Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Guilt (Rasa Bersalah)

Edisi C3I: e-Konsel 086 - Mengatasi Rasa Bersalah

Apa itu Guilt?

G. Belgum dengan tepat mengatakan bahwa "guilt" adalah sesuatu tempat agama dan psikologi paling sering bertemu (Guilt: "Where Religion and Psychology Meet", Minneapolis: Augsburg, 1970). Mungkin tidak ada topik persoalan manusia yang mendapatkan perhatian yang begitu banyak, baik oleh teolog-teolog maupun konselor-konselor lebih daripada persoalan ini.

Jikalau kita mau berbicara dengan orang-orang yang depresi, kesepian, yang bergumul dengan masalah-masalah dalam hidup pernikahan, para homoseks, orang-orang yang sedang dilanda kesusahan, dsb., maka kita akan menemukan bahwa guilt adalah bagian dari pergumulan dan persoalan mereka.

Bruce Narramore, bahkan mengatakan bahwa guilt ada dalam setiap masalah psikologis yang dihadapi setiap orang (Guilt: Where Theology and Psychology Meet, Journal of Psychology and Theology 2, 1974, pp. 18-25).

Ada dua kategori yang berbeda tentang guilt, yaitu:

a. Objective guilt

Ini adalah guilt yang menjadi masalah oleh karena ada peristiwa pelanggaran hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Meskipun demikian, orang yang melakukan pelanggaran itu sendiri mungkin tidak merasa guilty.

Ada 4 macam guilt yang objektif, yaitu:

Rasa bersalah

  1. Legal-guilt, yaitu guilt yang menjadi masalah oleh karena pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pembunuhan, pencurian, dll. menimbulkan masalah guilt meskipun tidak semua orang yang melakukan merasa guilty.
  2. Social-guilt, yaitu guilt yang menjadi masalah jikalau ada pelanggaran terhadap hukum yang tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya: penghinaan, ancaman terhadap sesama manusia, dsb. yang mungkin tidak ada bukti-bukti konkret yang memungkinkan untuk dibawa ke pengadilan, bahkan mungkin tidak ada hukum tertulis yang menggariskan tentang hal-hal itu, tetapi muncul masalah guilt.
  3. Personal-guilt, yaitu guilt yang menjadi masalah jikalau terjadi pelanggaran terhadap "conscience" atau kesadaran akan kebenaran yang ada di dalam hati orang yang bersangkutan. Misalnya: guilt yang muncul karena orang tua memukul anaknya tanpa alasan yang benar; suami yang makan malam di luar sendiri meskipun tahu bahwa istrinya menantikan dia, dan sebagainya.
  4. Theological-guilt, yaitu guilt yang menjadi masalah jikalau terjadi pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Alkitab memberikan standar-standar tingkah laku manusia, jikalau itu dilanggar, baik dengan pikiran maupun perbuatan, maka muncullah masalah guilt walaupun orang yang bersangkutan tidak guilty (Wahyu 20:21b). Bahkan Alkitab menyaksikan bahwa kita semua guilty di hadapan Allah (Roma 3:23).

Kebanyakan orang merasa gelisah, bahkan mungkin merasa bersalah, jikalau melakukan pelanggaran-pelanggaran di atas. Meskipun demikian, banyak pula yang begitu keras hati sehingga mematikan perasaan bersalahnya. Banyak juga orang Kristen yang melakukan banyak pelanggaran terhadap hukum Allah namun tidak merasa guilty, hal ini mungkin disebabkan keberhasilannya dalam mematikan guilty-feelingnya atau mungkin juga disebabkan kurangnya pengenalan terhadap kebenaran Allah jadi hanya pelanggaran-pelanggaran tertentu yang menimbulkan guilty feeling.

b. Subjective-guilt

Ini adalah guilt yang menimbulkan perasaan bersalah dan sesal dalam diri orang yang bersangkutan. Bahkan, orang yang bersangkutan bisa merasakan ketakutan, putus asa, cemas, dan terus-menerus menyalahkan diri sendiri oleh karena perbuatan atau pemikiran, yang dianggapnya melanggar prinsip-prinsip kebenaran yang selama ini ia yakini. Mungkin, apa yang ia lakukan atau pikirkan sebenarnya tidak melanggar kebenaran yang sesungguhnya berlaku di masyarakat dsb., namun orang itu merasakan guilty.

Narramore membagi subjective-guilt ini dalam tiga bagian, yaitu:

  1. A fear of punishment (takut akan hukuman)
  2. A loss in self-esteem (perasaan kehilangan harga diri).
  3. A feeling of loneliness, rejection or isolation (perasaan kesepian, penolakan, atau pengasingan).

Guilty feeling yang semacam ini tidak selamanya buruk, karena merupakan dorongan untuk memperbaiki tingkah laku dan menimbulkan dorongan serta kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan dari Allah.

Meskipun tidak jarang guilty feeling yang semacam ini juga bisa menjadi hal yang merusak.

Subjective-guilt bisa begitu kuat, bisa juga lemah; bisa "appropriate" dan memang sesuai atau beralasan, bisa juga "inappropriate" ketika untuk pelanggaran yang besar seorang tidak merasa guilty, untuk pelanggaran kecil (bahkan mungkin tidak sama sekali) seseorang merasakan amat bersalah.

Apa yang Alkitab Katakan tentang Guilt?

Kalau Alkitab menyebut tentang "guilt" atau "guilty", maka itu hampir selalu menunjuk pada theological-guilt, yaitu guilt yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap hukum Allah. Alkitab rupanya tidak pernah memisahkan secara mutlak antara "guilt" dan "sin" (L.R. Keylock, "Guilt", in the Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible, ed. Merril C. Tenney, Grand Rapids: Zondervan, 1975, 2:852). Dan hal ini penting sekali untuk diketahui oleh konselor-konselor Kristen bahwa Alkitab tidak menekankan tentang guilty feeling (perasaan bersalah yang sering kali subjektif dan tidak berdasar) tetapi guilty karena dosa. Oleh karena itu, konselor-konselor Kristen harus waspada agar jangan mencoba menciptakan guilty feeling sebagai alat untuk memudahkan cara mengubah dan memotivasi seseorang. Guilty feeling hanya boleh ada sebagai reaksi normal terhadap kesadaran akan realita dosa. Untuk itu konselor Kristen harus dapat membedakan dua hal berikut ini:

1. Constructive-sorrow (dukacita yang positif)

Ini adalah istilah yang dipakai oleh Bruce Narramore (Guilt: Christian Motivation or Neurotic Masochism, Journal of Psychology and Theology, 2:1974, pp. 182-189), yang didasarkan pada 2 Korintus 7:8-10. Dalam bagian ini Paulus membedakan antara "dukacita dunia" yang kira-kira sama dengan sekadar "perasaan bersalah yang subjektif" dengan "dukacita yang konstruktif", yang positif yang menghasilkan perubahan sikap hidup yang membangun.

Misalnya, seorang sopir yang menabrak orang, bisa menunjukkan:

  1. Dukacita dunia: merasa bersalah, mengutuki diri sendiri, dan selama-lamanya tidak mau memegang kemudi.
  2. Constructive sorrow: merasa bersalah, rela dihukum, tahu kesalahannya, dan berusaha memperbaikinya.

Memang dunia sering lebih menyukai dukacita dunia karena dunia terikat dengan nafsu balas dendam sehingga orang baru puas kalau orang yang bersalah menerima hukuman yang fatal. Tetapi realita ini tidak boleh menjadi alasan untuk kita memilih cara guilty seperti itu.

2. Divine forgiveness (pengampunan Allah)

Salah satu tema besar dalam Alkitab adalah pengampunan Allah. Tuhan Yesus datang sebagai domba Allah yang menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29) supaya manusia mendapat pengampunan dan diperdamaikan dengan Allah (Kisah Para Rasul 5:30-31; Kolose 1:14; Efesus 1:7). Alkitab sering kali menekankan bahwa pengampunan dari Allah menyangkut beberapa hal yang penting seperti:

  1. Pertobatan: 1 Yohanes 1:9, tanpa pertobatan tidak ada pengampunan (Amsal 28:13).
  2. Pengampunan terhadap sesama manusia: Matius 6:12; 18:21, menekankan bahwa tanpa kesediaan mengampuni kesalahan sesama tidak ada pengampunan dari Allah.

Memang, iman itu anugerah (Efesus 2:8; Roma 12:3) dan anugerah Roh Kudus yang melahirkan iman adalah peristiwa kelahiran baru (Yohanes 3:3) yang menjadi satu-satunya modal bagi pertobatan. Tanpa kelahiran baru, maka tidak ada pertobatan (kesadaran akan dosa dan kebutuhan akan pengampunan Allah). Tanpa pertobatan tidak ada pengampunan dosa.

Bukti dari pertobatan adalah kehidupan dalam pimpinan Roh Kudus yang membuahkan kebaikan, kemurahan, kesabaran, dsb. (Galatia 5:16,22), yaitu unsur-unsur utama yang menandai peristiwa pengampunan. P.H. Monsma, dalam tulisannya yang berjudul "Forgiveness" mengatakan:

"A person who seeks forgiveness but doesn't forgive others hardly knows what he is asking for and is not worthy of it." (Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible, ed. Merril C. Tenney, 2:599.)

Bruce Narramore dalam tulisannya yang berjudul "Guilt: Christian Motivation or Neurotic Masochism" (Journal of Psychology and Theology, 2:1974, p. 188) memberikan bagan perbandingan antara psychological guilt dan constructive sorrow, sbb.:

  Psychological guilt Constructive sorrow
1. Pusat perhatian yang bersangkutan dirinya sendiri Allah dan sesamanya
2. Pemikiran atas masalahnya fokus pada kesalahan yang telah diperbuat fokus pada akibat kesalahan yang telah diperbuat dan langkah-langkah perbaikan yang akan diambil
3. Motivasinya di belakang tindakan yang diambil untuk membebaskan diri dari gangguan rasa bersalah (guilt feelings) untuk mendorong orang lain tumbuh dan melakukan kehendak Allah (love feelings)
4. Sikap terhadap diri sendiri marah, benci, dan frustrasi mengasihi diri sendiri sehingga mengusahakan yang terbaik.
5. Hasil/akibat - perubahan luar yang sementara
- menarik diri dari tanggung jawab yang lebih besar.
- kegagalan terulang lagi.
- self-hatred/membenci diri sendiri.
kehidupan yang baru

Dengan melihat perbedaan di atas, antara "psychological guilt" dan "constructive sorrow", maka jelaslah yang manusia butuhkan adalah constructive sorrow saat hal ini tidak pernah sempurna dalam pergumulan seseorang tanpa orang tsb. diperdamaikan dengan Allah.

Memang manusia bisa mengusahakan "constructive sorrow" tetapi tanpa pertobatan dan diperdamaikan dengan Allah, "constructive sorrow" tersebut tidak berdasar dan tidak punya tujuan yang jelas sehingga tidak memberikan jaminan penyelesaian persoalan guilt-nya.

Tanpa pertobatan tidak ada pengampunan.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Seperti yang ditulis dalam Nyanyian Rohani 138:1, "Memburu-buru berlelah, kutuntut hidup suci, tetapi kesalahanku tak dapat aku cuci. Kucoba dengan giatku membuat kebenaran wahai segala dosaku menjadi penegahan." (I.S. Kijne, "Mazmur dan Nyanyian Rohani", BPK Gunung Mulia, 1978, p. 226).

Alkitab menekankan jelas sekali mengenai kesia-siaan dari orang yang berbuat baik di luar anugerah keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus (Roma 3:20, 9:32, 11:6; Galatia 2:16; Efesus 2:9; 2 Timotius 1:9; Titus 3:5).

Sumber:
Judul Buku : Pastoral Konseling, Jilid 2
Judul Artikel : Guilt
Penulis Artikel : Yakub B. Susabda
Penerbit : Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang, 1996
Halaman : 79 - 82
Situs : https://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/086/
Sumber
Halaman: 
79 - 82
Judul Artikel: 
Guilt (Pastoral Konseling, Jilid 2)
Penerbit: 
Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang, 1996

Published in e-Konsel, 03 May 2005, Volume 2005, No. 86


Komentar