Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Natal dan Kesepian

Suasana Natal sudah menebar di segenap tempat. Mall dan beberapa gedung semarak oleh hiasan Natal. Beberapa penjual mengadakan obral dengan tema Natal. Di beberapa tempat penjualan pelayannya memakai topi mirip Santa Klaus. Banyak hal dikaitkan dengan Natal meski sebetulnya ada kesan pemaksaan. Natal memang hari besar bagi umat Kristen, meski sebetulnya yang terpenting bagi iman umat adalah Paskah, sebab tanpa kebangkitan sia-sialah pengurbanan Yesus. Namun gema Natal jauh lebih berkumandang meriah dibandingkan Paskah.

Beberapa orang mengajakku untuk membagikan nasi bungkus pada malam Natal. Mereka ingin berbagi kasih kepada orang miskin, sehingga orang miskin pun dapat merayakan Natal. Tawaran itu kutolak dengan halus sebab aku kurang suka dengan aktifitas semacam itu. Entah mengapa pada tahun-tahun terakhir kegiatan itu semakin marak dan beberapa orang menceritakannya dengan penuh kebanggaan. Apakah nasi bungkus sudah mampu membahagiakan orang miskin yang tertidur di tepi jalan? Apakah anak-anak jalanan dan tukang becak yang menerima nasi bungkus sudah merasakan makna kehadiran Yesus di dunia?

Aku pernah mengalami beberapa kali Natal yang membuatku bergolak. Salah satunya adalah ketika aku masih SMA. Keluargaku bukanlah orang Kristen. Maka aku berangkat ke gereja untuk merayakan Natal sendirian. Sepulang dari gereja aku tidak tahu harus merayakan Natal dengan siapa, sebab hampir semua temanku bukan orang Kristen juga. Beberapa teman Gereja sudah mempunyai acara dengan keluarga atau teman yang lain. Ketika di dalam gereja aku merasakan kemeriahan Natal, tapi begitu keluar dari gereja semua kemeriahan itu sirna. Aku merasa sepi dan sendiri. Aku membayangkan kalau sampai rumah pasti semua keluargaku sudah tidur. Disana juga tidak ada secuilpun hiasan Natal.

Dalam pikiranku mulai bertanya apakah aku sekarang sedang merayakan Natal? Sambil menyusuri jalan yang telah lengang, aku membayangkan bahwa mungkin beginilah rasanya ketika Yosep dan Maria menyusuri jalanan menuju Betlehem. Sepi dan tidak ada orang yang mau membukakan pintu untuk menerimanya. Kesepian dan ketidakberkawanan inilah mungkin suasana Natal yang sesungguhnya, meski sekarang semua sudah berubah. Natal penuh dengan keramaian dan kemeriahan. Akulah orang yang sedang merayakan Natal, kata hatiku untuk menghibur diri.

Natal bukanlah saat untuk membuat sebuah kemeriahan dan keramaian, sebab dengan demikian Natal telah dihilangkan dari kenyataannya saat itu. Segala pesta dan kemeriahan telah menghilangkan rasa sepi dan ketidakberkawanan Yosep dan Maria. Kita tidak lagi diajak merasakan keterasingan dan ketiadaan harapan. Mungkin kita dapat saja berpendapat bahwa kelahiran Yesus perlu dirayakan, sebab Natal adalah tanda keselamatan sudah datang. Kita bersuka cita menerima kedatangan Yesus. Tapi apakah kita sudah menerima Yesus dalam hidup kita? Apakah kita sudah membuka hati untuk Yesus? Bila kita telah menerima Yesus dalam hidup kita, maka kehidupan kita akan berubah. “tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Gal 2:20). Bila kita siap untuk membuka diri terhadap Yesus apakah kita juga sudah membuka diri terhadap orang-orang yang kesepian dan tidak berkawan? Saat ini masih banyak Yesus yang kesepian dan kesulitan untuk menemukan pintu yang terbuka bagi DiriNya dan banyak orang bersuka cita mengenang Yesus yang lahir dalam kesepian dan ketidakberkawanan. (gani)

Sumber: buletin fides et actio

Komentar