Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Mengapa Saya Harus Terus Mengampuni?

Sebagai seorang pendeta, saya telah mendengarnya berkali-kali. Kata-kata ini diucapkan dengan penuh rasa lelah dan sakit hati, kepahitan dan kemarahan, atau kebingungan dan kecemasan. Hal ini dapat berarti setidaknya empat hal.

  • "Terlalu menyakitkan untuk terus mengampuninya atas dosa yang berulang-ulang."
  • "Tidak bisakah saya mengabaikan dosanya terhadap saya?"
  • "Dia menyakiti saya begitu dalam sehingga dia tidak pantas diampuni."
  • "Mengapa saya masih sakit hati atas sebuah pelanggaran padahal saya sudah mengatakan bahwa saya telah mengampuninya?"

Apa yang Firman Tuhan katakan tentang masing-masing situasi ini?

1. "Terlalu menyakitkan untuk terus mengampuninya atas dosa yang berulang-ulang."

Pertama, mari kita perjelas: pengampunan dan rekonsiliasi itu berbeda. Anda tidak dapat melakukan rekonsiliasi tanpa pengampunan. Rekonsiliasi membutuhkan pertobatan, perubahan pola hidup, dan kepercayaan yang kembali dibangun, selain pengampunan.

Jika rekonsiliasi diibaratkan sebagai sebuah jembatan, pengampunan adalah pijakan bangunan di kedua sisi sungai. Pengampunan mungkin dapat terjadi tanpa pertobatan (Markus 11:25), tetapi rekonsiliasi tidak. Jembatan rekonsiliasi dibangun oleh pola hidup yang berubah (dari pihak yang bersalah) dan adanya kepercayaan yang dibangun kembali (dari pihak korban).

Gambar: bersyukur

Kita dapat mengampuni tanpa harus melakukan rekonsiliasi?pijakan bisa ada tanpa jembatan. Sama seperti pembangunan pijakan mendahului pembangunan jembatan, pengampunan mendahului rekonsiliasi. Pengampunan berarti melepaskan orang yang bersalah dari sesuatu yang menjadi utangnya kepada Anda dan membuka pintu untuk membangun kembali kepercayaan. Itu selalu menyakitkan; itu selalu mengorbankan sesuatu yang berharga. Kita harus sepenuhnya menyerahkan keadilan, yang menjadi hak kita, kepada Allah. Namun, pengampunan bukan berarti rekonsiliasi yang instan.

Pihak yang bersalah yang tidak mau atau tidak mampu berubah dapat menciptakan luka yang lebih dalam. Luka yang terus menerus seperti itu mungkin berarti rekonsiliasi perlu dihentikan. Mungkin sebuah batas pelindung perlu diterapkan atau ikatan perlu diputuskan. Beranikan diri untuk mencari nasihat profesional. Kita mungkin perlu memberikan lebih banyak waktu bagi pelaku untuk membuktikan bahwa mereka dapat dipercaya melalui kehidupan yang transparan dan berubah secara nyata. Kita juga harus mengakui bahwa pengampunan tidak menghilangkan legitimasi-atau dalam beberapa kasus, kebutuhan-untuk mengejar keadilan hukum terhadap pelaku.

Namun demikian, pengampunan itu menyakitkan. Jika hati Anda terbebani, itu mungkin karena Anda mencoba untuk melakukan rekonsiliasi ketika Allah pertama kali meminta Anda untuk mengampuni.

2. "Tidak bisakah saya mengabaikan dosanya terhadap saya?"

Ya, Anda tentu saja dapat mengabaikan pelanggaran yang dilakukan terhadap Anda. Alkitab mengatakan "tidak menghiraukan pelanggaran adalah kemuliaannya" (Amsal 19:11, AYT). Orang yang "menutupi pelanggaran mencari kasih" (17:9, AYT). Petrus memberi tahu kita bahwa ketika hati dipenuhi dengan kasih Kristus, "kasih menutupi banyak sekali dosa" (1 Petrus 4:8, AYT).

Kita harus berhati-hati dengan motif kita. Untuk benar-benar mengabaikan suatu pelanggaran, Anda harus mengampuni orang tersebut dan tidak menaruh dendam padanya atau membiarkannya menghalangi hubungan. Selain itu, Anda harus menentukan bahwa mengabaikan pelanggaran tersebut adalah demi kepentingan terbaik si pelanggar. Kita mungkin dapat benar-benar mengabaikan pelanggaran tersebut, namun tetap menentukan bahwa konfrontasi yang penuh kasih adalah yang terbaik untuknya. Berhati-hatilah untuk mengabaikan pelanggaran karena rasa takut dan bukan karena kasih.

3. "Dia menyakiti saya begitu dalam sehingga dia tidak pantas diampuni."

Anda sepenuhnya benar; tidak ada satupun dari kita yang layak mendapatkan pengampunan. Dunia mencoba menavigasi pengampunan dengan meminimalkan dosa, tetapi bahkan dosa terkecil sekalipun adalah dosa yang mengerikan jika kita memandangnya seperti Allah. "Upah dosa adalah maut" (Roma 6:23)-tidak ada dosa yang tidak layak menerima hukuman kekal. Tidak ada dosa yang tidak membuat kita diasingkan dari Taman Eden.

Jawabannya bukanlah untuk menyangkal, memaklumi, atau memperkecil dosa yang dilakukan terhadap kita. Jawabannya adalah untuk menemukan sumur pengampunan Allah yang dalam bagi kita. Inilah inti dari perumpamaan Kristus tentang hamba yang tidak mau mengampuni (Matius 18:23-35). Detail yang penting adalah bahwa hamba kedua berutang kepada hamba yang jahat dalam jumlah yang tidak sedikit. Seratus dinar setara dengan empat bulan upah pekerja biasa-lebih dari $10.000 pada masa kini. Membebaskan seseorang dari utang sebesar $10.000 adalah hal yang besar. Yesus tidak mengurangi kerugian yang telah dilakukan kepada kita dan biaya untuk mengampuni utang tersebut.

Bagaimana kita dapat mengampuni? Hanya ketika kita memikirkan betapa besarnya Allah telah mengampuni kita.



Lalu, bagaimana kita dapat mengampuni? Hanya ketika kita mempertimbangkan betapa besar Allah telah mengampuni kita. Raja dalam perumpamaan ini tentu saja melambangkan Allah. Sepuluh ribu talenta (sekitar $7 miliar saat ini) tidak mungkin dapat dibayar kembali. Bahkan jika Anda mendapatkan gaji enam digit, Anda akan membutuhkan 1.000 kehidupan untuk melunasinya. Yesus tidak melebih-lebihkan untuk menekankan efeknya; harga dari pengampunan kita tidak lain adalah kematian Anak Allah yang kudus, sempurna, dan berinkarnasi. Kristus telah mati untuk kita agar kita dapat hidup bersama dengan Allah-dan karunia ini diberikan secara cuma-cuma kepada kita. Seperti yang Paulus simpulkan dalam Roma 6:23, "Upah dosa adalah maut, tetapi karunia Allah adalah hidup yang kekal dalam Yesus Kristus, Tuhan kita." (AYT)

Kita tidak mengampuni karena dosa-dosa yang dilakukan terhadap kita dapat diatasi atau dianggap remeh, tetapi karena kita telah mengalami belas kasihan dan pengampunan yang luar biasa dari Yesus Kristus.

4. "Mengapa saya masih sakit hati atas sebuah pelanggaran padahal saya sudah mengatakan bahwa saya telah mengampuninya?"

Kita diperintahkan untuk "mengampuni dan melupakan." Bukankah itu yang Allah lakukan? Tidak. Meskipun Allah dengan penuh belas kasihan telah menghapus pelanggaran kita "sejauh timur dari barat" (Mazmur 103:12), Ia tidak kehilangan kemahatahuan dalam hal dosa kita. Ia tidak melupakan dosa kita-Ia memilih untuk tidak mengingatnya. Ia memperlakukan kita seolah-olah kita tidak berdosa dan sama benarnya dengan Kristus sendiri. Anak Allah yang berinkarnasi dan naik ke surga masih menanggung luka-luka salib di surga. Luka-luka itu telah disembuhkan, namun masih ada.

Kita juga tidak diharapkan untuk melupakan dosa yang dilakukan terhadap kita. Mencari-cari alasan atau berpura-pura seolah-olah dosa itu tidak terjadi adalah kebodohan. Ketika dosa-dosa serius dilakukan terhadap kita, kita sering kali tidak sepenuhnya memahami betapa dalamnya kerugian yang ditimbulkan. Bukan hal yang aneh jika kita mengampuni seseorang hanya untuk kemudian menyadari bahwa pengampunan yang lebih besar diperlukan. Pengampunan adalah sebuah keputusan dan proses.

Misalnya, jika seseorang menggosipkan Anda, Anda mungkin awalnya menyadari bahwa Anda perlu mengampuninya karena telah salah mengartikan Anda-hanya untuk kemudian menyadari bahwa Anda perlu mengampuninya untuk kedua kalinya karena hal tersebut telah memengaruhi pandangan orang lain terhadap Anda secara negatif. Adalah hal yang normal untuk merasakan sengatan dosa terhadap Anda dengan cara yang baru saat setiap lapisan konsekuensi terungkap.

Mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk sembuh dari trauma. Bahkan, ketika kita sudah sembuh, kita mungkin masih menanggung bekas luka akibat dosa-dosa orang lain terhadap kita. Menanggung bekas luka bukan berarti Anda belum mengampuni.

Sulit dan Menyakitkan

Ini adalah pertanyaan yang sulit dan menyakitkan, tetapi Alkitab dengan penuh kasih menjawabnya. Mengampuni pada akhirnya berarti melepaskan kendali atas si pelanggar ke dalam tangan Hakim yang adil dan penuh belas kasihan untuk pembenaran yang sempurna, dan mungkin juga pembalasan (Kej. 18:25; Rm. 12:19-20). Mengampuni berarti mempercayai Penyembuh kita bahwa Ia akan memperbaiki segala sesuatu dan menyembuhkan luka yang ditimbulkan pada kita. Namun, tidak mengampuni memungkinkan kita untuk disakiti lagi dan lagi?sekali oleh pelanggaran awal dan terus-menerus setelahnya saat kita menggenggam pelanggaran tersebut.

Adalah hal yang baik bahwa Ia yang kita tuju ketika kita bergumul untuk mengampuni, telah mengampuni kita dan membayar harga untuk memulihkan perbuatan kita yang melukai-Nya. Syukur kepada Allah atas pengampunan-Nya yang tidak pernah habis.

(t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://www.thegospelcoalition.org/article/keep-forgiving/
Judul asli artikel : Why Do I Have to Keep Forgiving?
Penulis artikel : John Beeson

Komentar