Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Perangkap Membanding-bandingkan

Sekarang pukul 10:30 -- waktunya Erin naik ke tempat tidur dan menelusuri media sosial untuk terakhir kalinya. Malam ini, dia mendarat di Instagram. Selama setengah jam, jari-jarinya menggeser gambar wanita cantik yang difilter secara visual, keluarga yang berpose sebagai sahabat, piring makanan yang indah, dan rumah yang jauh lebih elegan dan mahal daripada miliknya. Dia tertidur dengan perasaan tidak percaya diri, iri pada teman-temannya, dan pahit dengan apa yang dia miliki dalam hidup.

Sementara itu, suaminya, Tim, berbaring di sisinya, melakukan ritual malam yang serupa. Platform media sosial pilihannya? LinkedIn. Dia sangat suka mengetuk profil profesional para pria yang dia yakin belum mencapai, memperoleh, atau dipromosikan sebanyak yang dia raih. Itu membuatnya merasa baik tentang dirinya sendiri, dan khususnya kariernya. Dia beristirahat malam itu dengan dorongan kepercayaan diri yang artifisial.

Gambar: media sosial

Erin dan Tim memasuki sebuah perangkap -- perangkap membanding-bandingkan. Saat mereka membaca dengan teliti melalui aplikasi media sosial masing-masing, setiap mereka menempatkan satu mata pada diri mereka sendiri dan satu mata pada orang lain -- dalam hal ini, penampilan, hubungan, gaya hidup, harta benda, dan pekerjaan orang lain. Mereka memerhatikan dan menginternalisasi perbedaan, dan mereka membiarkan perbedaan ini membentuk identitas mereka dan mendikte emosi mereka. Dalam kasus Erin, dia merasa terganggu, iri hati, dan kesal. Dalam kasus Tim, dia tertidur dengan selimut pembenaran diri yang melilitnya.

Keduanya, menurut saya, tidak memiliki sukacita.

Ketidakbahagiaan.

Sukacita adalah kepuasan yang dalam, tak tergoyahkan, tingkat jiwa yang berakar pada kasih Allah dan identitas seseorang di dalam Kristus. Itu tidak tergantung pada keadaan.


Facebook Twitter WhatsApp Telegram

"Membanding-bandingkan adalah pencuri sukacita."

Theodore Roosevelt, Mark Twain, C.S. Lewis, dan sejumlah lainnya terkenal dengan kutipan tersebut. Terlepas dari siapa yang mengatakannya, itu benar. Membanding-bandingkan merampas sukacita kita. Mengapa? Pertama, izinkan saya mendefinisikan sukacita. Sukacita adalah kepuasan yang dalam, tak tergoyahkan, tingkat jiwa yang berakar pada kasih Allah dan identitas seseorang di dalam Kristus. Itu tidak tergantung pada keadaan. Itu tidak bisa dibeli atau dijual. Itu tidak dapat ditemukan di dunia, dan tentu saja tidak di media sosial. Sukacita adalah buah Roh Kudus, yang diberikan oleh Allah saja dan didasarkan pada Allah saja (Gal. 5:22).

Mengapa membanding-bandingkan merampas sukacita kita? Karena itu mengalihkan pandangan kita dari Allah, dari kasih-Nya, dan dari identitas kita di dalam Kristus. Itu menempatkan mereka pada keadaan kita dan keadaan orang lain yang sering kali fiktif. Dan, itu hanya menghasilkan dua kemungkinan hasil. Entah kita merasa lebih rendah dari orang-orang yang dengan mereka kita bandingkan -- yang menghasilkan kombinasi rasa malu, ketamakan, kemarahan, kecemasan, rasa bersalah, keraguan diri, atau kebencian terhadap diri sendiri. Atau, kita merasa lebih unggul dari orang-orang yang dengan mereka kita bandingkan -- yang menghasilkan kombinasi antara kesombongan, keangkuhan, dan penghakiman.

Dengan cara apa pun, kita menjadi tidak bahagia.

Sejarah Panjang Ketidakbahagiaan

Kitab Suci penuh dengan orang-orang tanpa sukacita yang membandingkan diri mereka dengan orang lain.

Sebagai contoh:

  • Di Taman Eden, Hawa tergoda oleh sepotong buah yang dijanjikan Setan akan memberinya pengetahuan sama seperti Allah. Dengan satu mata, dia melihat dirinya sendiri dan kekurangan intelektualnya. Dengan matanya yang lain, dia melihat Hawa imajiner tanpa kekurangan seperti itu. Dia (tanpa sukacita) mendambakan menjadi yang terakhir dan memakan buahnya, membawa dosa dan kematian ke dunia yang sebelumnya tidak jatuh (Kej. 3).
  • Kain menempatkan satu mata pada dirinya sendiri, persembahan kurbannya, dan tanggapan Allah terhadapnya. Dia menempatkan matanya yang lain pada Habel, persembahan kurbannya, dan tanggapan Allah terhadapnya. Dia (tanpa sukacita) menjadi marah dan membunuh saudaranya (Kej. 4).
  • Saul menempatkan satu mata pada dirinya sendiri dan reputasinya sebagai seorang pahlawan dalam pandangan wanita Israel. Dia menempatkan matanya yang lain pada Daud dan reputasinya pada pandangan mereka. Dia (tanpa sukacita) merasa tidak aman dan menghabiskan sisa hidupnya berusaha membunuh Daud (1Sam. 18).
  • Seorang Farisi menempatkan satu mata pada dirinya sendiri dan kinerja keagamaannya. Dia menempatkan matanya yang lain pada pemungut cukai dan catatan dosanya. Dia (tanpa sukacita) merasa sombong dan jauh di lubuk hati mengutuk pemungut cukai (Lukas 18:9-14).

Sayangnya, kita tidak berbeda dengan Hawa, Kain, Saulus, orang Farisi, atau lusinan tokoh di Alkitab lainnya yang telah dirampas sukacitanya dengan membandingkan diri mereka dengan orang lain. Kita semua membandingkan. Dan, kita semua akhirnya menjadi tidak bahagia.

Pengganti yang Membahagiakan untuk Membanding-bandingkan

Bagaimana kita melawan godaan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain? Jawabannya ada dalam mata kita. Jika kita menempatkan satu mata pada diri kita sendiri dan satu mata pada orang lain, kita secara naluriah akan memasuki perangkap membanding-bandingkan. Sebaliknya, kita harus lebih strategis dengan penempatan mata kita. Kepada siapa kita harus mengarahkan pandangan kita jika kita ingin mengalami sukacita?

  • Kita bisa menempatkan kedua mata pada Allah. Ketika kita berdoa, membaca Firman-Nya, dan menyembah-Nya -- saat mata kita terpaku kepada-Nya, karakter-Nya yang penuh kasih, dan kasih-Nya bagi kita -- kita mengalami sukacita (Mazmur 5:11; 71:23; 1Ptr. 1:8 ).
  • Kita dapat menempatkan kedua mata pada orang lain. Ketika kita memahami kasih Allah dan mencurahkannya kepada orang lain melalui pelayanan yang penuh pengorbanan, kita mengalami sukacita (Kisah Para Rasul 20:35).
  • Kita dapat menempatkan satu mata pada diri kita sendiri dan satu mata pada Allah. Dengan kata lain, kita dapat memusatkan perhatian pada identitas kita di dalam Kristus dan hidup dari identitas ini. Siapakah kita di dalam Kristus? Kita adalah anak-anak Allah -- benar, diterima, berharga, kudus, dan dikasihi oleh-Nya (Gal. 3:26; 1Kor. 5:21; Rm. 15:7; Yes. 43:4; Ef. 1:4; 1Tes. 1:4). Ketika kita menginternalisasi status ini sebagai anak-anak Allah dan hidup sesuai dengan itu, kita mengalami sukacita (Yoel 2:23; Flp. 3:1).

Sukacita Saat Ini

Anda dapat mengalami sukacita sekarang. Dalam 1 Tesalonika, rasul Paulus memberitahu kita demikian. Dia mengatakan agar kita selalu bersukacita (5:16). Perhatikan, bahwa ini adalah perintah, bukan permintaan. Paulus memerintahkan kita untuk bersukacita. Dia tidak akan memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Anda dapat merasakan sukacita pada saat ini. Anda dapat mengalami kepuasan tingkat jiwa yang dalam, tak tergoyahkan. Akan tetapi untuk melakukannya, Anda harus berhenti membandingkan diri Anda dengan orang lain. Jadi, letakkan ponsel cerdas Anda, tutup aplikasi media sosial Anda, dan sesuaikan mata Anda.

Pertanyaan untuk Refleksi

  1. Dengan siapa Anda paling sering membandingkan diri Anda? Apakah itu membangkitkan perasaan tidak aman, iri hati, marah, cemas, bersalah, ragu-ragu, atau membenci diri sendiri? Kesombongan, penghakiman? Apakah Anda akan berhenti membandingkan? Apakah Anda akan menyesuaikan mata Anda?
  2. Bagaimana identitas Anda di dalam Kristus -- identitas Anda sebagai anak Allah -- memengaruhi kehidupan Anda sehari-hari, dari waktu ke waktu? Apakah itu memberi Anda sukacita? Jika tidak, mengapa tidak?
  3. Apakah Anda menemukan bahwa membanding-bandingkan tinggal di hati Anda ketika Anda berada di media sosial? Jika demikian, apakah Allah menyuruh Anda untuk mengurangi konsumsi media sosial Anda? (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Biblical Counseling Coalition
Alamat situs : https://biblicalcounselingcoalition.org/2022/02/02/the-trap-of-comparison
Judul asli artikel : The Trap of Comparison
Penulis artikel : Steve Hoppe

Komentar