Kasih Tanpa Syarat

G.K. Chesterson, seorang penulis dan jurnalis, mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan bukanlah mempelajari sesuatu, melainkan belajar meninggalkan sesuatu.

Kita perlu belajar melupakan segala anggapan kita dulu mengenai cinta, agar kita dapat memahami kasih kristiani yang sebenarnya. Belajar melupakan hal-hal yang dulu kita anggap benar itu tak kalah pentingnya dalam memahami bahwa kasih kristiani itu tanpa syarat.

Baru-baru ini saya mendengar tentang beberapa upacara perkawinan yang membuat syarat-syarat mencintai itu semakin jelas. Sebagai ganti dari janji untuk mengasihi "dalam waktu sakit maupun sehat, dalam untung dan malang, hingga kematian memisahkan kita," mereka mengucapkan ikrar perkawinan seperti ini:

"Saya berjanji akan mencintaimu selama saya bisa tetap jujur pada diri saya sebagai manusia." "Saya berjanji akan mencintaimu selama kita mampu saling membantu mengembangkan potensi masing-masing semaksimal mungkin." "Saya berjanji akan mencintaimu selama cinta kita tak berubah."

Janji-janji ini mengungkap suatu ketetapan niat, tetapi yang bersyarat. Janji ini hanya berlaku selama syarat-syarat itu dipenuhi.

Kasih kristiani tak bersyarat. Walaupun sebenarnya kita cenderung memberi syarat-syarat pada kasih kita. Syarat-syarat inilah yang menghasilkan bentuk-bentuk cinta yang harus kita tinggalkan.

Kasih yang Memilih

Secara alamiah kita cenderung hanya mengasihi orang-orang yang seperti kita. Pilihan itu bisa saja karena suku, persamaan minat, hal kejiwaan, pekerjaan, atau ekonomi orang-orang itu. Yang jelas pilihan ini menambahkan sebuah syarat pada cinta. "Saya akan mencintai dirimu selama ...." Kita masing-masing dapat mengisi kelanjutan dari kalimat ini dengan syarat-syarat yang berlainan.

Banyak pria dan wanita modern yang amat pemilih dalam menentukan siapa yang akan mereka kasihi. Pola khas pergaulan semacam ini ialah memilih dua atau tiga orang teman dekat dan boleh dikatakan mengabaikan yang lain. Bila jumlah teman dekat yang mereka pilih itu menurun, syarat-syarat pun bertambah. Orang-orang itu terpilih sebagai teman sebab mereka seimbang sekali dengan orang-orang yang memilih mereka. Karenanya, sumber-sumber perselisihan yang mungkin ada diperkecil, agar dapat memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari persahabatan itu.

Inilah pola yang saya ikuti sebelum saya menjadi orang Kristen. Saya memunyai dua teman akrab saja. Hubungan kami membentuk suatu lingkungan yang akrab dengan beberapa aspek yang baik. Tetapi pada dasarnya merupakan lingkungan yang tertutup. Hubungan kami menjadi hubungan yang sangat mengikat diri untuk terbatas pada kelompok kecil itu saja.

Akhirnya kami bertiga menjadi Kristen (menerima Kristus sebagai Juru Selamat) dan menjadi anggota jemaat yang sama. Kami masih tetap berhubungan erat. Dalam banyak hal, ikatan kami semakin kuat, karena ikrar kami sebagai orang Kristen. Namun kini, kami masing-masing juga dekat dengan sejumlah anggota lain dari kelompok yang lain. Dan kami merasa terikat juga pada banyak orang yang sama sekali berbeda dengan diri kami.

Kasih yang Menguntungkan

"Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat." (Lukas 6:27-28, 32-35)

Kasih kristiani tidak mengharapkan balas budi dari kasih yang mereka berikan. Sebenarnya, kita cenderung mengasihi orang-orang yang mampu membalas kasih kita saja, atau orang-orang yang menghargai kita. Akan tetapi, hal itu membatasi kasih kristiani. Ketika Yesus memerintahkan kita untuk mengasihi musuh-musuh kita, Ia menentukan batas yang lebih tinggi dalam kasih.

Pasti, selalu ada orang-orang yang sukar untuk kita kasihi. Ini normal. Mungkin beberapa orang tadi adalah musuh kita, yakni orang-orang yang karena satu dan lain alasan hendak menyakiti kita, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hanya menjengkelkan kita, orang-orang yang kepribadiannya bertolak belakang dengan kepribadian kita. Namun demikian, mengasihi orang-orang seperti ini ada juga keuntungannya bagi kita. Mereka itu seperti kertas ampelas yang menimbulkan pergesekan. Manfaatnya timbul apabila sifat-sifat mereka yang menjengkelkan itu menghasilkan sesuatu yang kita butuhkan, seperti kesabaran yang lebih besar, toleransi, keluwesan, dan lain sebagainya. Inilah semacam pemolesan rohani. Walaupun kita memperoleh manfaat dari pemolesan ini, tetapi ini tidak merupakan alasan utama untuk mengasihi orang lain, dengan tidak mempersoalkan apakah kita akan mendapat keuntungan atau tidak bila kita mengasihi mereka.

Adakalanya, orang-orang yang sukar kita cintai ini akan menghargai usaha kita. Tetapi walaupun mereka tak menghargai usaha kita, kita harus mengasihi mereka dan melayani mereka, seperti yang dilakukan Yesus.

Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa, datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak, "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" Lalu ia memandang mereka dan berkata, "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam." Dan sementara mereka di tengah jalan, mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?" (Lukas 17:11-18)

Walaupun Yesus tak menyetujui sikap tak tahu berterima kasih, bahkan Ia mengecamnya, namun kasih-Nya tak bergantung pada terima kasih yang diberikan sebagai alasan atas kasih-Nya. Bila kita mendapati diri kita melayani orang-orang yang lupa menyatakan terima kasih mereka, kita tak boleh menanggapi sikap mereka itu dengan mengatakan, "Itulah kali terakhir saya membantu mereka." Akan tetapi, sebagaimana Tuhan kita, Yesus, kita hendaknya mengasihi dan melayani orang-orang yang tak tahu berterima kasih. Seorang pendeta kenalan saya menamakannya "pelayanan bagi mereka yang tak tahu berterima kasih." Pelayanan ini tak dapat dilakukan dengan kasih yang bergantung pada keuntungan.

Kadangkala, kasih itu mungkin menguntungkan. Kasih itu menular. Orang-orang yang kita kasihi cenderung membalas kasih kita. Tetapi keuntungan perseorangan bukanlah urusan kita. Kita harus mengasihi tanpa memedulikan kasih kita itu menguntungkan atau tidak.

Kasih yang Berhati-hati

"Kasih itu penuh risiko. Apa yang terjadi bila orang yang Anda kasihi itu berpaling dan mengkhianati Anda? Apakah yang akan terjadi bila orang yang Anda kasihi itu meninggal dunia, atau menemui kemalangan? Bukankah kasih hanya akan membuat hati Anda terluka?" Kasih yang berhati-hati berusaha melindungi diri dari dukacita. Hal menjauhi dukacita, kesulitan, dan cobaan akan menjadi syarat-syarat kasih.

Cara semacam ini menjadi semakin umum dalam hubungan kita, dan orang mengalami sifat mudah berubah karena mereka mendasarkan kasih pada perasaan.

Frank menerima Kristus sebagai Juru Selamatnya beberapa bulan setelah perceraiannya dengan istrinya disahkan. Frank antusias dengan hubungannya yang baru dengan Tuhan, tetapi ia enggan berkenalan dengan sesama orang Kristen. Frank seorang yang ramah serta menarik, tetapi setelah beberapa waktu orang-orang yang sering berhubungan dengannya menyadari bahwa mereka sebenarnya kurang mengenal diri Frank.

Saya meluangkan waktu dan mencoba mengenal Frank lebih dekat. Pada suatu hari, dengan blak-blakan saya menanyainya, "Mengapa Anda selalu menjaga jarak, agar hubungan Anda tak terlalu mendalam?" Lalu diceritakannya kepada saya tentang hubungannya dengan bekas istrinya serta perceraian mereka. Selama perceraian mereka masih dalam proses, Frank bersumpah tidak akan membiarkan dirinya bergaul erat dengan orang lain. Cinta mudah sekali berubah-ubah dan Frank tidak suka akan pasang surutnya cinta. Meskipun ia seorang Kristen, ia sinis terhadap kemungkinan adanya hubungan kasih yang lestari. Frank selalu dihantui oleh dua pemikiran. Semua itu mungkin pura-pura saja. Mungkin hubungan persaudaraan yang ada itu tampaknya saja berbeda dari hubungan goyah yang pernah dijalinnya pada masa lalu. Kemungkinan lain ialah bahwa dirinya benar-benar tak mampu memelihara hubungan yang mengikat.

Tentu saja tidak bisa dijamin bahwa kasih kristiani tidak akan membawa dukacita. Orang Kristen masih bisa berbuat dosa dan masih dapat saling menyakiti hati. Rasul Yakobus mengatakan bahwa kasih "menutupi banyak dosa." Maksudnya, ada banyak dosa yang dapat ditutupi. Hubungan yang langgeng hanya dimungkinkan dengan menahan kesedihan melalui kasih yang mengikat diri, bukan dengan cara menghindari kesedihan.

Daripada mencari-cari cara melindungi diri agar hati tidak terluka dalam pergaulan kita dengan sesama, lebih baik orang Kristen melakukan pendekatan lain dalam menangani hal tersebut. Dalam pelajaran bela diri, salah satu pelajaran pertama yang diberikan adalah cara menjatuhkan diri yang tepat. Para pelatih bela diri memang realistis. Mereka menganggap bahwa anak-anak asuhan mereka nantinya harus menahan tendangan-tendangan yang tangguh. Maka dari itu, mengetahui cara menjatuhkan diri yang baik, serta cara mengatasi pukulan-pukulan yang datang adalah ketangkasan yang penting.

Orang Kristen juga dapat belajar cara menahan sakit hati dalam hubungan antar pribadi, yakni melalui pengampunan, kesabaran, langsung menangani perselisihan, dan seterusnya, tanpa membuat semakin tegang ataupun menjaga jarak.

Kasih demi Pemuasan Diri

"Saya butuh hubungan yang penuh kasih, supaya hidup saya memuaskan." Siapakah akan memungkiri fakta yang tersirat di dalam pernyataan itu? Kita semua butuh hubungan penuh kasih agar hidup kita memuaskan. Masalahnya bukanlah pemuasan diri itu sendiri, tetapi menganggap pemuasan diri sebagai tujuan hidup kita.

Bila pemuasan diri adalah tujuan akhir, maka akan ada kecenderungan untuk memandang hubungan kasih sebagai alat untuk mencapai tujuan itu. Sering kali pendekatan ini menuntun kita untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan pribadi akan kasih sayang atau pemuasan diri sendiri melalui cinta. Kasih yang tadinya merupakan pelengkap dari pemuasan diri, kini menjadi syarat lain yang harus dipenuhi.

Tujuan hidup orang Kristen bukanlah pemuasan diri, melainkan kasih akan Allah dan sesama manusia. Ajaran-ajaran Alkitab mendorong kita untuk memusatkan diri pada sesama, dan bukan memikirkan diri sendiri. Kita mengasihi, bukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi sebagai tanggapan kasih Allah, "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." (1 Yohanes 4:19) Kasih bukanlah upaya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu pemuasan diri, kebahagiaan, ataupun kepuasan pribadi. Tetapi kasih itu sendirilah tujuannya.

Kasih sebagai Ganjaran atau Hukuman

Dalam percobaan-percobaannya, para ahli ilmu jiwa menemukan betapa efektifnya teknik ganjaran dan hukuman itu untuk mengubah tingkah laku. Sebenarnya teknik tersebut bukanlah teknik baru. Dengan mempergunakan teknik ini, tikus misalnya, dapat dilatih untuk melakukan latihan-latihan yang cukup sulit. Bahkan, sebuah kelas yang terdiri atas mahasiswa program sarjana muda, telah mencoba teknik ini pada profesor ilmu jiwa mereka. Ketika profesor itu berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan kelas mereka, dan berdiri di sini sambil bertumpu pada sebuah kaki saja, mereka pun bersikap penuh perhatian. Tetapi sewaktu profesor tadi beranjak dari tempat itu atau berdiri tegak dengan kedua kakinya, mereka menunjukkan sikap semu. Tak lama kemudian, beliau pun memberi kuliah dari sudut ruangan tadi serta berdiri dengan sebelah kaki saja.

Karena kasih itu sangat kuat, kita cenderung memakainya sebagai suatu ganjaran, atau menariknya kembali sebagai hukuman. Tetapi kasih semacam itu adalah kasih yang bersyarat. Kasih kristiani tidaklah untuk diamalkan dengan cara seperti itu.

Ini berarti kita tidak menarik kembali ikatan janji kita untuk mengasihi orang lain, sebagai hukuman bagi orang tersebut bila ia bersalah; kita juga tidak mengancam akan menarik kembali kasih kita agar ia terdorong untuk mengubah dirinya.

Dengan perkataan lain, mengasihi atau berjanji untuk lebih mengasihi hendaknya tidak dimanfaatkan sebagai alat pemikat. Pernah seorang putra kami mencoba melakukan hal itu kepada saya. Katanya, "Yah, kalau Ayah mau mengajak saya minum es krim di luar, saya akan lebih mencintai Ayah." Saya menolak tawarannya. Bagaimanapun juga, kasih semacam itu takkan tahan lebih lama daripada es krim.

Saya tidak mau memberi kesan bahwa kita berlaku tidak konsekuen jika kita mengasihi orang lain, dan bersamaan dengan itu pula, kita mencoba mengubah mereka. Kita bisa saja menerima dan mengasihi orang lain, dan pada saat yang sama berusaha mengubah tingkah laku mereka. Cara Tuhan menerima dan mengasihi kita adalah contoh yang baik, yang dapat kita terapkan dalam hubungan kita dengan sesama.

Dalam sebagian besar kebaktian penginjilan, Billy Graham mengundang orang-orang yang hendak menyerahkan diri pada Kristus untuk berkumpul di sekeliling podium. Sementara orang-orang itu berbondong-bondong meninggalkan tempat duduk mereka menuju ke sekeliling panggung, sebuah lagu pujian terkenal dinyanyikan, "Sebagaimana adaku, kudatang pada-Mu, Yesus." Kata-kata lagu pujian itu menyatakan suatu kebenaran yang penting: Allah mengundang kita untuk datang kepada Yesus dan menerima keselamatan, walau bagaimanapun keadaan kita. Warta suci Kristus bukanlah "berubah dahulu, baru datang", tetapi "datanglah, sebagaimana ada." Meskipun demikian, perubahan merupakan bagian berita keselamatan. "Datanglah sebagaimana adanya, tetapi jangan tetap dalam keadaan itu; berubahlah supaya serupa dengan Kristus."

Maksud kasih yang mengubah tingkah laku ialah bahwa kasih yang kita berikan itu tidak tergantung pada tingkah laku orang, bukannya bahwa kita tak boleh sekali-kali berusaha mengubah kelakuan orang itu. Sebenarnya, adakalanya kita wajib mencoba memperbaiki tindak-tanduk orang itu. Misalnya, apabila tingkah laku seorang anak tidak pantas, maka orang tualah yang wajib berusaha agar kelakuan anak mereka berubah. Kita tak boleh mengabaikan tanggung jawab kita untuk membantu maupun mendorong orang yang kita cintai itu agar mengubah kelakuannya, bilamana kita memang wajib melakukannya. Namun, kita hendaknya jangan mengancam bahwa kita akan berhenti mengasihi mereka, jika mereka tak mengubah kelakuan mereka.

Kasih yang harus Setimpal

Keseimbangan dalam kasih itu bertalian dengan menjaga agar semua setimpal. Dalam tahun-tahun pertama perkawinan kami, saya berusaha untuk memelihara keseimbangan dalam kasih sedemikian rupa sehingga semua perbuatan kasih itu dapat diukur. Tentu saja pernyataan tadi agak berlebihan, tetapi memang waktu itu saya cenderung mencatat semua perbuatan baik, yang penting maupun yang kurang penting, dalam buku kas di ingatan saya. Jikalau saya beranggapan, saya telah menerima kebaikan lebih besar dari kebaikan yang saya berikan, maka saya akan berusaha sekuat tenaga mengimbangi kebaikan yang telah saya peroleh, supaya kasih kami tetap seimbang. Cara itu membuat saya frustasi. Mencari keseimbangan itu sama seperti hendak menjangkau bintang yang jauh sekali dari kita.

Akhirnya, saya mulai mengerti nasihat yang diberikan oleh Paulus kepada para suami itu, "... kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat... ." (Efesus 5:25) Nasihatnya itu membatalkan usaha untuk memelihara keseimbangan dalam kasih. Saya tidak dapat membayangkan bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya seperti itu. Saya benar-benar bersyukur karena Tuhan tidak pernah menerapkan prinsip keseimbangan kasih itu pada diri saya.

Banyak pasangan suami istri yang mendapati diri mereka berada di dalam kebiasaan memberikan kasih yang harus setimpal dengan kasih yang mereka terima. Masing-masing menilai diri pasangannya dan merasa pasangannya tidak memberi seimbang dengan yang telah diberikan kepadanya. Maka mereka saling menantikan pasangannya memberikan yang setimpal. Hanya kasih tanpa syarat -- kasih yang tidak ambil pusing dengan ketidakseimbangan dalam pernyataan kasih -- dapat mengakhiri kemacetan itu.

Perkawinan bukanlah satu-satunya bidang tempat kasih yang harus seimbang itu dipraktikkan. Dari seluruh hubungan yang dibina orang, dapat dikatakan, "Saya selalu memberi, tetapi tidak pernah menerima," atau "Saya takkan pernah mampu membalas segala kasih yang saya terima." Tentu saja penilaian kita itu sering kali keliru. Tetapi, kenyataan bahwa kita sering kali keliru menilai sampai keseimbangan neraca kasih bukanlah satu-satunya masalah dalam kasih yang harus setimpal itu. Adakalanya secara objektif, neracanya tidak seimbang. Misalnya, kadang-kadang kita memberikan lebih banyak daripada yang kita terima. Atau sebaliknya, itu sama saja. Seperti Yohanes menuliskan, "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita," bukan "kita mengasihi agar semua itu setimpal."

Dalam bentuk apa pun kasih itu muncul, kasih yang bersyarat bukanlah kasih kristiani. Kasih kristiani berdasarkan kasih Tuhan yang tidak bersyarat kepada umat-Nya, yakni kasih yang diulurkan-Nya kepada kita, walaupun kita memusuhi Dia. "... kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya." (Kolose 1:21-22)

Ringkasan

Kasih yang diamalkan oleh orang Kristen hendaklah kasih tanpa syarat. Namun, hati kecil kita cenderung untuk memberi syarat-syarat pada kasih. Kasih yang bersyarat itu muncul dalam berbagai bentuk. Kasih yang memilih mendorong kita untuk hanya mengasihi orang-orang yang serupa dengan kita. Kasih yang menguntungkan mendorong kita untuk mengasihi sesama kita bila kita melihat bahwa kasih yang kita tanamkan itu membuahkan hasil, berupa balasan dari orang yang kita kasihi. Kasih yang berhati-hati berusaha melindungi kita dari sesuatu yang menyakiti hati kita atau dari kekecewaan. Kasih demi pemuasan diri paling mengutamakan kebutuhan kita akan pemuasan diri. Kasih yang dipakai sebagai sarana untuk mengubah kelakuan orang yang kita kasihi itu, menggunakan kasih sebagai ganjaran atau hukuman untuk mengubah kelakuan orang itu. Kasih yang harus seimbang berusaha agar segala sesuatu seimbang, tidak pernah memberikan lebih banyak atau lebih sedikit kepada orang yang kita kasihi. Semua ini adalah bentuk kasih yang menyimpang dari kasih kristiani. Kasih kristiani, sama seperti kasih Tuhan, adalah kasih tanpa syarat.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Sumber
Halaman: 
42 -- 57
Bab: 
Tanpa Syarat
Judul Buku: 
Apakah Kasih Kristiani Itu? (Decision to Love)
Pengarang: 
Ken Wilson
Penerbit: 
Penerbit Gandum Mas, Malang