedua
Edisi C3I: e-Konsel 143 - Puber II
Saat ini ketika jalan-jalan di mal, banyak terlihat orang setengah baya yang jika dilihat dari belakang tampak seperti anak-anak remaja. Mereka mengenakan baju dan berpotongan rambut masa kini yang luar biasa model maupun warnanya. Tak jarang pemandangan lucu tersebut membuat orang yang berpapasan tersenyum kala melihat seorang ibu dengan perut yang tidak lagi langsing mengenakan blus pendek yang memperlihatkan pusarnya, dengan polesan bedak tebal seolah memakai topeng. Wah, apa gerangan yang terjadi?
Begitu juga yang terjadi belakangan ini dengan Taty yang bingung sendiri melihat tingkah suaminya yang "agak lain" dari biasanya. Tadinya suaminya malas sekali kalau diajak menemani ke salon, sekarang malah dia yang rajin ke sana. Pulang kerja langsung ke salon atau ke spa untuk perawatan rambut, muka, badan. Juga refleksi kaki dan sebagainya. Mula-mula Taty curiga, jangan-jangan itu hanya alasan. Mungkin suaminya punya pacar baru dan ketemunya di salon, spa, atau mal.
Taty sampai menyewa detektif amatiran, yaitu anaknya sendiri, untuk menguntit sang suami yang kelihatan jadi ganjen (genit) sekali. Dan sang anak melaporkan hasil kuntitannya. Demikian bunyinya, "Ibu, ternyata ayah beneran ke salon untuk merawat rambutnya yang rontok, terus minta dicat. Katanya sudah banyak yang putih. Lalu ke spa minta dilulur. Katanya, supaya kulit keriputnya hilang. Terus ke toko pilih baju. Katanya, warna baju yang di rumah semuanya kuno, ingin diganti dengan yang model dan warnanya ok punya! Ha ... ha ...." Sang anak terbahak-bahak mengakhiri cerita tentang ayahnya yang lagi "GR" (gede rasa) dan mendadak jadi pesolek berat. Sang ibu yang mendapat laporan seperti itu hanya bisa menarik napas panjang dan geleng-geleng kepala menandakan bingung.
Menghadapi keadaan suami atau istri yang mendadak bertingkah seperti ABG (Anak Baru Gede) memang sangat membingungkan. Belum lagi biasanya sifat pasangan yang mudah curiga kalau-kalau sang suami atau istri punya "daun muda". Karuan saja hal ini bisa membuat suasana rumah yang tadinya adem nyaman menjadi sedikit bergejolak dan panas. Tak jarang menjurus menjadi pertengkaran hebat yang berujung pada perpisahan.
Nah, mengapa sang suami atau istri yang mulai memasuki usia empat puluh tahun bisa berubah serta bertingkah dan berpenampilan seperti layaknya anaknya yang SMU? Ternyata menurut para ahli jiwa, hal itu merupakan masa tahapan puber, yaitu transisi tahapan untuk pindah ke tahapan berikutnya. Kita mengenal dua tahapan yang mudah dilihat dan dirasakan, yaitu masa puber pertama dan masa puber kedua.
Puber pertama, masa seorang anak berpindah ke tahap menjadi masa remaja di mana di masa-masa ini seorang anak ingin secepatnya menjadi orang dewasa yang memunyai "kewenangan" lebih, baik dari segi penampilan maupun keingintahuan. Pokoknya dalam masa ini, seseorang pada tahap menjadi berani. Kiasannya "tidak takut mati". Pada masa inilah seorang anak yang biasanya lembut bisa berubah menjadi pemberontak, segala aturan diterjang, sikapnya semau gue dan maunya benar sendiri. Dalam tahapan ini, seorang anak remaja berada pada masa rawan karena mudah dipengaruhi pergaulan negatif. Maka perhatian serta kasih sayang orang tualah yang sangat dibutuhkan untuk memberi bimbingan yang benar. Orang tua pun harus berusaha merangkul sang anak dengan menghindari sikap otoriter yang gemar mendikte atau memerintah. Sebaiknya sikap orang tua lebih bersifat berteman.
Puber kedua adalah tahapan dari seorang dewasa berpindah menjadi tua. Berbeda dengan masa puber pertama yang super berani, masa puber kedua justru menjadi masa-masa di mana seseorang dihinggapi rasa takut, yaitu takut menjadi tua, takut menjadi tidak menarik lagi, takut mati, takut tidak berguna lagi, takut tidak kuat lagi, dan sebagainya. Maka dalam tahapan ini kelakuan seorang dewasa tampak menjadi aneh, yaitu bertingkah seperti anak baru gede, baik dari segi penampilan maupun perilakunya, sebagai bayarannya (kompensasi) untuk menutupi ketakutannya itu. Semakin dia takut, kelakuan dan penampilannya menjadi semakin aneh. Nah, pada masa-masa ini seseorang menjadi demikian rapuh, mudah tersinggung. Di sinilah peran pasangannya harus lebih toleran dan mencoba memahami apa yang ditakutkannya. Misalkan, dia takut dikatakan tua karena fisiknya yang memang sudah menurun vitalitasnya. Maka pasangannya mencoba menghindari untuk menyinggung masalah fisik. Sebaiknya, cobalah untuk memuji dan membesarkan hatinya bahwa dia tetap sebagai orang yang disayangi.
Hal yang berbahaya dalam tahapan ini adalah seseorang justru ingin menutupi ketakutannya dengan perilaku yang berbahaya. Misalnya, akibat takut dikatakan tidak menarik lagi dan sudah menurun vitalitasnya dalam berhubungan seks, dia akan mencoba untuk menutupinya dengan berhubungan dengan orang yang lebih muda, dengan harapan dia bisa bersaing dengan yang muda. Dalam tahapan ini, seseorang sering jatuh dalam percintaan semu sehingga menjadi masalah dalam rumah tangga. Di sinilah saatnya pasangan -- terutama seorang istri -- harus bisa menyelaraskan keadaan dengan melakukan "penyegaran" dengan berlaku seperti masa-masa pengantin baru atau masa-masa pacaran. Misalnya, pergilah menonton berdua, jalan-jalan berdua, bersikap lebih mesra, atau berdandan lebih muda dari biasanya supaya sang suami juga merasa dirinya kembali muda. Dan tunjukkan bahwa Anda sangat membutuhkannya dan tetap mengaguminya.
Karena masa puber adalah gejala yang dialami semua orang, bersikaplah arif dalam menjalaninya. Pada masa puber kedua ini, banyak hal yang ikut menyumbangkan ketakutan, seperti daya ingat yang melemah, belum lagi masa pensiun yang mulai mengadang dan anak-anak yang sedang membutuhkan biaya besar untuk pendidikan dan kebutuhan hidup. Semua itu memacu timbulnya depresi dan membuat daya tahan tubuh serta daya pikir semakin berkurang kemampuannya sehingga berefek ke masalah stamina, baik pada saat keseharian maupun pada saat berhubungan intim.
Semua orang mengalami tahapan ini, tapi setiap orang berbeda kondisinya sebab seorang yang lebih percaya diri, perilaku kompensasinya tidak terlalu parah. Sebaiknya pasangan bersiap untuk menjadi penolong untuk siapa yang lebih dahulu merasakan atau mengalaminya, entah sang istri atau sang suami. Jadilah penolong untuk pasangan dengan mencoba memupuk rasa kebersamaan yang lebih sering lagi. Komunikasi yang baik di antara pasangan akan sangat berguna untuk meredam efek-efek negatif yang ditimbulkan pada masa-masa ini.
Sama seperti orang tua yang menghadapi anaknya pada saat melakoni puber pertama, begitu juga kita pada saat menghadapi pasangan yang melakoni puber kedua ini. Sikap berteman dan komunikasi yang baik akan sangat bermanfaat. Hindari sikap menghakimi dan marah, dan segalanya akan berjalan lebih lancar, damai dan baik-baik saja.
Diambil dan diedit seperlunya dari: | ||
Nama situs | : | Suara Pembaruan |
Judul asli artikel | : | Bahaya Puber Kedua |
Penulis | : | Lianny Hendranata |
Alamat URL: | : | http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/09/ |