KabarIndonesia -- Kesulitan belajar pada anak, bila tidak dideteksi secara dini dan tidak dilakukan terapi yang benar, bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Kepedulian orang tua yang tinggi dapat membantu dalam deteksi dini kesulitan belajar anak.
Riwayat penyakit terdahulu, seperti anak pernah mengalami sakit keras hingga demam tinggi, atau anak terlahir prematur, merupakan faktor risiko terjadinya kesulitan belajar. Gangguan berat akan mudah teridentifikasi, sehingga dapat terdeteksi pada usia dini. Sedangkan pada anak dengan gangguan ringan, mungkin baru teridentifikasi saat usia sekolah.
Peran dokter anak pada gangguan kesulitan belajar, terutama ditujukan untuk mendeteksi tumbuh kembang anak sesuai dengan tahapan usianya. Umumnya, anak yang berusia 2 atau 3 tahun belum belajar menulis, namun telah menyukai kegiatan menulis walaupun hanya sekadar coretan yang belum bermakna. Ketika memasuki usia sekolah, kegiatan menulis merupakan hal yang menyenangkan karena mereka menyadari bahwa anak yang bisa menulis akan mendapatkan nilai baik dari gurunya.
Menulis membutuhkan perkembangan kemampuan lebih lanjut dari membaca. Perkembangan yang dikemukakan oleh Temple, Nathan, Burns; Cly: Ferreiro dan Teberosky dalam Brewer (1992) oleh Rini Hapsari:
Scribble stage. Tahap ini ditandai dengan mulainya anak menggunakan alat tulis untuk membuat coretan. Sebelum ia belajar untuk membuat bentuk, huruf yang dapat dikenali.
Linear repetitive stage. Pada tahap ini, anak menemukan bahwa tulisan biasanya berarah horisontal, dan huruf-huruf tersusun berupa barisan pada halaman kertas. Anak juga telah mengetahui bahwa kata yang panjang akan ditulis dalam barisan huruf yang lebih panjang dibandingkan dengan kata yang pendek.
Random letter stage. Pada tahap ini, anak belajar mengenai bentuk coretan yang dapat diterima sebagai huruf dan dapat menuliskan huruf-huruf tersebut dalam urutan acak dengan maksud menulis kata tertentu.
Letter name writing, phonetic writing. Pada tahap ini, anak mulai memahami hubungan antara huruf dengan bunyi tertentu. Anak dapat menuliskan satu atau beberapa huruf untuk melambangkan suatu kata, seperti menuliskan huruf depan namanya saja, atau menulis "bu" dengan sebagai lambang dari "buku".
Transitional spelling. Pada tahap ini, anak mulai memahami cara menulis secara konvensional, yaitu menggunakan ejaan yang berlaku umum. Anak dapat menuliskan kata yang memiliki ejaan dan bunyi sama dengan benar, seperti kata "buku", namun masih sering salah menuliskan kata yang ejaannya mengikuti cara konvensional dan tidak hanya ditentukan oleh bunyi yang terdengar, seperti hari "sabtu" tidak ditulis "saptu", padahal kedua tulisan tersebut berbunyi sama jika dibaca.
Conventional spelling.
Pada tahap ini, anak telah menguasai cara menulis secara konvensional, yaitu menggunakan bentuk huruf dan ejaan yang berlaku umum untuk mengekspresikan berbagai ide abstrak.
Pada anak usia sekolah, perkembangan menulis telah berada pada tahap terakhir, yaitu "conventional spelling". Selain telah dapat menulis dengan huruf dan ejaan yang benar, anak pada usia kelas dua SD telah memerhatikan aspek penampilan visual mereka.
Beberapa anak mengalami gangguan dalam menulis. Kesulitan menulis ini disebut "disgrafia". Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan disgrafia, di antaranya adalah:
Teori konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai berikut.
Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.
Referensi:
Santrock, John W. "Educational Psychology". McGraw-Hill Companies.
Hernowo. "Mengimpikan Buku Pelajaran yang Mampu, Menyenangkan dan Menyalakan Otak". Disampaikan pada Seminar "Menggagas Buku Pelajaran yang Mencerdaskan", 15 Agustus 2006, Penyelenggara Direktorat Pendidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama, Jakarta.
Soedijarto. "Mana Lebih Penting, Pendidikan Dasar atau Lanjutan?" Tabloid Nakita No. 266/VI/8 Mei 2004.
"Penilaian Perkembangan Anak Didik di TK". Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Disdik Prop. Banten Edisi keempat TH.III Vol.IV/2003.
Sekartini, Rini. "Hal-Hal yang Sepatutnya Dikuasai Balita". Tabloid Nakita No. 203/IV/22 Februari 2003.
Bahan diambil dan disunting seperlunya dari:
Links:
[1] https://c3i.sabda.org/edisi_c3i/e_konsel_168_menangani_anak_sulit_menulis
[2] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080718135102
[3] https://c3i.sabda.org/epublish/2
[4] https://c3i.sabda.org/epublish/2/606
[5] https://c3i.sabda.org/node/5636
[6] https://c3i.sabda.org/membantu_anak_disgrafia
[7] https://c3i.sabda.org/kategori_bahan_c3i/anak_parenting
[8] https://c3i.sabda.org/jenis_bahan_c3i/artikel
[9] https://c3i.sabda.org/fokus_c3i/fokus_c3i_july_2009_kesulitankesulitan_yang_dihadapi_anak